INILAH ATURAN-HUKUM ISLAM YANG ”SENGAJA” DI ABAIKAN ?
Banyak dikalangan Kaum Muslimin yang belum bahkan tidak mengetahui sesungguhnya terdapat berbagai macam hukum kehidupan yang didasarkan pada dalil-dalil shahih. Namun kenyataannya sekarang mereka lebih baik percaya dengan istilah "katanya" yang didapat dari orang-orang yang sama-sama tidak tahu dasar Ayat (Al-Qur'an) dan hadist-nya (sumber dasar utama). Oleh sebab itu Saya akan memberikan salinan yang saya dapat dari pengetahuan tanpa batasan agar para pembaca membuktikan kebenarannya dan dapat membuka Al-qur'an dan hadist-nya masing-masing dirumah (Memiliki Al-Qur'an dan hadist serta memahami artinya sangat dianjurkan, agar tidak ikut-ikutan kearah yang salah lebih jauh lagi), Ilmu menjauhkan dari target penipuan dan kebodohan lhoo... Sebagai berikut :
Siapakah Ulil Amri Itu…?
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul yang paling agung Nabi Muhammad, kepada keluarganya dan para shahabatnya seluruhnya.
Ikhwani fillah… materi kali ini, kita akan meluruskan pemahaman yang ada di masyarakat berkenaan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
Ayat ini adalah ayat yang sering kita dengar dan digunakan oleh banyak orang dalam rangka mewajibkan masyarakat untuk taat kepada pemerintah Republik Indonesia ini. Oleh karena itu perlu kiranya kita meninjau kembali atau meluruskan posisi ayat ini secara proporsional. Mari kita pahami siapa orang-orang yang beriman dalam ayat tersebut dan kaitannya dengan realita Pemerintahan Republik Indonesia ini…
Tinjauan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
“Hai orang-orang yang beriman…”, ini adalah khithab (seruan) terhadap orang-orang yang beriman. “…taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”, ulil amri adalah ulil amri dari kalangan kalian, yaitu pemimpin muslim atau pemimpin yang mukmin, itu adalah pengertian sederhananya.
Jadi, pemimpin yang harus ditaati -tentunya selain dalam maksiat- adalah pemimpin muslim, karena Allah mengatakan “min kum” (dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi “hai orang-orang yang beriman”.
Tidak mungkin ada kejamaahan tanpa ada kepemimpinan. Karenanya, adalah wajar belaka ketika Allah Swt. saat memerintahkan berjuang dalam kejamaahan sekaligus mewajibkan ketaatan kepada pimpinan (amir). Rasulullah saw. bersabda:
وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidak halal bagi tiga orang yang berada di manapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang di antara mereka sebagai amir (pimpinan) (HR Ahmad).
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
Jika tiga orang berada dalam suatu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. (HR Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan kewajiban adanya pimpinan dalam kelompok, apalagi kelompok yang memperjuangkan tegaknya Islam.
Inti dari suatu kepemimpinan dalam kejamaahan adalah wajib memberikan ketaatan kepada pimpinan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ
Siapa saja yang membenci suatu perintah dari amirnya hendaklah ia bersabar (HR al-Bukhari).
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Aku mewasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada perintah pemimpin sekalipun ia dulunya adalah seorang budak dari Habsyah. Sesungguhnya ada di antara kalian yang akan menjumpai sesuatu sesudahku dengan melihat banyak perselisihan. Kewajiban kalian adalah mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang tertunjuki. Pegang teguhlah sunnah-sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Mendengar dan taat adalah wajib atas seorang Muslim, baik ia suka maupun benci, terhadap suatu perintah pimpinannya selama perintah itu bukan perintah untuk melakukan kemaksiatan. Jika ia diperintah melakukan kemaksiatan maka ia tidak boleh mendengar dan taat (HR al-Bukhari).
KHATIB MENGANGKAT JARI TELUNJUKNYA SAAT BERDO’A
Al-Baa’its, karya Abu Syamah (no. 263), Haasyiyah Ibnu ‘Abidin (I/768),
Badzlul Majhuud (VI/105), al-Amr bil Itbaa’ (no. 247), serta Ishlaahul Masaajid
(no. 49).
Sebagian khatib ada yang mengangkat kedua tangannya di atas mimbar pada saat
berdo’a. Dan ini jelas salah, karena yang benar adalah tidak mengangkat kedua
tangan. Dan jika harus meng-angkat, maka hendaklah dia mengangkat jari telunjuk
saja.
Telah diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya bahwa ‘Ammarah bin
Ruwaibah Radhiyallahu ‘anhu pernah melihat Bisyir bin Marwan di atas mimbar
tengah mengangkat kedua tangannya, maka dia berkata, “Semoga Allah memperburuk
kedua tangan ini, karena sesungguhnya aku pernah menyaksikan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih berdo’a dengan mengisyaratkan
tangannya seperti ini. Dan dia menunjukkan jari telunjuknya.” Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 874).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dimakruhkan bagi imam untuk
mengangkat kedua tangannya saat berdo’a dalam khutbah, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya jika berdo’a. Sedangkan
di dalam do’a Istisqa’ (minta hujan), maka beliau mengangkat kedua tangannya
ketika beliau memohon hujan dari atas mimbar.” Al-Ikhtiyaaraat al-Fiqhiyyah (no. 80).
Di dalam kitab, al-Muharrar dia mengatakan, “Mengangkat kedua tangan saat
berdo’a di atas mimbar oleh khatib adalah bid’ah, sesuai dengan madzhab Maliki
dan Syafi’i.” Dinukil dari al-Furuu’, karya Ibnu Muflih, bab Shalaatil Jumu’ah, fashl
maa yusannu lil khutbah. Dan penulis kitab al-Muharrar ini adalah Majduddin Ibnu
Taimiyyah, kakek Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang cukup ternama.
HUKUM MELAFADZKAN NIAT
penulis Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini
Syariah Problema Anda 21 - Oktober - 2004 10:58:19
Apakah benar tdk ada bacaan khusus sebelum takbir ?
Koko Wiharto - kok..@yahoo.com
Jawab:
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ
Memang benar demikian bahkan hal itu merupakan bid’ah yg diada-adakan dlm agama yg sempurna ini. Sebagaimana diterangkan para ulama berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dgn pemahaman yg benar yg diwarisi dari para shahabat ridhwanullahi alaihim ajma’in.
1. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dlm Asy-Syarhul Mumti’ : “Ketahuilah bahwa niat itu tempat di qalbu oleh krn itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguh amalan-amalan itu dikerjakan dgn niat dan bagi tiap orang apa yg dia niatkan.”
Maka niat itu bukan amalan anggota tubuh1 oleh krn itu kami mengatakan bahwa melafadzkan niat adl bid’ah. Tidak disunnahkan bagi seseorang jika hendak melaksanakan suatu ibadah2 utk mengucapkan:
اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا
“Ya Allah tuhanku aku berniat untuk…” atau “aku bermaksud untuk…” baik secara jahr maupun sirr krn hal ini tdk pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yg ada dlm qalbu tiap orang. mk engkau tdk perlu mengucapkan niatmu krn niat itu bukan dzikir sehingga diucapkan dgn lisan. Dia hanyalah suatu niat yg tempat di hati. Dan tdk ada perbedaan dlm hal ini antara ibadah haji dan yg lainnya. Bahkan dlm ibadah haji pun seseorang tdk disunnahkan utk mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Ya Allah aku berniat utk umrah atau aku berniat utk haji.”
Namun dia mengucapkan talbiyah sesuai dgn yg dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat krn talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. mk talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yg diniatkan di dlm hati. Oleh krn itu seseorang mengucapkan:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا
“ aku memenuhi panggilan-Mu utk menunaikan umrah” atau “ aku memenuhi panggilan-Mu utk menunaikan haji.”
2. Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dlm Ijabatus Sail : “Melafadzkan niat merupakan bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ
“Katakanlah apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama kalian?”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari a’rabi yg tdk benar cara shalat dgn sabdanya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
“Jika kamu bangkit utk shalat mk bertakbirlah .”
Jadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk mengatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku berniat untuk…”3
Dan niat itu tempat di hati berdasarkan hadits:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguh amalan-amalan itu dikerjakan dgn niat.”
Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dlm kitab Al-Umm4 ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak ada dlm kitab Al-Umm penyebutan tersebut.
Dan melafadzkan niat tdk ada sama sekali dlm ibadah apapun dlm agama ini. Adapun talbiyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: mk ada 2 kemungkinan:
1. Kata manshub5 sebagai mashdar yaitu “ aku menjawab panggilan-Mu utk menunaikan haji.”
2. Kata manshub sebagai maf’ul dari fi’il yaitu “ aku menjawab panggilanmu aku berniat utk haji.”
Namun ibadah ini disamakan dgn ibadah-ibadah lain mk kemungkinan yg pertama yg benar.6
3. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Bahwasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat beliau mengatakan dan beliau tdk mengucapkan sesuatu sebelumnya. Dan tidaklah beliau melafadzkan niat sama sekali dan tdk pula mengatakan:
أُصَلِّي لِلَّهِ صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَاماً أَوْ مَأْمُوْمًا
“Aku berniat shalat ini menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam” atau “sebagai makmum.”
Dan beliau tdk mengatakan:7 atau 8 tdk pula 9. Ini adl 10 bid’ah10 tdk seorangpun yg menukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dgn sanad yg shahih atau dha’if atau musnad atau mursal satu lafadz pun dari lafadz-lafadz itu. Bahkan tdk juga dari seorang shahabat sekalipun. Dan tdk seorang tabi’in pun yg menganggap baik dan tdk pula dari kalangan imam yg empat .
Ha saja sebagian orang dari kalangan mutaakhirin salah memahami perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shalat bahwa: ‘Shalat itu tdk sama dgn puasa mk tidaklah seseorang mengawali shalat kecuali dgn dzikir’ mk orang ini menyangka bahwa yg dimaksud adl melafadzkan niat utk shalat. Padahal yg dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi’i adl takbiratul ihram bukan yg lainnya.”
Wallahu a’lam.
