Menjawab Tudingan Pada Dakwah Salafiyah
Menanggapi beberapa pertanyaan (baca: tudingan) dari salah seorang saudara kami mengenai syubhat yang ditujukan kepada dakwah salafiyah, maka kami mencoba menanyakan syubhat-syubhat yang dilontarkan tersebut kepada ustadz kami, yaitu ustadz Abdullah bin Taslim.
Alhamdulillah ustadz Abdullah bin Taslim menyempatkan diri untuk menjawab syubhat tersebut disela-sela kesibukan beliau. Semoga risalah ringkas dari ustadz kami ini mampu untuk menjawab berbagai keraguan yang belum terjawab di dada para penuntut ilmu syar’i yang rindu akan kebenaran.
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد،
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد،
Menanggapi tulisan dan pertanyaan al akh Kurniadi, menurut ilmu saya yang sangat terbatas, saya ingin memberikan jawaban sebagai berikut :
Istilah “salafi” atau dalam bentuk majemuknya “salafiyun” adalah penisbatan kepada generasi salaf, yaitu generasi para sahabat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, tabi’in (pengikut para sahabat) dan tabi’ut tabi’in (pengikut tabi’in), yang mereka ini telah dijamin kebenaran pemahaman dan pengamalan agama mereka oleh Allah dan Rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam, Allah subhanahuwata’ala berfirman:
(والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضى الله عنهم ورضواعنه
وأعد لهم جنات تجرى تحتها الأنهار خالدين فيهآ أبدًا ذالك الفوز العظيم)
وأعد لهم جنات تجرى تحتها الأنهار خالدين فيهآ أبدًا ذالك الفوز العظيم)
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
Dan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda :
“خير أمتي قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم” متفق عليه
“Sebaik-sebaik (generasi) di umatku ini adalah generasiku (para sahabat), kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (tabi’in), dan kemudian orang-orang yang datang setelah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HSR Bukhari dan Muslim)
Istilah lain dari “salafi” adalah “Ahlus sunnah wal jama’ah”, artinya orang-orang yang mengikuti sunnah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan pemahaman al jama’ah (para sahabat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam rodhiallahu’anhum ‘ajma’iin) dalam beragama, hal ini ditunjukkan dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam memberitakan tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan,
Beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda : “Semua golongan itu masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu Al Jama’ah”, dalam riwayat lain Beliau shollallahu’alaihiwasallam sendiri yang menafsirkan makna Al Jama’ah dalam hadits ini dengan sabda Beliau shollallahu’alaihiwasallam:
“Mereka adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku.”(HR Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimi, Al Hakim dll, dinyatakan shahih oleh Al Hakim dan disetujui oleh Adz Dzahabi, juga oleh syaikh Al Albani, lihat “Zhilal al jannah” hal. 33)
Dalam hal ini, harus dibedakan antara “salaf” dengan orang yang mengaku sebagai “salafi” atau “salafiyun”, karena “salaf” telah dijamin kebenarannya, adapun orang yang mengaku “salafi” tidak ada jaminan baginya, kecuali jika dia benar-benar mengikuti pemahaman dan pengamalan generasi salaf.
Dan tidak semua orang yang mengucapkan kata-kata yang benar, ucapan tersebut sesuai dengan kenyataannya. Sebagaimana slogan yang diucapkan oleh orang-orang khawarij ketika mereka keluar untuk memberontak di zaman kekhalifaan Ali bin Abi Thalib rodhiallahu’ahu, mereka mengatakan: “tidak ada hukum selain hukum Allah”, maka Ali bin Abi Thalib rodhiallahu’ahu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau yang terkenal:
كلمة حق أريد بها باطل
“(slogan mereka itu adalah) kalimat yang (tampaknya) benar, tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.” HSR Imam Muslim (2/749).
Sebagai contoh nyata dalam hal ini adalah apa yang al akh Kurniadi sebutkan sendiri tentang kelompoknya ust. Muhammad Umar As Sewed, tentang sikap mereka yang terlalu keras terhadap orang-orang yang berbeda pendapat (dalam masalah-masalah yang bukan merupakan prinsip dasar ahlu sunnah) dengan mereka, bahkan sampai menggunakan kata-kata yang keji dan tidak pantas untuk diucapkan.