HUKUM MEMANJANGKAN CELANA DI BAWAH MATA KAKI ( ISBAL)
PENGERTIAN ISBAL
Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki baik itu berupa celana ataupun sarung. Sedangkan pelakunya disebut Musbil.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki. Dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka. Barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Alloh tidak akan melihatnya” [Hadits Riwayat. Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 4331]
Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang otot betisku lalu bersabda, “Ini merupakan batas bawah kain sarung. Jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau masih enggan juga, maka tidak ada hak
bagi sarung pada mata kaki” [Hadits Riwayat. Tirmidzi 1783, Ibnu Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 1765]
Oleh
Syaikh Abdullah Bin Jarullah Al-Jarullah
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian orang ada yang memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki, tapi celananya tetap panjang. Apa hukum hal itu?
Jawaban.
Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam.
"Artinya : Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka." [Hadits Riwayat Bukhari]
Dan beliau Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
"Artinya : Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim dalam shahihnya]
Beliau juga bersabda kepaada sebagian para sahabatnya:
"Artinya : Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan." [Hadits Riwayat Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya.
Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :
"Artinya : Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Karena perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah agar Dia memberi keampunan.
Adapun ucapan Nabi Shalallaahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ketika dia berkata kepada beliau: " Wahai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya." Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya :
"Artinya : Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong. Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa.
Adapun menurunkan celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan yang dilarang. Dan yang sesuai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
[Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal 220]
[Disalin dari kitab Tadzkiirusy Syabaab Bimaa Jaa'a Fii Isbaalis Siyab, edisi Indonesia Hukum Isbal Menurunkan Pakaian Dibawah Mata Kaki, alih bahasa Muhammad Ali bin Ismail, hal 23-25 Terbitan Maktabah Adz-Dzahabi]
ATURAN SHAF DALAM SHALAT
Sebagaimana yang kita ketahui, dalam shalat berjama’ah ternyata tidak hanya sekedar berdiri berjejer dengan posisi tangan bersedekap saja. Tapi di dalamnya ternyata ada aturan yang sangat jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam yang mengharuskan para jama’ah untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Perintah ini seringkali diucapkan oleh para imam sebelum shalat jama’ah dimulai, namun ternyata banyak dari kaum muslimin yang meremehkan, lalai, atau mungkin belum mengetahui. Bahkan mungkin para imam sendiri. Tidak jarang mereka mengucapkan sebuah hadits tentang perintah meluruskan dan merapatkan shaf, tapi mereka sendiri belum mengetahui bagaimana cara yang benar tentang hal itu. Mereka mengucapkannya seolah-olah itu hanyalah sebuah ucapan yang rutin untuk diucapkan saja tanpa ada esensi yang terkandung di dalamnya. Na’udzubillah. Padahal setiap pemimpin akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dia pimpin.
Atas dasar itulah di sini ana upload gambar aturan shaf shalat yang shahih, yang bila dipasang di tempat-tempat tertentu -biasanya di masjid-masjid kaum muslimin- maka diharapkan bisa sedikit membantu untuk memberitahu dan mengingatkan mereka demi kelancaran dakwah Islam. Oleh karena itu, dalam item ini [dan juga item-item lain di website ini), sangat tidak diridhoi adanya tujuan komersial.
THOGUT DAN PENGERTIAN LAAILAHAILLALLAH
Kalimat Laailahailallah merupakan kalimat yang amat-sangat
penting didalam Islam. Kalimat ini memiliki pengertian yang sangat
dalam dan pada prinsipnya memiliki kata penapikan (penolakan)
yaitu LAA-ILAHA yang berarti menolak semua ilah termasuk ilah-ilah
yang disebutkan terdahulu (aqidah 1), penolakan ini dijelaskan
pada Qs 2:256,
... Wa man yaqfur bit thoqhut ..."
menolak thoghut (nanti akan dijelaskan apa itu thoghut). kata berikutnya adalah ILLALLAH yang berarti menerima Allah secara mutlak dengan kesadaran penuh (pengukuhan). Jadi harus diingkari dulu semua ilah kemudian diikuti dengan pengukuhan bahwa hanya Allahlah satu-satunya Tuhan.
Sebelum kita lebih jauh memahami Laailahaillallah,mari kita memahami apakah itu thaqhut.
Thoqhut adalah tuhan-tuhan batil. Bentuk-bentuk thaqhut bermacam-macam.mari kita lihat satu-persatu.
1. Jin. Mari kita simak Qs 72:6
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan."
Jin adalah mahluk ciptaan Allah yang dibuat dari Api. Jin ini sering
disembah, diberi sesajian, ditakuti, padahal jin lebih rendah kedudu-
kannya dari manusia. Di Tanah air sering kita dengar keris sakti
(diisi jin) dan batu cincin sakti (juga didisi jin), karena "kesaktian
tersebut (tipu daya jin) keris dan batu cincin diyakini dapat melindungi
pemakainya, batu cincin dan keris menjadi taqhut.
2. Berhala, lihat Qs 7: 191 sampai dengan 198. Sangat jelas berhala
menjadi Thaghut, padahal berhala itu dibuat oleh manusia (191), tidak
mampu memberikan pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan dirinya
sendiri (192), tidak dapat memperkenankan seruan/permintaan (193),
mahluk lemah (194), tidak memiliki kemampuan apa-apa (195).
3. Manusia, simak Qs 9:31
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah, dan juga mempertuhankan Al-Masih putera Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada
tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
Praktek menyembah manusia dilakukan oleh kaum nasrani, disamping mereka
menyembah nabi Isa, mereka menyembah rahib-rahib mereka.
Praktek menyembah manusia banyak juga dilakukan di Indonesia, khususnya
mendatangi kuburan, meminta rizki, nomor buntut, keselamatan dsb.
4. Hawa nafsu, lihat pembahasan aqidah (1) uaitu Qs 25:43. Dipertegas lagi
pada Qs 45:23 sbb:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannnya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutupan
atas penglihatannya? ..."
5. Aturan selain aturan Allah. Simak Qs 4:61
" Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturun-
kan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut (ctt: thaghut
dalam arti hukum selain hukum Allah - lihat ctt Terjemahan Dept. Agama),
padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaitan
bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya."
Menetapkan sesuatu tidak berdasarkan hukum Allah, berarti mengikuti
thaqhut. Allah menciptakan manusia, Allah paling tahu karakteristik
ciptaanNya, kemudian Allah turunkan aturan-aturan (hukum-hukum)
berdasarkan fitrah ciptaanNya, maka Hukum Allah paling tepat buat
ciptaanNya itu. Berhukum selain hukum Allah berarti melanggar fitrah.
Firman Allah yang memperkuat sbb: "Wa man la yahkum bima anzalallah
faulaika humul kafirun" (tolong dicek ayat ini ada di surat mana")
artinya: siapa yang berhukum selain hukum Allah dia kafir
6. Benda-benda alam spt batu, bintang, matahari, hewan dsb. (masuk ketegori
berhala).
HUKUM MERAYAKAN MAULID NABI
Jika kita melihat kembali siroh nabawiyah (sejarah nabi) maka kita tidak akan dapati satu riwayatpun atau satu pendapat pun yg menyatakan bahwa nabi Muhammad shalallaahu 'alaihi wasallam merayakan hari kelahirnya,dan tidak ada satu sejarah pun yg mencatat bahwa para sahabat,tabi'in maupun tabi't tabiin memperingati maulid nabi,bahkan jika kita baca kembali dalam sejarah imam empat mazhab pun tidak kita dapatkan mereka memperingati maulid nabi,padahal kita telah mengetahui bahwasannya mereka (para sahabat,tabi'in dan tabi'uttabi'in)adalah sebaik baik generasi di umat ini,bahkan mereka mendapatkan kesaksian dari nabi kalau mereka itu adalah generasi umat terbaik,dalam sebuah hadist nabi shalallahu 'alaihi wasalam bersabda
خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (رواه الترمذي)
"sebaik-baik generasi adalah generasi ku(sahabat)kemudian yg datang setelah nya(tabi'in)dan yg setelah nya(tabi'ust tabi'in)"HR turmudzi.
jika kita katakan bahwa maulid nabi suatu ibadah yg mana jika kita merayakannya maka kita akan mendapat pahala dan ganjaran dari allah subhannahu wata'ala,maka apakah ada dalil atau hujjah (alasan)dan tuntunan baik dari al-qu'an,hadist atau perbuatan dari qurun mufadholah(generasi umat terbaik)???
Dan jika kita katakan bahwa maulid nabi itu tidak lebih dari hanya sekedar perbuatan yg mubah (yg boleh boleh saja sifatnya)jika kita merayakannya tidak akan mendapat pahala begitu pula sebaliknya kita tidak akan mendapat dosa jika kita meninggalkannya,maka kita katakana bahwasannya ied (sebuah perayaan)dalam islam itu merupakan sebuah ibadah dan merupakan syari'at
sebagaimana dalam hadist nabi shalallahu 'alaihi wasalam yg diriwayat kan oleh anas radhiyallahu 'anhu dia berkata:konon orang orang jahiliyah mempunyai dua hari raya yg mereka rayakan dan ketika nabi datang ke madinah beliau bersabda "dahulu kalian mempunyai dua hari raya yg mana kalian bermain padanya maka allah gantikan dengan yg lebih baik dari itu yaitu iedul fitri dan iedul adha"(HR abu daud dan nasa'i).
Dan coba kita kembali kaji dan baca makna ied itu sendiri,syaikhul islam ibnu taimiyah dalam kitabnya iqtidha shirotil mustaqim beliau mendefinisikan ied adalah sebuah penamaan untuk kumpulnya sekelompok manusia untuk merayakan sebuah peringatan yg diulang pada setiap tahun,bulan dan minggu.
Maka kita katakan maulid nabi adalah sebuah ied(hari raya)karena di dalamnya ada perkumpulan orang untuk memperingatinya yg di ulang setiap tahun dan jelas ini bukan sebuah perbuatan yg mubah melainkan sebuah ibadah.
Syaikh Muhammad bin shalih al-ustaimin rahimahullah (beliau adalah salah seorang ulama saudi)ditanya apa hukum merayakan maulid nabi shalallahu'alaihi wasalam?beliau menjawab:
Pertama:malam kelahiran nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasalam tidak diketahui secara pasti,tapi sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa kelahirannya itu pada malam kesembilan rabi'ul awwal bukan malam kedua belas rabi'ul awwal,tetapi saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas saja,
Kedua:dipandang dari sisi aqidah juga tidak ada dasarnya,dan kalaulah itu dari syari'at allah,tentulah dilaksakan oleh nabi shalallahu 'alaihi wasalam atau disampaikan kepada umat beliau,dan kalaulah rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam mengerjakannya atau menyampaikannya kepada umat beliau maka mestinya amalan itu terjaga karena allah subhanahu wata'ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9) سورة الحجر
"sesungguhnya kamilah yg menurunkan alqur'an dan sesungguhnya kami benar benar memeliharanya"(QS.alhijr:9)
Dan ketika ternyata tidak didapati,maka dapat diketahui bahwa hal itu bukan termasuk dari ajaran islam.dan jika bukan termasuk ajaran agama allah ,maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai bentuk ibadah kepada allah azza wa jalla dan tidak boleh pula kita menjadikan nya sebagai amalan untuk mendekatkan diri kepada allah.jika allah telah menetapkan suatu jalan yg sudah ditentukan agar dapat sampai kepadanya itulah yg datang kepada rasul-nya shalallahu 'alaihi wasalam.maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri yg akan menghantarkan kepadanya,padahal kita adalah seorang hamba?ini berarti kita mengambil hak allah azza wa jalla,yaitu kita membuat syari'at yg bukan darinya dan memasukannya kepada ajaran agama allah.ini juga merupakan kedustaan terhadap firman allah azza wa jalla:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا…. (3) سورة المائدة
"hari ini telah kami sempurnakan bagi-mu agama-mu dan telah kami cukupkan bagimu nikmat-ku dan aku telah ridha islam sebagai agama-mu (QS:al-maidah 3)
Maka kami katakan: Bila pernyataan ini termasuk bagian dari kesempurnaan ajaran agama, tentunya sudah ada sebelum Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan jika tidak, maka hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan agama,
Imam syaukani ditanya:apa hukum merayakan maulid nabi?maka dia menjawab:saya tidak mendapatkan sampai sekarang dalil (argumentasi)didalam al-qur'an,sunnah,ijma,qiyas dan istidlal yg menjelaskan landasan amalan maulid nabi,bahkan kaum muslimin telah sepakat bahwa perayaan maulid nabi tidak ada pada masa generasi terbaik (para sahabat)dan yg datang setelah mereka (para tabiin) dan yg datang setelah mereka (tabi'ut tabiin). Dan mereka juga sepakat bahwa yg pertama sekali melakukan maulid nabi adalah sulthan al-mudzaffar abu sa'id alkukburi anak zainuddin ali bin baktakin,pemilik kota irbil dan yg membangun masjid al-muzaffari di safah qassiyyun,pada tahun tujuh ratusan dan tidak seorang pun dari kaum muslimin yg tidak mengatakan bahwa maulid tersebut bukan bid'ah.
Syaikh abdul aziz bin baz rahimahullah ditanya apa hukum merayakan maulid nabi shalallahu'alaihi wasalam??beliau menjawab: kita tidak mendapatkan maulid nabi maupun maulid yg lain nya dalam syari'at ini,dan yg kita dapatkan di dalam syari'at yg suci dan yg ditetapkan oleh ahlil ilmi adalah bahwasannya merayakan maulid adalah suatu perkara yg baru dan merupakan perkara yg diada-adakan dalam syari'at,karena nabi shalallahu 'alaihi wasalam yg mana beliau adalah orang yg paling mengetahui syari'at ini dan beliau yg menyampaikan syari'at ini dari allah azza wa jalla tidak pernah merayakan hari kelahirannya begitu pula dengan para sahabatnya baik khulafa rasyidin maupun yg lainnya,kalaupun ini merupakan suatu amalan yg benar dan baik dan merupakan sunnah maka merekalah orang yg paling pertama melaksakannya,dan ketika mereka mengetahui nabi meninggalkannya beliau tidak mengajarkannya pada umatnya dan tidak pula merayakannya sendiri begitu pula dengan para sahabatnya tidak merayakannya dan tidak pernah mengajarkannya begitu pun dengan khulafaurasyidin,ketika mereka semua meninggalkan amalan ini maka jelas dan kita yakini bahwa amalan ini bukan dari syari'at islam.generasi umat terbaik tidak pernah merayakannya maka jelaslah perayaan semacam ini merupakan amalan yg diada-adakan dalam agama,nabi shalallahu 'alaihi wasalam bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري و مسلم)وفي رواية المسلم:من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
"barang siapa yg mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama kami yg bukan dari kami maka dia tertolak(HR bukhari dan muslim) dan dalam riwayat muslim barang siapa melakukan sesuatu amal yg tidak sesuai urusan kami maka dia tertolak".
Dari sini kita mengetahui bahwassannya merayakan maulid nabi pada bulan rabi'ul awwal atau selainnya,dan merayakan maulid lain seperti maulid badawi dan maulid husain dan sebagainya semua itu termasuk pada suatu amalan yg diada-adakan dalam agama dan sesuatu yg munkar,yg mana wajib bagi setiap muslim untuk meninggalkannya,allah telah menggantikan bagi mereka dengan dua hari raya yg agung:idul fitri dan idul adha dengan kedua ied ini cukup bagi kaum muslimin untuk tidak menambah dengan peringatan dan perayaan yg diada-adakan dan munkar.
Menunjukan kecintaan terhaap nabi bukan dengan cara memperingati hari kelahirannya dan merayakannya akan tetapi cukup bagi kita manampakan cinta kita kepada nabi dengan mengikuti jejak beliau dan berpegang teguh pada ajarannya,dan dengan membela ajarannya,dan menyerukan orang untuk mengikuti ajarannya,dan kita konsisten dalam menjalankannya,inilah kecintaan yg hakiki dan benar tehadapnya,sebagaimana allah ta'ala berfirman :
قل انكنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفرلكم ذنوبكم والله غفورالرحيم)ال عمران:31. )
Artinya:"katakanlah jika kamu (benar-benar)mencintai allah ikutilah aku niscaya allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu,allah maha pengampun lagi maha penyayang."(QS.al-imron:31)
Kecintaan kepada allah dan rasulnya bukanlah dengan cara merayakan hari kelahirannya dan sesuatu yg diada-adakan,akan tetapi cinta kepada allah dan rasulnya terealisasi dengan keta'atan kita kepada allah dan rasulnya dan konsisten dalam menjalankan syariat allah,dan dengan jihad di jalan allah,dan dengan mengajak orang untuk menjalankan sunnah rasulullah dan mengagungkan sunahnya,
Bagi siapa yang menyatakan bahwa perayaan maulid Nabi termasuk ajaran agama, maka telah membuat hal-hal yang baru sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapannya mengandung kedustaan terhadap ayat-ayat yang mulia ini. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang merayakan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengagungkan beliau, nampaknya kecintaan dan besarnya harapan untuk mendapatkan kasih sayang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari perayaan yang diadakan dan untuk menghidupkan semangat kecintaan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini termasuk ibadah; mencintai Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah bahkan iman seseorang tidak akan sempurna sehingga Rasul lebih dicintai dari pada dirinya, anaknya, orang tuanya, dan semua manusia. Mengagungkan Rasul juga termasuk ibadah, demikian juga haus akan kasih sayang Rasul, juga termasuk agama, karena dengan demikian seseorang menjadi cenderung kepada syari’at beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian, maka tujuan perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan pengagungan terhadap Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah ibadah, bila ini ibadah maka tidak boleh membuat hal-hal baru yang bukan dari Allah- dan dimasukkan ke dalam agama-Nya selama-lamanya. Maka perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dan haram.
Kemudian kita juga mendengarkan bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diterima oleh syara’, perasaan maupun akal. Mereka bernyanyi-nyanyi untuk maksud-maksud tertentu yang sangat berlebihan tentang Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka menjadikan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih agung/besar dari pada Allah –kita berlindung kepada-Nya-. Kita mendengar juga, karena kebodohan sebagian orang-orang yang merayakan maulid nabi, bahwa jika seseorang membaca kisah tentang kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam) kemudian sampai pada lafadz “nabi dilahirkan” dengan serempak mereka berdiri. Kata mereka, Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam telah datang, maka kamipun berdiri untuk mengagungkan beliau”, ini adalah kebodohan. Ini bukanlah adab, karena beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila disambut dengan berdiri. Para sahabat beliau adalah orang-orang yang paling mencintai dan mengagungkan beliau, namun mereka tidak berdiri menyambut beliau, karena mereka mengetahui beliau membenci hal itu. Saat beliau masih hidup saja tidak boleh, apalagi setelah beliau tidak ada (wafat).
Dan satu hal yg harus kita ketahui bahwa maulid nabi tidaklah dirayakan pada masa nabi ataupun pada masa generasi terbaik,maulid nabi mulai dirayakan pada masa bani fathimiyyah berkuasa,dan kerajaan fathimiyyah didirikan oleh ubaiillah al-mahdi tahun 298 H di maghrib (sekarang wilayah maroko dan aljazair)sedangkan di mesir kerajaan ini didirikan pada tahun 362 H oleh jauhar as-syaqali.para pendiri dan raja kerajaan ini beragama syia'ah isma'iliyyah rafidhiyyah.kerajaan ini didirikan sebagai misi dakwah agama tersebut dan merusak islam dengan berkedok kecintaan terhadap ahlil bait (keluarga nabi) dan mereka lah yg mencetuskan perayaan maulid nabi,maka jelaslah bahwa maulid nabi adalah kebiasaan dan ajaran kaum syi'ah rafidhoh bukan dari kebiasaan ahlu sunnah dan bukan ajaran nabi juga bukan syari'at. Wallahu a'lam
MENJAGA HAK ORANG-ORANG YANG LEMAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya telah menciptakan manusia berbeda-beda status sosialnya. Ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin.
Ada yang ditakdirkan kaya, ada pula yang miskin. Bahkan ada yang menjadi budak sahaya dan ada yang merdeka. Semuanya dijadikan sebagai ujian bagi hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabb kalian Maha Melihat.” (Al-Furqan: 20)
Juga firman-Nya:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan orang lain. Orang kaya tidak akan terpenuhi kebutuhannya dengan baik tanpa bantuan orang miskin. Pemerintah tidak akan bisa mewujudkan berbagai program secara sempurna bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Oleh karenanya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara pemerintah dengan rakyatnya, sudah semestinya dikubur. Dengan ini akan terwujud kehidupan yang dinamis, di mana masing-masing tahu peranannya agar tercapai kemaslahatan bersama.