Kalau kita bandingkan sikap mereka ini dengan sikap para ulama besar yang ada di Arab saudi (yang mereka telah diakui sebagai ulama yang benar-benar mengikuti pemahaman dan pengamalan generasi salaf, -ولا أزكي على الله أحداً) dalam menyikapi perbedaan pendapat, kita akan dapati perbedaan yang sangat jauh sekali antara keduanya, seperti perbedaan antara langit dan bumi!
Saya dan teman-teman yang – alhamdulillah - belajar di Islamic University of Medina, Saudi Arabia, selama sekitar 6 tahun (mengambil master -ed) (bahkan ada yang sudah 9 tahun - mengambil doctor -ed) kami tinggal di kota Nabi shollallahu’alaihiwasallam, kami menghadiri ceramah-ceramah para ulama di Arab Saudi dan melihat langsung sikap mereka dalam masalah ini, kami dapati sikap mereka yang sangat lemah lembut dan jauh dari sikap kasar apalagi mengucapkan kata-kata yang keji.
Mereka yang pernah kami jumpai bersikap seperti ini di antaranya: Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin, Sykh Shaleh Al Fauzan, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy Syaikh (Mufti negara Arab Saudi saat ini), Syaikh Shaleh Alu Asy Syaikh, Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (ulama yang paling senior di Madinah), kemudian yang lebih muda dari mereka di antaranya: Syaikh Rabi’ Al Madkhali, Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Syaikh Shaleh As Suhaimi, kemudian Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, Syaikh Abdur Razzak, Syaikh Tarhib Ad Dausari (penulis kitab “Al Quthbiyyah hiyal fitnah”).
Demikian juga para ulama yang mengikuti manhaj salaf dari luar Arab Saudi, seperti murid-murid Syaikh Al Albani yang berada di Yordania, yaitu Syaikh Ali Hasan, Syaikh Salim Al Hilali, Syaikh Mashur Hasan Salman, Syaikh Muhammad Musa Nashr dll. Sikap lemah lembut ini pun jelas kita dapati pada dua ulama besar jaman ini, yang terkenal sangat gigih dalam mendakwahkan dan membela manhaj salaf, yaitu Syaikh Bin Baz dan Syaikh Al Albani, melalui ceramah-ceramah dan fatwa-fatwa yang mereka sampaikan.
Mungkin juga perlu diketahui, saya sendiri (penulis makalah ini) dulu pernah menjadi santri angkatan pertama ust. Muhammad Umar As Sewed dan ust. Ja’far Umar Thalib di Ponpes Ihya us Sunnah, Jln. Kaliurang km 15, Degolan, Yogyakarta, dan sedikit banyak tentunya saya terpengaruh dengan sikap-sikap keras mereka, tapi kemudian - alhamdulillah – setelah saya belajar di Madinah dan membandingkan sikap mereka ini dengan sikap para ulama di Arab Saudi, saya merubah diri dan meninggalkan sikap-sikap keras tersebut.
Kemudian, bukan berarti dengan makalah ini saya menghukumi bahwa kelompoknya ust. Muhammad Umar As Sewed telah keluar dari manhaj salaf/ahlus sunnah, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka, karena yang saya bicarakan dalam makalah ini adalah kesalahan mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat, bukan masalah manhaj secara keseluruhan.
Juga ingin saya ingatkan kepada al akh Kurniadi, untuk lebih berhati-hati dalam menilai dan menghukumi, apalagi jika yang dinilai itu pemahaman salaf/ahlus sunnah wal jama’ah, yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah subhanahuwata’ala dan Rasul-Nya shollallahu’alaihiwasallam dalam banyak ayat al Qur an dan hadits yang shahih, di antaranya ayat dan hadits yang saya sebutkan di atas.