Jangan Menzalimi Orang yang Lemah
Kezaliman dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun adalah kejahatan yang pelakunya berhak mendapat hukuman di dunia ini sebelum di akhirat kelak. Sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُهُ لَهُ فِي الْأَخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tiada suatu dosa yang lebih pantas Allah Subhanahu wa Ta’ala segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, di samping azab yang Allah sediakan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan memutuskan hubungan silaturahim.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 5704)
Berbuat zalim kepada siapapun akan membawa petaka yang tiada hentinya. Terlebih bila yang dizalimi adalah orang-orang lemah, seperti wanita, anak-anak, budak sahaya, orang-orang miskin, rakyat jelata, dan semisalnya. Ketidakberdayaan mereka tidak bisa dianggap remeh, karena Islam telah menjamin hak mereka. Jangan sampai ada orang yang berpikir ingin menzalimi mereka. Karena Allah Dzat yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan tak terkalahkan, akan membalaskan bagi mereka dan membinasakan orang-orang yang berbuat aniaya. Kalau begitu, siapa gerangan yang mampu melawan Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Tiada seorang pun, meskipun dia orang yang kuat dan banyak tentaranya.
Lihatlah kesudahan Fir’aun dan bala tentaranya yang menzalimi Bani Israil dengan membunuh anak-anak yang tidak berdosa, memberlakukan kerja paksa dan setumpuk kezaliman lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tenggelamkan Fir’aun dan tentaranya di lautan. Mana kerajaan yang penuh kemewahan?! Mana bala tentara yang banyak dan berlapis-lapis?! Semuanya sirna dan binasa. Semuanya kecil di hadapan Allah Dzat yang Maha Adil dan Maha Kaya lagi Maha Perkasa. Adakah kiranya orang yang mau mengambil pelajaran darinya?!
Beberapa Sifat Orang Lemah
1. Orang-orang lemah pada umumnya lebih mau menerima kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketimbang orang yang kaya, kuat, dan berkuasa. Coba perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’.” (Saba’:34)
2. Orang yang lemah, karena keikhlasan dan doa mereka, maka pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala datang. Demikian pula rezeki dari-Nya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونِ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ
“Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki kecuali dengan sebab orang yang lemah di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu, orang-orang lemah dari kaum mukminin adalah sumber kebaikan bagi umat. Meski lemah fisik dan hartanya, namun mereka adalah orang yang kuat keimanan dan kepercayaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, bila mereka berdoa dengan tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka akan dikabulkan permintaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberi rezeki kepada umat dengan sebab mereka. (lihat Bahjatun Nazhirin, 1/355)
3. Orang lemah dari kaum muslimin adalah mayoritas penghuni surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينَ
“Aku berdiri di pintu surga, ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin.” (Muttafaqun ‘alaih)
Orang Lemah yang harus Diperhatikan Haknya
Di antara orang-orang lemah yang harus diperhatikan haknya adalah sebagai berikut:
1. Anak yatim
Yaitu anak yang ditinggal mati oleh ayahnya dan dia belum baligh. Di saat seorang anak sangat membutuhkan belaian kasih sayang orangtuanya, ternyata ia harus mengalami kenyataan yang pahit, bapaknya meninggalkannya untuk selamanya. Maka siapa saja yang siap menggantikan orangtuanya dengan memberikan belaian kasih sayang dan nafkah yang dibutuhkan, maka dia akan masuk surga, dekat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ
“Saya dengan orang yang mengurusi anak yatim di surga seperti keduanya ini.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya dan jari tengahnya dengan merenggangkan di antara keduanya. (HR. Al-Bukhari)
Demikian balasan mulia bagi orang yang menyantuni anak yatim. Namun sebaliknya, orang yang tidak menyayangi anak yatim dan menelantarkannya, atau bahkan memakan harta anak yatim, dia diancam dengan azab yang pedih.
2 & 3. Janda dan orang miskin
Wanita yang ditinggal mati suaminya pada umumnya sangat membutuhkan uluran tangan. Bagaimana tidak? Kini orang yang biasa mencarikan nafkah untuknya telah tiada. Beban kehidupan semakin bertambah. Hal seperti ini tentunya mengetuk hati orang yang mempunyai kelebihan rezeki untuk menyisihkan sebagian harta untuknya. Demikian pula orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu untuk mencukupi kebutuhan dirinya beserta anak dan istrinya. Orang miskin terkadang mempunyai pekerjaan dan penghasilan, namun hasilnya belum bisa mencukupi kebutuhan pokoknya. Suatu kondisi yang juga memprihatinkan, yang membutuhkan pemecahan sesegera mungkin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْـمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Orang yang bekerja untuk (mencukupi) para janda dan orang miskin seperti seseorang yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Untuk meraih predikat “mujahid” (pejuang) di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak selalu dengan berperang di medan laga. Bahkan celah yang ada di tengah umat ini manakala seorang berusaha untuk menutupnya, tentunya itu merupakan sebuah perjuangan yang tidak ringan. Bila kita membiarkan para janda merana dan orang miskin terlunta, bukan tidak mungkin mereka akan dimurtadkan dari agama ini.
4. Anak
Anak merupakan buah hati seorang dan penerus generasi di masa mendatang. Kiranya suatu kezaliman besar manakala seseorang tidak memenuhi hak mereka. Hak anak tidak hanya pada pemberian nafkah berupa makanan, pakaian, dan semisalnya. Bahkan ada hak yang seringkali diabaikan, yaitu hak pendidikan agama yang memadai. Tunaikanlah hak-hak anak. Berilah mereka kasih sayang yang cukup dan berlaku adillah kepada mereka. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ada seorang sahabat memberikan suatu pemberian kepada seorang anaknya namun anak yang lain tidak diberi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dan mengatakan:
اتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
5. Kaum wanita
Ketika haji wada’ yang dihadiri oleh puluhan ribu manusia dari berbagai daerah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pesan terakhir sebelum wafatnya. Di antara pesan-pesan tersebut adalah keharusan untuk berbuat baik kepada kaum wanita. Para wanita dalam Islam memiliki posisi penting yang tidak bisa diabaikan. Mereka membantu laki-laki dalam tercapainya kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Maka, sudah barang tentu kita harus memberikan hak mereka tanpa menguranginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
“Ya Allah, aku menimpakan dosa terhadap orang yang menyia-nyiakan hak dua orang yang lemah, yaitu anak yatim dan wanita.” (An-Nawawi t dalam kitabnya Riyadush Shalihin no. 275: “Diriwayatkan oleh An-Nasa’i t dengan isnad yang bagus.”)
Orang yang terbaik adalah yang terbaik terhadap istrinya dan orang yang jelek adalah yang berbuat jelek terhadap para wanita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mempergauli wanita dengan baik sebagaimana firman-Nya:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka dengan baik.” (An-Nisa’: 19)
6. Rakyat jelata
Merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat, dengan menebarkan perasaan aman dan nyaman, menjunjung tinggi keadilan, serta menindak orang-orang yang jahat. Kekuasaan merupakan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan dalam perkara agama dan dunia. Sehingga manakala pemerintah menyia-nyiakan hak rakyatnya dan tidak peduli terhadap tugasnya, maka kesengsaraan dan azab telah menunggu mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tiada seorang hamba yang diserahkan kepadanya kepemimpinan terhadap rakyat lalu dia mati di hari kematiannya dalam keadaan berkhianat kepada rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Keadilan akan terwujud dengan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meneladani kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g. Dengan keadilan akan tegak urusan manusia dan akan tersebar di tengah-tengah mereka ruh kecintaan terhadap sesama.
Orang-orang lemah bisa mengambil haknya secara penuh tanpa terzalimi sedikitpun. Tinta sejarah telah mencatat keberhasilan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g dalam memimpin manusia.
Salah satu contoh kepemimpinan ideal adalah apa yang disebutkan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pada pidato politiknya yang singkat saat dibai’at sebagai khalifah:
“Wahai manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian padahal aku bukan orang yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, bila kebijakanku nanti baik maka dukunglah aku. Namun jika melenceng maka tegur dan luruskan aku.
Kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah (terzalimi) dari kalian di sisiku (yakni di mata pemerintah) adalah orang yang kuat sampai aku berikan haknya, insya Allah. Orang yang kuat (tapi zalim) di sisiku adalah orang yang lemah sehingga aku mengambil darinya hak orang yang terzalimi, insya Allah. Tiada suatu kaum yang meninggalkan jihad fi sabilillah melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Tidaklah kekejian menyebar pada suatu kaum kecuali Allah k akan meratakan azab atas mereka. Taatilah aku selagi aku (kebijakanku) menaati Allah k dan Rasul-Nya. Namun bila aku menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya maka kalian tidak wajib taat kepadaku (dalam kemaksiatan itu).” (Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun wad Daulah Al-Umawiyyah, hal. 13)
Siapakah Ulil Amri Itu…?
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
Segala puji hanya bagi Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi dan Rasul yang paling agung Nabi Muhammad, kepada keluarganya dan para shahabatnya seluruhnya.
Ikhwani fillah… materi kali ini, kita akan meluruskan pemahaman yang ada di masyarakat berkenaan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
Ayat ini adalah ayat yang sering kita dengar dan digunakan oleh banyak orang dalam rangka mewajibkan masyarakat untuk taat kepada pemerintah Republik Indonesia ini. Oleh karena itu perlu kiranya kita meninjau kembali atau meluruskan posisi ayat ini secara proporsional. Mari kita pahami siapa orang-orang yang beriman dalam ayat tersebut dan kaitannya dengan realita Pemerintahan Republik Indonesia ini…
Tinjauan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”. (An Nisa: 59)
“Hai orang-orang yang beriman…”, ini adalah khithab (seruan) terhadap orang-orang yang beriman. “…taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalangan kalian”, ulil amri adalah ulil amri dari kalangan kalian, yaitu pemimpin muslim atau pemimpin yang mukmin, itu adalah pengertian sederhananya.
Jadi, pemimpin yang harus ditaati -tentunya selain dalam maksiat- adalah pemimpin muslim, karena Allah mengatakan “min kum” (dari kalangan kalian) setelah mengkhithabi “hai orang-orang yang beriman”.