Maksud saya, jangan hanya dikarenakan kesalahan seseorang/kelompok yang menisbatkan diri kepada pemahaman salaf, lantas menjadikan kita menyalahkan atau minimal, meragukan kebenaran pemahaman salaf!, Apalagi sampai menyebutkan dua orang syaikh besar yang telah disepakati keimaman mereka berdua dan kuatnya mereka dalam berpegang teguh, membela dan mendakwahkan manhaj salaf, yaitu syaikh Bin Baz dan syaikh Al Albani, ولا أزكيهما على الله تعالى, silahkan baca kitab-kitab mereka dan dengar kaset-kaset ceramah mereka untuk membuktikan hal ini.
Demikian juga penilaian terhadap apa yang disebut sebagai faham/gerakan wahabi, yang hanya berdasarkan hadits-hadits yang bersifat umum, yang dipahami dengan keliru (insya Allah akan saya jelaskan). Seharusnya untuk menilai benar/tidaknya faham ini, yang kita lakukan adalah membaca langsung buku-buku tulisan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, agar kita dapat menilai apakah betul pemahaman beliau seperti pemahaman khawarij, apakah beliau suka dan mudah membid’ahkan dan mengkafirkan sesama muslimin, seperti yang dikatakan oleh al akh Kurniadi?
Saya pribadi telah membuktikan bahwa pemahaman dan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah sesuai dengan pemahaman dan dakwah salaf/ahlus sunnah wal jama’ah dan sangat jauh dari pemahaman khawarij yang mudah mengkafirkan kaum muslimin.
Atau barangkali al akh Kurniadi punya bukti yang jelas tentang penyimpangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwah beliau dalam kitab tulisan beliau? Kalau memang ada, tolong disebutkan meskipun satu saja!
Di antara bukti nyata yang menunjukkan hal ini, sikap para ulama besar pengikut manhaj salaf yang ada di arab saudi, yang disebut oleh al akh Kurniadi sebagai ulama-ulama sunni wahabi mutakhirin, mereka sangat keras dalam menentang pemahaman khawarij yang mudah mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum muslimin tanpa alasan yang benar, dan sangat lembut dalam menyampaikan perbedaan pendapat (dalam masalah-masalah yang bukan merupakan pokok-pokok agama), yang semua ini kami dengarkan dan saksikan langsung selama kami belajar di arab saudi. ولله الحمد والمنة،.
Adapun pertanyaan al akh Kurniadi tentang makna hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam Bukhari tentang penolakan Nabi shollallahu’alaihiwasallam untuk mendoakan Najd, maka hadits ini telah dijelaskan maknanya oleh para ulama terdahulu yang menjelaskan makna hadits-hadits kitab shahih Bukhari, shahih Muslim dll, dan para ulama ini semuanya wafat jauh sebelum lahirnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (tahun 1115 H, ada juga yang mengatakan tahun 1111 H), jadi mereka sama sekali bukan termasuk pengikut wahabi.
Ada sekitar enam kitab syarah (penjelasan) hadits-hadits shahih Bukhari dan satu kitab syarah hadits-hadits shahih Muslim yang sempat saya baca, dengan izin Allah subhanahuwata’ala, tentang makna hadits ini, kitab-kitab tersebut: A’lamul Hadits (jld 4/hal. 2330, cet. Ummul Quro, Mekkah) karya Al Khaththabi (wafat tahun 388 H), Syarh Ibnu Baththaal (10/44, cet. Maktabah Ar Rusyd) karya ‘Ali bin Khalaf Ibnu Baththaal (wafat 444/449 H), Al Kawakib Ad Darari (24/168, cet. Dar ihya at turats al arabi) karya Muhammad bin Yusuf Al Kirmani (wafat 786 H), Fathul Baari (13/58-59, cet. Dar as salam, Riyadh) karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat tahun 852 H), ‘Umdatul qaari (24/200, cet. Dar al fikr, Beirut) karya Badrudiin Al ‘Aini (wafat 855 H), Irsyadus saari (10/41, cet. Dar al kutub al ‘ilmiyah) karya Ahmad bin Muhammad Al Qusthallani (wafat 923 H) dan Syarah Shahih Muslim (18/238-239, cet. Dar al ma’rifah) karya Imam An Nawawi (wafat 686 H).
Semua kitab tersebut menjelaskan bahwa makna “Najd” dalam hadits tersebut adalah wilayah timur Madinah, yang meliputi wilayah Irak dan sekitarnya. Imam Abu Sulaiman Al Khaththabi ketika menjelaskan makna hadits ini berkata: “Najd adalah di sebelah timur, dan orang yang tinggal di Madinah ‘Najd’nya adalah pedalaman Irak dan sekitarnya. Arti kata ‘Najd’ sendiri secara etimologi adalah tanah (dataran) tinggi, berbeda dengan kata ‘Al Ghaur’ yang berarti tanah (dataran) rendah…” (kitab A’lamul Hadits 4/2330), ucapan Imam Al Khaththabi ini dinukil dan dibenarkan oleh Al Kirmani, Al Qusthallani, Badruddin Al ‘Aini dan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Bahkan sebelum para ulama di atas, Imam Bukhari dan Imam Muslim sendiri telah mengisyaratkan makna tersebut di atas, buktinya, Imam Bukhari membawakan hadits ini dan hadits-hadits yang semakna dengannya dalam kitab shahihnya dalam bab: “Fitnah itu (muncul) dari arah timur” (Shahih Bukhari – Fathul Bari 13/57). Adapun Imam Muslim, setelah membawakan hadits-hadits yang semakna dengan hadits di atas, beliau mengakhiri bab tsb dengan sebuah atsar (riwayat) dari seorang Tabi’in senior Salim bin Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, dia berkata: Wahai penduduk Irak! Betapa seringnya kalian menanyakan tentang dosa kecil, padahal kalian selalu melakukan dosa besar!
Aku pernah mendengar ayahku Abdullah bin Umar rodiallahu’anhuma berkata bahwa Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Sungguh fitnah itu akan muncul dari arah ini”, sambil Beliau shollallahu’alaihiwasallam menunjuk ke arah timur, “dari arah munculnya dua tanduk setan”, dan sebagian dari kamu memukul leher (membunuh) sebagian yang lain …” (Shahih Muslim 4/2229). Atsar ini menunjukkan bahwa Tabi’in senior ini memahami hadits tsb seperti makna yang saya sebutkan di atas, karena dia menujukan dan menyampaikan hadits tersebut di hadapan penduduk Irak.
Kemudian, untuk memperjelas keterangan di atas, saya coba merujuk kepada kitab-kitab yang memuat keterangan tentang nama-nama wilayah/negeri, saya sempat membaca dua kitab: “Al Ansab” karya As Sam’ani (wafat 562 H) dan “Mu’jamul buldan” karaya Yaqut Al Hamawi, kedua kitab tersebut menjelaskan pengertian wilayah “Najd” kurang lebih sama seperti keterangan yang saya sebutkan di atas.
Penjelasan ini sama sekali tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh al akh Kurniadi bahwa Irak merupakan dataran rendah (meskipun hal ini perlu diteliti kembali kepastiannya), karena makna wilayah Irak sebagai ‘Najd’ (dataran tinggi) adalah jika dibandingkan dengan wilayah Madinah yang lebih rendah, karena semua wilayah yang tanahnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan wilayah setelahnya, dinamakan ‘Najd’, sedangakan wilayah yang tanahnya lebih rendah dinamakan ‘Gaur’, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (13/59).
Hal lain yang mungkin perlu diketahui disini, bahwa nama-nama wilayah/negeri yang disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam janganlah dipahami dengan nama-nama negara yang ada saat ini, misalnya saja: wilayah ‘Yaman’ yang banyak disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, batas wilayahnya bukan hanya wilayah negara republik Yaman yang ada sekarang, tapi jauh lebih luas dari pada itu, demikian pula wilayah Irak.