Tidak mungkin ada kejamaahan tanpa ada kepemimpinan. Karenanya, adalah wajar belaka ketika Allah Swt. saat memerintahkan berjuang dalam kejamaahan sekaligus mewajibkan ketaatan kepada pimpinan (amir). Rasulullah saw. bersabda:
وَلاَ يَحِلُّ لِثَلاَثَةِ نَفَرٍ يَكُونُونَ بِأَرْضِ فَلاَةٍ إِلاَّ أَمَّرُوا عَلَيْهِمْ أَحَدَهُمْ
Tidak halal bagi tiga orang yang berada di manapun di bumi ini, tanpa mengambil salah seorang di antara mereka sebagai amir (pimpinan) (HR Ahmad).
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ
Jika tiga orang berada dalam suatu perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin. (HR Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan kewajiban adanya pimpinan dalam kelompok, apalagi kelompok yang memperjuangkan tegaknya Islam.
Inti dari suatu kepemimpinan dalam kejamaahan adalah wajib memberikan ketaatan kepada pimpinan. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ
Siapa saja yang membenci suatu perintah dari amirnya hendaklah ia bersabar (HR al-Bukhari).
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Aku mewasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada perintah pemimpin sekalipun ia dulunya adalah seorang budak dari Habsyah. Sesungguhnya ada di antara kalian yang akan menjumpai sesuatu sesudahku dengan melihat banyak perselisihan. Kewajiban kalian adalah mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang tertunjuki. Pegang teguhlah sunnah-sunnah itu dan gigitlah dengan gigi geraham. (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
Mendengar dan taat adalah wajib atas seorang Muslim, baik ia suka maupun benci, terhadap suatu perintah pimpinannya selama perintah itu bukan perintah untuk melakukan kemaksiatan. Jika ia diperintah melakukan kemaksiatan maka ia tidak boleh mendengar dan taat (HR al-Bukhari).
KHATIB MENGANGKAT JARI TELUNJUKNYA SAAT BERDO’A
Al-Baa’its, karya Abu Syamah (no. 263), Haasyiyah Ibnu ‘Abidin (I/768),
Badzlul Majhuud (VI/105), al-Amr bil Itbaa’ (no. 247), serta Ishlaahul Masaajid
(no. 49).
Sebagian khatib ada yang mengangkat kedua tangannya di atas mimbar pada saat
berdo’a. Dan ini jelas salah, karena yang benar adalah tidak mengangkat kedua
tangan. Dan jika harus meng-angkat, maka hendaklah dia mengangkat jari telunjuk
saja.
Telah diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab Shahiihnya bahwa ‘Ammarah bin
Ruwaibah Radhiyallahu ‘anhu pernah melihat Bisyir bin Marwan di atas mimbar
tengah mengangkat kedua tangannya, maka dia berkata, “Semoga Allah memperburuk
kedua tangan ini, karena sesungguhnya aku pernah menyaksikan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih berdo’a dengan mengisyaratkan
tangannya seperti ini. Dan dia menunjukkan jari telunjuknya.” Shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 874).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Dimakruhkan bagi imam untuk
mengangkat kedua tangannya saat berdo’a dalam khutbah, karena Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya jika berdo’a. Sedangkan
di dalam do’a Istisqa’ (minta hujan), maka beliau mengangkat kedua tangannya
ketika beliau memohon hujan dari atas mimbar.” Al-Ikhtiyaaraat al-Fiqhiyyah (no. 80).
Di dalam kitab, al-Muharrar dia mengatakan, “Mengangkat kedua tangan saat
berdo’a di atas mimbar oleh khatib adalah bid’ah, sesuai dengan madzhab Maliki
dan Syafi’i.” Dinukil dari al-Furuu’, karya Ibnu Muflih, bab Shalaatil Jumu’ah, fashl
maa yusannu lil khutbah. Dan penulis kitab al-Muharrar ini adalah Majduddin Ibnu
Taimiyyah, kakek Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang cukup ternama.
HUKUM MELAFADZKAN NIAT
penulis Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini
Syariah Problema Anda 21 - Oktober - 2004 10:58:19
Apakah benar tdk ada bacaan khusus sebelum takbir ?
Koko Wiharto - kok..@yahoo.com
Jawab:
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ
Memang benar demikian bahkan hal itu merupakan bid’ah yg diada-adakan dlm agama yg sempurna ini. Sebagaimana diterangkan para ulama berdasarkan dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah dgn pemahaman yg benar yg diwarisi dari para shahabat ridhwanullahi alaihim ajma’in.
1. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dlm Asy-Syarhul Mumti’ : “Ketahuilah bahwa niat itu tempat di qalbu oleh krn itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguh amalan-amalan itu dikerjakan dgn niat dan bagi tiap orang apa yg dia niatkan.”
Maka niat itu bukan amalan anggota tubuh1 oleh krn itu kami mengatakan bahwa melafadzkan niat adl bid’ah. Tidak disunnahkan bagi seseorang jika hendak melaksanakan suatu ibadah2 utk mengucapkan:
اللَّهُمَّ نَوَيْتُ كَذَا أَوْ أَرَدْتُ كَذَا
“Ya Allah tuhanku aku berniat untuk…” atau “aku bermaksud untuk…” baik secara jahr maupun sirr krn hal ini tdk pernah dinukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Allah mengetahui apa yg ada dlm qalbu tiap orang. mk engkau tdk perlu mengucapkan niatmu krn niat itu bukan dzikir sehingga diucapkan dgn lisan. Dia hanyalah suatu niat yg tempat di hati. Dan tdk ada perbedaan dlm hal ini antara ibadah haji dan yg lainnya. Bahkan dlm ibadah haji pun seseorang tdk disunnahkan utk mengatakan:
اللَّهُمَّ إِنِّيْ نَوَيْتُ الْعُمْرَةَ أَوْ نَوَيْتُ الْحَجَّ
“Ya Allah aku berniat utk umrah atau aku berniat utk haji.”
Namun dia mengucapkan talbiyah sesuai dgn yg dia niatkan. Dan talbiyah bukanlah merupakan pengkabaran niat krn talbiyah mengandung jawaban terhadap panggilan Allah. mk talbiyah itu sendiri merupakan dzikir dan bukan pengkabaran tentang apa yg diniatkan di dlm hati. Oleh krn itu seseorang mengucapkan:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً أَوْ لَبَّيْكَ حَجًّا
“ aku memenuhi panggilan-Mu utk menunaikan umrah” atau “ aku memenuhi panggilan-Mu utk menunaikan haji.”
2. Syaikh kami Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dlm Ijabatus Sail : “Melafadzkan niat merupakan bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ أَتُعَلِّمُوْنَ اللهَ بِدِيْنِكُمْ
“Katakanlah apakah kalian hendak mengajari Allah tentang agama kalian?”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari a’rabi yg tdk benar cara shalat dgn sabdanya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ
“Jika kamu bangkit utk shalat mk bertakbirlah .”
Jadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tdk mengatakan kepadanya: “Ucapkanlah: Aku berniat untuk…”3
Dan niat itu tempat di hati berdasarkan hadits:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguh amalan-amalan itu dikerjakan dgn niat.”
Maka merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa dlm kitab Al-Umm4 ada penyebutan melafadzkan niat. Tidak ada dlm kitab Al-Umm penyebutan tersebut.
Dan melafadzkan niat tdk ada sama sekali dlm ibadah apapun dlm agama ini. Adapun talbiyah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: mk ada 2 kemungkinan:
1. Kata manshub5 sebagai mashdar yaitu “ aku menjawab panggilan-Mu utk menunaikan haji.”
2. Kata manshub sebagai maf’ul dari fi’il yaitu “ aku menjawab panggilanmu aku berniat utk haji.”
Namun ibadah ini disamakan dgn ibadah-ibadah lain mk kemungkinan yg pertama yg benar.6
3. Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Bahwasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat beliau mengatakan dan beliau tdk mengucapkan sesuatu sebelumnya. Dan tidaklah beliau melafadzkan niat sama sekali dan tdk pula mengatakan:
أُصَلِّي لِلَّهِ صَلاَةَ كَذَا مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ إِمَاماً أَوْ مَأْمُوْمًا
“Aku berniat shalat ini menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam” atau “sebagai makmum.”
Dan beliau tdk mengatakan:7 atau 8 tdk pula 9. Ini adl 10 bid’ah10 tdk seorangpun yg menukilkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dgn sanad yg shahih atau dha’if atau musnad atau mursal satu lafadz pun dari lafadz-lafadz itu. Bahkan tdk juga dari seorang shahabat sekalipun. Dan tdk seorang tabi’in pun yg menganggap baik dan tdk pula dari kalangan imam yg empat .
Ha saja sebagian orang dari kalangan mutaakhirin salah memahami perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shalat bahwa: ‘Shalat itu tdk sama dgn puasa mk tidaklah seseorang mengawali shalat kecuali dgn dzikir’ mk orang ini menyangka bahwa yg dimaksud adl melafadzkan niat utk shalat. Padahal yg dimaksud oleh Al-Imam Asy-Syafi’i adl takbiratul ihram bukan yg lainnya.”
Wallahu a’lam.
HUKUM MEMANJANGKAN CELANA DI BAWAH MATA KAKI ( ISBAL)
PENGERTIAN ISBAL
Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah mata kaki baik itu berupa celana ataupun sarung. Sedangkan pelakunya disebut Musbil.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Keadaan sarung seorang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa bila memanjangkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki. Dan apa yang turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka. Barangsiapa yang menarik pakaiannya karena sombong maka Alloh tidak akan melihatnya” [Hadits Riwayat. Abu Dawud 4093, Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 4331]
Dari Hudzaifah Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata.
“Artinya : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memegang otot betisku lalu bersabda, “Ini merupakan batas bawah kain sarung. Jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau masih enggan juga, maka tidak ada hak
bagi sarung pada mata kaki” [Hadits Riwayat. Tirmidzi 1783, Ibnu Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah 1765]
Oleh
Syaikh Abdullah Bin Jarullah Al-Jarullah
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sebagian orang ada yang memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki, tapi celananya tetap panjang. Apa hukum hal itu?
Jawaban.
Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar, sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam.
"Artinya : Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka." [Hadits Riwayat Bukhari]
Dan beliau Shalallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
"Artinya : Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." [Hadits Riwayat Muslim dalam shahihnya]
Beliau juga bersabda kepaada sebagian para sahabatnya:
"Artinya : Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan." [Hadits Riwayat Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih]
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya.