Demikian pula bukan berarti dengan kita menetapkan bahwa wilayah Iraklah yang dimaksud dalam hadits tersebut di atas sebagai tempat munculnya fitnah, bukan berarti semua kegiatan keagamaan yang dilakukan di sana itu salah dan semua tokoh-tokoh islam yang berasal dari sana mempunyai penyimpangan dalam agama.
Bahkan kita dapati banyak ulama besar ahlus sunnah yang berasal dari sana atau pernah menetap di sana untuk menyebarkan agama islam yang benar, seperti sahabat yang mulia ‘Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud rodiallahu’anhuma, demikian pula para ulama besar ahlu sunnah setelah mereka seperti Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin, Qotadah, Al A’masy, Sufyan Ats Tsauri, Ahmad bin Hambal, Al Khatib Al Baghdadi dll, Imam Asy Syafi’i juga pernah tinggal di sana sebelum kemudian pindah ke Mesir.
Sebagaimana tidak mesti karena cikal bakal Khawarij yang bernama Dzul khuwaisirah dari Bani Tamim, maka semua orang yang nasabnya sampai kepada Bani Tamim, seperti Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, lantas dianggap berpemahaman Khawarij! Bahkan ini merupakan cara mengambil kesimpulan yang sangat aneh dan jauh dari tuntunan ajaran islam yang selalu mengajarkan untuk selalu bersangka baik kepada sesama muslim kecuali jika ada bukti nyata dan jelas yang mengharuskan kita bersangka buruk kepadanya.
Apakah karena Fir’aun itu berasal dari Mesir maka semua orang yang berasal dari Mesir kita curigai sebagai pengikut Fir’aun? Atau apakah karena gembong besar penentang dakwah Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam seperti Abu Lahab dan Abu Jahal cs berasal dari suku Quraisy maka semua orang yang berasal dari suku Quraisy dianggap sama seperti mereka?,
Juga perlu diketahui bahwa Bani Tamim adalah salah satu Qabilah Arab yang sangat besar dan darinya bercabang banyak Qabilah-qabilah lainnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berasal dari Qabilah Bani Sinan. Para Sahabat Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam rodhiallahu’anhum ‘ajma’iin sendiri banyak di antara mereka yang berasal dari Bani Tamim dan dikenal berislam dengan baik sampai mereka wafat, seperti Khabbab bin Al Aratt, Al Aqra’ bin Habis, Al Ahnaf bin Qais dll, demikian pula ulama-ulama besar ahlus sunnah yang nasabnya sampai kepada Bani Tamim, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Yahya bin Yahya (salah seorang guru imam Muslim yang terkenal), Ibnu ‘Abdil Bar dll.
Juga sebagai himbauan kepada al akh Kurniadi agar dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam hendaknya selalu merujuk kepada para ulama ahli tafsir dan ahli hadits, karena memang mereka itulah yang membidangi masalah ini, supaya nantinya tidak timbul kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahaminya. Jangan terburu-buru dipahami dengan akal sendiri! Bukankah Allah subhanahuwata’ala berfirman:
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An Nahl: 43)
Kalau dalam masalah-masalah dunia kita selalu merujuk kepada orang yang ahli di bidangnya, seperti kalau sakit kita ke dokter dll, maka mestinya dalam urusan agama yang menyangkut keselamatan kita di akhirat nanti kita harus lebih berhati-hati lagi dan hanya merujuk kepada ulama ahlus sunnah wal jama’ah.
Terakhir, saya ingin menanggapi masalah persatuan dan perpecahan umat yang disinggung oleh al akh Kurniadi. Memang benar, Allah subhanahuwata’ala memerintahkan dan mewajibkan kaum untuk bersatu dan melarang mereka berpecah belah, tapi persatuan yang dimaksudkan disini adalah persatuan yang dilandasi kebenaran, yaitu kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi salaf, bukan persatuan yang hanya sekedar berkumpul bersama-sama tanpa berkomitmen untuk berpegang teguh kepada kebenaran.