Adapun orang yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam :
"Artinya : Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Karena perbuatan itu menggabung antara Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah agar Dia memberi keampunan.
Adapun ucapan Nabi Shalallaahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Bakar ketika dia berkata kepada beliau: " Wahai Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya." Maka Nabi Shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya :
"Artinya : Engkau tidak termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]
Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong. Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa.
Adapun menurunkan celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan yang dilarang. Dan yang sesuai dengan sunnah adalah hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
[Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz dinukil dari Majalah Ad Da'wah hal 220]
[Disalin dari kitab Tadzkiirusy Syabaab Bimaa Jaa'a Fii Isbaalis Siyab, edisi Indonesia Hukum Isbal Menurunkan Pakaian Dibawah Mata Kaki, alih bahasa Muhammad Ali bin Ismail, hal 23-25 Terbitan Maktabah Adz-Dzahabi]
ATURAN SHAF DALAM SHALAT
Sebagaimana yang kita ketahui, dalam shalat berjama’ah ternyata tidak hanya sekedar berdiri berjejer dengan posisi tangan bersedekap saja. Tapi di dalamnya ternyata ada aturan yang sangat jelas dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam yang mengharuskan para jama’ah untuk meluruskan dan merapatkan shaf. Perintah ini seringkali diucapkan oleh para imam sebelum shalat jama’ah dimulai, namun ternyata banyak dari kaum muslimin yang meremehkan, lalai, atau mungkin belum mengetahui. Bahkan mungkin para imam sendiri. Tidak jarang mereka mengucapkan sebuah hadits tentang perintah meluruskan dan merapatkan shaf, tapi mereka sendiri belum mengetahui bagaimana cara yang benar tentang hal itu. Mereka mengucapkannya seolah-olah itu hanyalah sebuah ucapan yang rutin untuk diucapkan saja tanpa ada esensi yang terkandung di dalamnya. Na’udzubillah. Padahal setiap pemimpin akan dimintai pertanggungan jawab atas apa yang dia pimpin.
Atas dasar itulah di sini ana upload gambar aturan shaf shalat yang shahih, yang bila dipasang di tempat-tempat tertentu -biasanya di masjid-masjid kaum muslimin- maka diharapkan bisa sedikit membantu untuk memberitahu dan mengingatkan mereka demi kelancaran dakwah Islam. Oleh karena itu, dalam item ini [dan juga item-item lain di website ini), sangat tidak diridhoi adanya tujuan komersial.
THOGUT DAN PENGERTIAN LAAILAHAILLALLAH
Kalimat Laailahailallah merupakan kalimat yang amat-sangat
penting didalam Islam. Kalimat ini memiliki pengertian yang sangat
dalam dan pada prinsipnya memiliki kata penapikan (penolakan)
yaitu LAA-ILAHA yang berarti menolak semua ilah termasuk ilah-ilah
yang disebutkan terdahulu (aqidah 1), penolakan ini dijelaskan
pada Qs 2:256,
... Wa man yaqfur bit thoqhut ..."
menolak thoghut (nanti akan dijelaskan apa itu thoghut). kata berikutnya adalah ILLALLAH yang berarti menerima Allah secara mutlak dengan kesadaran penuh (pengukuhan). Jadi harus diingkari dulu semua ilah kemudian diikuti dengan pengukuhan bahwa hanya Allahlah satu-satunya Tuhan.
Sebelum kita lebih jauh memahami Laailahaillallah,mari kita memahami apakah itu thaqhut.
Thoqhut adalah tuhan-tuhan batil. Bentuk-bentuk thaqhut bermacam-macam.mari kita lihat satu-persatu.
1. Jin. Mari kita simak Qs 72:6
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta
perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu
menambah bagi mereka dosa dan kesalahan."
Jin adalah mahluk ciptaan Allah yang dibuat dari Api. Jin ini sering
disembah, diberi sesajian, ditakuti, padahal jin lebih rendah kedudu-
kannya dari manusia. Di Tanah air sering kita dengar keris sakti
(diisi jin) dan batu cincin sakti (juga didisi jin), karena "kesaktian
tersebut (tipu daya jin) keris dan batu cincin diyakini dapat melindungi
pemakainya, batu cincin dan keris menjadi taqhut.
2. Berhala, lihat Qs 7: 191 sampai dengan 198. Sangat jelas berhala
menjadi Thaghut, padahal berhala itu dibuat oleh manusia (191), tidak
mampu memberikan pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan dirinya
sendiri (192), tidak dapat memperkenankan seruan/permintaan (193),
mahluk lemah (194), tidak memiliki kemampuan apa-apa (195).
3. Manusia, simak Qs 9:31
"Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai
tuhan selain Allah, dan juga mempertuhankan Al-Masih putera Maryam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada
tuhan selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan."
Praktek menyembah manusia dilakukan oleh kaum nasrani, disamping mereka
menyembah nabi Isa, mereka menyembah rahib-rahib mereka.
Praktek menyembah manusia banyak juga dilakukan di Indonesia, khususnya
mendatangi kuburan, meminta rizki, nomor buntut, keselamatan dsb.
4. Hawa nafsu, lihat pembahasan aqidah (1) uaitu Qs 25:43. Dipertegas lagi
pada Qs 45:23 sbb:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai
tuhannya dan Allah membiarkannnya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah
telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan penutupan
atas penglihatannya? ..."
5. Aturan selain aturan Allah. Simak Qs 4:61
" Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah
beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturun-
kan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut (ctt: thaghut
dalam arti hukum selain hukum Allah - lihat ctt Terjemahan Dept. Agama),
padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu. Dan syaitan
bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya."
Menetapkan sesuatu tidak berdasarkan hukum Allah, berarti mengikuti
thaqhut. Allah menciptakan manusia, Allah paling tahu karakteristik
ciptaanNya, kemudian Allah turunkan aturan-aturan (hukum-hukum)
berdasarkan fitrah ciptaanNya, maka Hukum Allah paling tepat buat
ciptaanNya itu. Berhukum selain hukum Allah berarti melanggar fitrah.
Firman Allah yang memperkuat sbb: "Wa man la yahkum bima anzalallah
faulaika humul kafirun" (tolong dicek ayat ini ada di surat mana")
artinya: siapa yang berhukum selain hukum Allah dia kafir
6. Benda-benda alam spt batu, bintang, matahari, hewan dsb. (masuk ketegori
berhala).
HUKUM MERAYAKAN MAULID NABI
Jika kita melihat kembali siroh nabawiyah (sejarah nabi) maka kita tidak akan dapati satu riwayatpun atau satu pendapat pun yg menyatakan bahwa nabi Muhammad shalallaahu 'alaihi wasallam merayakan hari kelahirnya,dan tidak ada satu sejarah pun yg mencatat bahwa para sahabat,tabi'in maupun tabi't tabiin memperingati maulid nabi,bahkan jika kita baca kembali dalam sejarah imam empat mazhab pun tidak kita dapatkan mereka memperingati maulid nabi,padahal kita telah mengetahui bahwasannya mereka (para sahabat,tabi'in dan tabi'uttabi'in)adalah sebaik baik generasi di umat ini,bahkan mereka mendapatkan kesaksian dari nabi kalau mereka itu adalah generasi umat terbaik,dalam sebuah hadist nabi shalallahu 'alaihi wasalam bersabda
خير القرون قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم (رواه الترمذي)
"sebaik-baik generasi adalah generasi ku(sahabat)kemudian yg datang setelah nya(tabi'in)dan yg setelah nya(tabi'ust tabi'in)"HR turmudzi.
jika kita katakan bahwa maulid nabi suatu ibadah yg mana jika kita merayakannya maka kita akan mendapat pahala dan ganjaran dari allah subhannahu wata'ala,maka apakah ada dalil atau hujjah (alasan)dan tuntunan baik dari al-qu'an,hadist atau perbuatan dari qurun mufadholah(generasi umat terbaik)???
Dan jika kita katakan bahwa maulid nabi itu tidak lebih dari hanya sekedar perbuatan yg mubah (yg boleh boleh saja sifatnya)jika kita merayakannya tidak akan mendapat pahala begitu pula sebaliknya kita tidak akan mendapat dosa jika kita meninggalkannya,maka kita katakana bahwasannya ied (sebuah perayaan)dalam islam itu merupakan sebuah ibadah dan merupakan syari'at
sebagaimana dalam hadist nabi shalallahu 'alaihi wasalam yg diriwayat kan oleh anas radhiyallahu 'anhu dia berkata:konon orang orang jahiliyah mempunyai dua hari raya yg mereka rayakan dan ketika nabi datang ke madinah beliau bersabda "dahulu kalian mempunyai dua hari raya yg mana kalian bermain padanya maka allah gantikan dengan yg lebih baik dari itu yaitu iedul fitri dan iedul adha"(HR abu daud dan nasa'i).
Dan coba kita kembali kaji dan baca makna ied itu sendiri,syaikhul islam ibnu taimiyah dalam kitabnya iqtidha shirotil mustaqim beliau mendefinisikan ied adalah sebuah penamaan untuk kumpulnya sekelompok manusia untuk merayakan sebuah peringatan yg diulang pada setiap tahun,bulan dan minggu.
Maka kita katakan maulid nabi adalah sebuah ied(hari raya)karena di dalamnya ada perkumpulan orang untuk memperingatinya yg di ulang setiap tahun dan jelas ini bukan sebuah perbuatan yg mubah melainkan sebuah ibadah.