Allah subhanahuwata’ala Berfirman:
واعتصموا بحبل الله جميعاً ولا تفرقوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai (berpecah belah).” (Ali ‘Imran: 103), dan Allah subhanahuwata’ala mencela orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpecah belah setelah datangnya kebenaran dan petunjuk Allah subhanahuwata’ala kepada mereka, Allah subhanahuwata’ala berfirman:
(ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات)
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas (petunjuk Allah) kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali ‘Imran: 105)
Maka persatuan dan ukhuwah (persaudaran) islam yang benar sama sekali tidak bertentangan dengan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar serta saling menasehati dengan cara yang benar dan lemah lembut di antara kaum muslimin, bahkan persatuan dan ukhuwah islam yang benar tidak akan tegak tanpa adanya saling menasehati, karena bagaimana mungkin kita mencintai saudara kita, lalu kita membiarkan dia melakukan kesalahan dalam memahami dan mengamalkan agama ini tanpa kita berusaha menegur dan meluruskannya?
Padahal Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Seorang (muslim) tidaklah dikatakan beriman sampai dia mencintai (kebaikan) untuk saudaranya (sesama muslim) sebagaimana dia mencintai (kebaikan itu) untuk dirinya sendiri” (HSR Bukhari dan Muslim).
Dalam hadist shahih lainnya, dari Anas bin Malik rodhiallahu’anhu, Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda: “Tolonglah saudaramu sewaktu dia berbuat kezhaliman dan sewaktu dia dizhalimi!”, maka ada sahabat yang bertanya: wahai Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam, kami akan menolong saudara kami sewaktu dia dizhalimi, tapi sewaktu dia yang berbuat zhalim bagaimana kami menolongnya? Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam menjawab:
” تمنعه من الظلم فإن ذلك نصره ”
“Kamu mencegah dia dari perbuatan zhalim tersebut, itulah bentuk pertolonganmu kepadanya.” (HSR Bukhari)
Maka persatuan yang benar ini jelas sangat berbeda dengan persatuan (?) yang digembar-gemborkan oleh sebagian kelompok-kelompok dakwah saat ini, yang hanya menitikberatkan pada upaya menghimpun dan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya tanpa memperdulikan perbedaan pemahaman bahkan perbedaan aqidah dan keyakinan di antara mereka, dan tanpa berusaha untuk membenahi dan meluruskan aqidah dan pemahaman tersebut.
Maka persatuan (?) model ini justru pada hakikatnya adalah perpecahan, karena tidak dibangun di atas kebenaran. Dalam sebuah atsar yang shahih Abdullah bin Mas’ud rodhiallahu’anhu berkata:
الجماعة ما وافق الحق وإن كنت وحدك
“Al jama’ah (persatuan) itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran meskipun kamu sendirian” (Riwayat Ibnu ‘Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” dengan sanad yang shahih).
Jadi jelas sekali bahwa yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya dengan kebenaran, bukan hanya sekadar mengutamakan jumlah yang banyak. Dalam Al Qur’an Allah subhanahuwata’ala mencela persatuan yang tidak dilandasi kebenaran, bahkan Allah subhanahuwata’ala menegaskan bahwa persatuan tersebut pada hakikatnya adalah perpecahan, Allah subhanahuwata’ala berfirman:
تحسبهم جميعاً وقلوبهم شتى ذلك بأنهم قوم لا يعقلون
“Kamu kira mereka itu bersatu padahal hati mereka berpecah belah.Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (QS. Al Hasyr: 14)
Semoga Allah subhanahuwata’ala selalu memberikan petunjuk-Nya kepada kita semua untuk selalu istiqamah di atas jalan yang benar sampai kita menghadap-Nya kelak. Dan khususnya kepada al akh Kurniadi saya benar-benar mohon maaf jika ada kata-kata saya yang kurang berkenan di hati, Allah subhanahuwata’ala Maha Mengetahui bahwa saya tidak menghendaki kecuali kebaikan untuk kita semua. Dan sebagai penutup saya ingin mengatakan kepada al akh Kurniadi: أنا أحّبك في الله saya mencintai anda karena Allah subhanahuwata’ala.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين.
Madinah, Ahad, 24 Rajab 1426 H/ 28 agustus 2005
0 komentar:
Posting Komentar