Syaikh Muhammad bin shalih al-ustaimin rahimahullah (beliau adalah salah seorang ulama saudi)ditanya apa hukum merayakan maulid nabi shalallahu'alaihi wasalam?beliau menjawab:
Pertama:malam kelahiran nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasalam tidak diketahui secara pasti,tapi sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa kelahirannya itu pada malam kesembilan rabi'ul awwal bukan malam kedua belas rabi'ul awwal,tetapi saat ini perayaan maulid dilaksanakan pada malam kedua belas saja,
Kedua:dipandang dari sisi aqidah juga tidak ada dasarnya,dan kalaulah itu dari syari'at allah,tentulah dilaksakan oleh nabi shalallahu 'alaihi wasalam atau disampaikan kepada umat beliau,dan kalaulah rasulullah shalallahu 'alaihi wasalam mengerjakannya atau menyampaikannya kepada umat beliau maka mestinya amalan itu terjaga karena allah subhanahu wata'ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9) سورة الحجر
"sesungguhnya kamilah yg menurunkan alqur'an dan sesungguhnya kami benar benar memeliharanya"(QS.alhijr:9)
Dan ketika ternyata tidak didapati,maka dapat diketahui bahwa hal itu bukan termasuk dari ajaran islam.dan jika bukan termasuk ajaran agama allah ,maka kita tidak boleh menjadikannya sebagai bentuk ibadah kepada allah azza wa jalla dan tidak boleh pula kita menjadikan nya sebagai amalan untuk mendekatkan diri kepada allah.jika allah telah menetapkan suatu jalan yg sudah ditentukan agar dapat sampai kepadanya itulah yg datang kepada rasul-nya shalallahu 'alaihi wasalam.maka bagaimana mungkin kita diperbolehkan membuat jalan sendiri yg akan menghantarkan kepadanya,padahal kita adalah seorang hamba?ini berarti kita mengambil hak allah azza wa jalla,yaitu kita membuat syari'at yg bukan darinya dan memasukannya kepada ajaran agama allah.ini juga merupakan kedustaan terhadap firman allah azza wa jalla:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا…. (3) سورة المائدة
"hari ini telah kami sempurnakan bagi-mu agama-mu dan telah kami cukupkan bagimu nikmat-ku dan aku telah ridha islam sebagai agama-mu (QS:al-maidah 3)
Maka kami katakan: Bila pernyataan ini termasuk bagian dari kesempurnaan ajaran agama, tentunya sudah ada sebelum Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan jika tidak, maka hal itu tidak mungkin menjadi bagian dari kesempurnaan agama,
Imam syaukani ditanya:apa hukum merayakan maulid nabi?maka dia menjawab:saya tidak mendapatkan sampai sekarang dalil (argumentasi)didalam al-qur'an,sunnah,ijma,qiyas dan istidlal yg menjelaskan landasan amalan maulid nabi,bahkan kaum muslimin telah sepakat bahwa perayaan maulid nabi tidak ada pada masa generasi terbaik (para sahabat)dan yg datang setelah mereka (para tabiin) dan yg datang setelah mereka (tabi'ut tabiin). Dan mereka juga sepakat bahwa yg pertama sekali melakukan maulid nabi adalah sulthan al-mudzaffar abu sa'id alkukburi anak zainuddin ali bin baktakin,pemilik kota irbil dan yg membangun masjid al-muzaffari di safah qassiyyun,pada tahun tujuh ratusan dan tidak seorang pun dari kaum muslimin yg tidak mengatakan bahwa maulid tersebut bukan bid'ah.
Syaikh abdul aziz bin baz rahimahullah ditanya apa hukum merayakan maulid nabi shalallahu'alaihi wasalam??beliau menjawab: kita tidak mendapatkan maulid nabi maupun maulid yg lain nya dalam syari'at ini,dan yg kita dapatkan di dalam syari'at yg suci dan yg ditetapkan oleh ahlil ilmi adalah bahwasannya merayakan maulid adalah suatu perkara yg baru dan merupakan perkara yg diada-adakan dalam syari'at,karena nabi shalallahu 'alaihi wasalam yg mana beliau adalah orang yg paling mengetahui syari'at ini dan beliau yg menyampaikan syari'at ini dari allah azza wa jalla tidak pernah merayakan hari kelahirannya begitu pula dengan para sahabatnya baik khulafa rasyidin maupun yg lainnya,kalaupun ini merupakan suatu amalan yg benar dan baik dan merupakan sunnah maka merekalah orang yg paling pertama melaksakannya,dan ketika mereka mengetahui nabi meninggalkannya beliau tidak mengajarkannya pada umatnya dan tidak pula merayakannya sendiri begitu pula dengan para sahabatnya tidak merayakannya dan tidak pernah mengajarkannya begitu pun dengan khulafaurasyidin,ketika mereka semua meninggalkan amalan ini maka jelas dan kita yakini bahwa amalan ini bukan dari syari'at islam.generasi umat terbaik tidak pernah merayakannya maka jelaslah perayaan semacam ini merupakan amalan yg diada-adakan dalam agama,nabi shalallahu 'alaihi wasalam bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد (رواه البخاري و مسلم)وفي رواية المسلم:من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
"barang siapa yg mengada-ngadakan sesuatu dalam urusan agama kami yg bukan dari kami maka dia tertolak(HR bukhari dan muslim) dan dalam riwayat muslim barang siapa melakukan sesuatu amal yg tidak sesuai urusan kami maka dia tertolak".
Dari sini kita mengetahui bahwassannya merayakan maulid nabi pada bulan rabi'ul awwal atau selainnya,dan merayakan maulid lain seperti maulid badawi dan maulid husain dan sebagainya semua itu termasuk pada suatu amalan yg diada-adakan dalam agama dan sesuatu yg munkar,yg mana wajib bagi setiap muslim untuk meninggalkannya,allah telah menggantikan bagi mereka dengan dua hari raya yg agung:idul fitri dan idul adha dengan kedua ied ini cukup bagi kaum muslimin untuk tidak menambah dengan peringatan dan perayaan yg diada-adakan dan munkar.
Menunjukan kecintaan terhaap nabi bukan dengan cara memperingati hari kelahirannya dan merayakannya akan tetapi cukup bagi kita manampakan cinta kita kepada nabi dengan mengikuti jejak beliau dan berpegang teguh pada ajarannya,dan dengan membela ajarannya,dan menyerukan orang untuk mengikuti ajarannya,dan kita konsisten dalam menjalankannya,inilah kecintaan yg hakiki dan benar tehadapnya,sebagaimana allah ta'ala berfirman :
قل انكنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله ويغفرلكم ذنوبكم والله غفورالرحيم)ال عمران:31. )
Artinya:"katakanlah jika kamu (benar-benar)mencintai allah ikutilah aku niscaya allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu,allah maha pengampun lagi maha penyayang."(QS.al-imron:31)
Kecintaan kepada allah dan rasulnya bukanlah dengan cara merayakan hari kelahirannya dan sesuatu yg diada-adakan,akan tetapi cinta kepada allah dan rasulnya terealisasi dengan keta'atan kita kepada allah dan rasulnya dan konsisten dalam menjalankan syariat allah,dan dengan jihad di jalan allah,dan dengan mengajak orang untuk menjalankan sunnah rasulullah dan mengagungkan sunahnya,
Bagi siapa yang menyatakan bahwa perayaan maulid Nabi termasuk ajaran agama, maka telah membuat hal-hal yang baru sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapannya mengandung kedustaan terhadap ayat-ayat yang mulia ini. Tidak diragukan lagi, bahwa orang-orang yang merayakan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengagungkan beliau, nampaknya kecintaan dan besarnya harapan untuk mendapatkan kasih sayang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dari perayaan yang diadakan dan untuk menghidupkan semangat kecintaan pada Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini termasuk ibadah; mencintai Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah bahkan iman seseorang tidak akan sempurna sehingga Rasul lebih dicintai dari pada dirinya, anaknya, orang tuanya, dan semua manusia. Mengagungkan Rasul juga termasuk ibadah, demikian juga haus akan kasih sayang Rasul, juga termasuk agama, karena dengan demikian seseorang menjadi cenderung kepada syari’at beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian, maka tujuan perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan pengagungan terhadap Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah ibadah, bila ini ibadah maka tidak boleh membuat hal-hal baru yang bukan dari Allah- dan dimasukkan ke dalam agama-Nya selama-lamanya. Maka perayaan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah dan haram.
Kemudian kita juga mendengarkan bahwa dalam perayaan ini terdapat kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diterima oleh syara’, perasaan maupun akal. Mereka bernyanyi-nyanyi untuk maksud-maksud tertentu yang sangat berlebihan tentang Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga mereka menjadikan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam lebih agung/besar dari pada Allah –kita berlindung kepada-Nya-. Kita mendengar juga, karena kebodohan sebagian orang-orang yang merayakan maulid nabi, bahwa jika seseorang membaca kisah tentang kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam) kemudian sampai pada lafadz “nabi dilahirkan” dengan serempak mereka berdiri. Kata mereka, Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam telah datang, maka kamipun berdiri untuk mengagungkan beliau”, ini adalah kebodohan. Ini bukanlah adab, karena beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam membenci bila disambut dengan berdiri. Para sahabat beliau adalah orang-orang yang paling mencintai dan mengagungkan beliau, namun mereka tidak berdiri menyambut beliau, karena mereka mengetahui beliau membenci hal itu. Saat beliau masih hidup saja tidak boleh, apalagi setelah beliau tidak ada (wafat).
Dan satu hal yg harus kita ketahui bahwa maulid nabi tidaklah dirayakan pada masa nabi ataupun pada masa generasi terbaik,maulid nabi mulai dirayakan pada masa bani fathimiyyah berkuasa,dan kerajaan fathimiyyah didirikan oleh ubaiillah al-mahdi tahun 298 H di maghrib (sekarang wilayah maroko dan aljazair)sedangkan di mesir kerajaan ini didirikan pada tahun 362 H oleh jauhar as-syaqali.para pendiri dan raja kerajaan ini beragama syia'ah isma'iliyyah rafidhiyyah.kerajaan ini didirikan sebagai misi dakwah agama tersebut dan merusak islam dengan berkedok kecintaan terhadap ahlil bait (keluarga nabi) dan mereka lah yg mencetuskan perayaan maulid nabi,maka jelaslah bahwa maulid nabi adalah kebiasaan dan ajaran kaum syi'ah rafidhoh bukan dari kebiasaan ahlu sunnah dan bukan ajaran nabi juga bukan syari'at. Wallahu a'lam
MENJAGA HAK ORANG-ORANG YANG LEMAH
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hikmah-Nya telah menciptakan manusia berbeda-beda status sosialnya. Ada yang menjadi pemimpin dan ada yang dipimpin.
Ada yang ditakdirkan kaya, ada pula yang miskin. Bahkan ada yang menjadi budak sahaya dan ada yang merdeka. Semuanya dijadikan sebagai ujian bagi hamba-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Rabb kalian Maha Melihat.” (Al-Furqan: 20)
Juga firman-Nya:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَةُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Rabbmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az-Zukhruf: 32)
Manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak bisa lepas dari ketergantungan dengan orang lain. Orang kaya tidak akan terpenuhi kebutuhannya dengan baik tanpa bantuan orang miskin. Pemerintah tidak akan bisa mewujudkan berbagai program secara sempurna bila tidak mendapat dukungan dari rakyat. Oleh karenanya, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, antara pemerintah dengan rakyatnya, sudah semestinya dikubur. Dengan ini akan terwujud kehidupan yang dinamis, di mana masing-masing tahu peranannya agar tercapai kemaslahatan bersama.
Jangan Menzalimi Orang yang Lemah
Kezaliman dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun adalah kejahatan yang pelakunya berhak mendapat hukuman di dunia ini sebelum di akhirat kelak. Sahabat Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُهُ لَهُ فِي الْأَخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
“Tiada suatu dosa yang lebih pantas Allah Subhanahu wa Ta’ala segerakan hukuman bagi pelakunya di dunia, di samping azab yang Allah sediakan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan memutuskan hubungan silaturahim.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dll, lihat Shahihul Jami’ no. 5704)
Berbuat zalim kepada siapapun akan membawa petaka yang tiada hentinya. Terlebih bila yang dizalimi adalah orang-orang lemah, seperti wanita, anak-anak, budak sahaya, orang-orang miskin, rakyat jelata, dan semisalnya. Ketidakberdayaan mereka tidak bisa dianggap remeh, karena Islam telah menjamin hak mereka. Jangan sampai ada orang yang berpikir ingin menzalimi mereka. Karena Allah Dzat yang Maha Kuasa, Maha Kaya dan tak terkalahkan, akan membalaskan bagi mereka dan membinasakan orang-orang yang berbuat aniaya. Kalau begitu, siapa gerangan yang mampu melawan Allah Subhanahu wa Ta’ala?! Tiada seorang pun, meskipun dia orang yang kuat dan banyak tentaranya.
Lihatlah kesudahan Fir’aun dan bala tentaranya yang menzalimi Bani Israil dengan membunuh anak-anak yang tidak berdosa, memberlakukan kerja paksa dan setumpuk kezaliman lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala tenggelamkan Fir’aun dan tentaranya di lautan. Mana kerajaan yang penuh kemewahan?! Mana bala tentara yang banyak dan berlapis-lapis?! Semuanya sirna dan binasa. Semuanya kecil di hadapan Allah Dzat yang Maha Adil dan Maha Kaya lagi Maha Perkasa. Adakah kiranya orang yang mau mengambil pelajaran darinya?!
Beberapa Sifat Orang Lemah
1. Orang-orang lemah pada umumnya lebih mau menerima kebenaran yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala ketimbang orang yang kaya, kuat, dan berkuasa. Coba perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا أَرْسَلْنَا فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatan pun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya’.” (Saba’:34)
2. Orang yang lemah, karena keikhlasan dan doa mereka, maka pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala datang. Demikian pula rezeki dari-Nya, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونِ إِلاَّ بِضُعَفَائِكُمْ
“Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki kecuali dengan sebab orang yang lemah di antara kalian.” (HR. Al-Bukhari)
Oleh karena itu, orang-orang lemah dari kaum mukminin adalah sumber kebaikan bagi umat. Meski lemah fisik dan hartanya, namun mereka adalah orang yang kuat keimanan dan kepercayaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh sebab itu, bila mereka berdoa dengan tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka akan dikabulkan permintaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memberi rezeki kepada umat dengan sebab mereka. (lihat Bahjatun Nazhirin, 1/355)
3. Orang lemah dari kaum muslimin adalah mayoritas penghuni surga. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَكَانَ عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينَ
“Aku berdiri di pintu surga, ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang-orang miskin.” (Muttafaqun ‘alaih)
Orang Lemah yang harus Diperhatikan Haknya
Di antara orang-orang lemah yang harus diperhatikan haknya adalah sebagai berikut:
1. Anak yatim
Yaitu anak yang ditinggal mati oleh ayahnya dan dia belum baligh. Di saat seorang anak sangat membutuhkan belaian kasih sayang orangtuanya, ternyata ia harus mengalami kenyataan yang pahit, bapaknya meninggalkannya untuk selamanya. Maka siapa saja yang siap menggantikan orangtuanya dengan memberikan belaian kasih sayang dan nafkah yang dibutuhkan, maka dia akan masuk surga, dekat dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ
“Saya dengan orang yang mengurusi anak yatim di surga seperti keduanya ini.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan jari telunjuknya dan jari tengahnya dengan merenggangkan di antara keduanya. (HR. Al-Bukhari)
Demikian balasan mulia bagi orang yang menyantuni anak yatim. Namun sebaliknya, orang yang tidak menyayangi anak yatim dan menelantarkannya, atau bahkan memakan harta anak yatim, dia diancam dengan azab yang pedih.
2 & 3. Janda dan orang miskin
Wanita yang ditinggal mati suaminya pada umumnya sangat membutuhkan uluran tangan. Bagaimana tidak? Kini orang yang biasa mencarikan nafkah untuknya telah tiada. Beban kehidupan semakin bertambah. Hal seperti ini tentunya mengetuk hati orang yang mempunyai kelebihan rezeki untuk menyisihkan sebagian harta untuknya. Demikian pula orang miskin yang tidak mempunyai sesuatu untuk mencukupi kebutuhan dirinya beserta anak dan istrinya. Orang miskin terkadang mempunyai pekerjaan dan penghasilan, namun hasilnya belum bisa mencukupi kebutuhan pokoknya. Suatu kondisi yang juga memprihatinkan, yang membutuhkan pemecahan sesegera mungkin. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
السَّاعِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْـمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Orang yang bekerja untuk (mencukupi) para janda dan orang miskin seperti seseorang yang berjuang di jalan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Untuk meraih predikat “mujahid” (pejuang) di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak selalu dengan berperang di medan laga. Bahkan celah yang ada di tengah umat ini manakala seorang berusaha untuk menutupnya, tentunya itu merupakan sebuah perjuangan yang tidak ringan. Bila kita membiarkan para janda merana dan orang miskin terlunta, bukan tidak mungkin mereka akan dimurtadkan dari agama ini.
4. Anak
Anak merupakan buah hati seorang dan penerus generasi di masa mendatang. Kiranya suatu kezaliman besar manakala seseorang tidak memenuhi hak mereka. Hak anak tidak hanya pada pemberian nafkah berupa makanan, pakaian, dan semisalnya. Bahkan ada hak yang seringkali diabaikan, yaitu hak pendidikan agama yang memadai. Tunaikanlah hak-hak anak. Berilah mereka kasih sayang yang cukup dan berlaku adillah kepada mereka. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu ada seorang sahabat memberikan suatu pemberian kepada seorang anaknya namun anak yang lain tidak diberi, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dan mengatakan:
اتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah dan berbuat adillah terhadap anak-anak kalian.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
5. Kaum wanita
Ketika haji wada’ yang dihadiri oleh puluhan ribu manusia dari berbagai daerah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan pesan terakhir sebelum wafatnya. Di antara pesan-pesan tersebut adalah keharusan untuk berbuat baik kepada kaum wanita. Para wanita dalam Islam memiliki posisi penting yang tidak bisa diabaikan. Mereka membantu laki-laki dalam tercapainya kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Maka, sudah barang tentu kita harus memberikan hak mereka tanpa menguranginya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
“Ya Allah, aku menimpakan dosa terhadap orang yang menyia-nyiakan hak dua orang yang lemah, yaitu anak yatim dan wanita.” (An-Nawawi t dalam kitabnya Riyadush Shalihin no. 275: “Diriwayatkan oleh An-Nasa’i t dengan isnad yang bagus.”)
Orang yang terbaik adalah yang terbaik terhadap istrinya dan orang yang jelek adalah yang berbuat jelek terhadap para wanita.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan untuk mempergauli wanita dengan baik sebagaimana firman-Nya:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka dengan baik.” (An-Nisa’: 19)
6. Rakyat jelata
Merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan hak-hak rakyat, dengan menebarkan perasaan aman dan nyaman, menjunjung tinggi keadilan, serta menindak orang-orang yang jahat. Kekuasaan merupakan amanah untuk mewujudkan kemaslahatan dalam perkara agama dan dunia. Sehingga manakala pemerintah menyia-nyiakan hak rakyatnya dan tidak peduli terhadap tugasnya, maka kesengsaraan dan azab telah menunggu mereka. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
مَا مِنْ وَالٍ يَلِي رَعِيَّةً مِنَ الْمُسْلِمِينَ فَيَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لَهُمْ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Tiada seorang hamba yang diserahkan kepadanya kepemimpinan terhadap rakyat lalu dia mati di hari kematiannya dalam keadaan berkhianat kepada rakyatnya, kecuali Allah haramkan surga baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Keadilan akan terwujud dengan menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta meneladani kepemimpinan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g. Dengan keadilan akan tegak urusan manusia dan akan tersebar di tengah-tengah mereka ruh kecintaan terhadap sesama.
Orang-orang lemah bisa mengambil haknya secara penuh tanpa terzalimi sedikitpun. Tinta sejarah telah mencatat keberhasilan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya g dalam memimpin manusia.
Salah satu contoh kepemimpinan ideal adalah apa yang disebutkan oleh Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu pada pidato politiknya yang singkat saat dibai’at sebagai khalifah:
“Wahai manusia, aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian padahal aku bukan orang yang terbaik dari kalian. Oleh karena itu, bila kebijakanku nanti baik maka dukunglah aku. Namun jika melenceng maka tegur dan luruskan aku.
Kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah (terzalimi) dari kalian di sisiku (yakni di mata pemerintah) adalah orang yang kuat sampai aku berikan haknya, insya Allah. Orang yang kuat (tapi zalim) di sisiku adalah orang yang lemah sehingga aku mengambil darinya hak orang yang terzalimi, insya Allah. Tiada suatu kaum yang meninggalkan jihad fi sabilillah melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Tidaklah kekejian menyebar pada suatu kaum kecuali Allah k akan meratakan azab atas mereka. Taatilah aku selagi aku (kebijakanku) menaati Allah k dan Rasul-Nya. Namun bila aku menyelisihi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya maka kalian tidak wajib taat kepadaku (dalam kemaksiatan itu).” (Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun wad Daulah Al-Umawiyyah, hal. 13)
0 komentar:
Posting Komentar