Oleh : Noprianto
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang.
Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang telah
dilaksanakan sejak tahun 2001, merupakan kebijakan yang dipandang sangat
demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya.
Seperti dikemukakan Budiono dalam Sidik et al, (2002:5) tujuan otonomi adalah
untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat,
pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan dan pemeliharaan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Dalam UU No. 32/2004
dan UU No.33/2004 yang menjadi landasan otonomi tersebut dijelaskan lebih jauh
bagaimana mengaplikasikan hal-hal tersebut melalui beberapa Peraturan
Pemerintah (PP).
Dengan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut telah membuka era
baru bagi pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia, maka tugas dan tanggung
jawab yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah bertambah banyak. Seperti yang dikemukan oleh Darumurti
dan Rauta (2000:49) bahwa implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan
yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah,
dapat merupakan berkah bagi daerah namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan
daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah
untuk melaksanakannya, karena semakin bertambahnya urusan pemerintah yang
menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Guna mengantisipasi hal demikian maka
Pemerintah Daerah perlu untuk mempersiapkan beberapa aspek antara lain sumber
daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana.
Pamudji menegaskan bahwa Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya
dengan efektif dan efesien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan
dan pembangunan (lihat Kaho, 1998:124). Dan keuangan inilah yang merupakan
salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam
mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian masalah keuangan merupakan
masalah penting dalam kegiatan pemerintah di dalam mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah karena tidak ada kegiatan pemerintah yang tidak membutuhkan
biaya, selain itu faktor keuangan ini merupakan faktor penting dalam mengukur
tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Hal senada juga
diungkapkan oleh Musgrave (1993) bahwa pesatnya pembangunan daerah menuntut
tersedianya dana bagi pembiayaan pembangunan yang menyangkut perkembangan
kegiatan fiskal yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber-sumber
pembiayaan yang semakin besar. Tatanan pemerintah yang mengarah pada
diperluasnya otonomi daerah di dalam mengatur dan menetapkan kebijakan
pemerintah di daerah menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Untuk mempersiapkan kemandirian daerah tersebut, yang harus dilakukan oleh
daerah adalah dengan memperkuat struktur perekonomiannya sehingga pemerintah
daerah harus dapat memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai. Untuk itu pemerintah daerah diberikan
kewenangan untuk mengelola dan menggali sumber-sumber keuangannya agar dapat
membiayai penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pemberian pelayanan
kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya. Untuk itu konsep dan kewenangan
daerah yang lebih mengacu pada porsi
kebijakan pusat, akan bergeser dengan mengarah pada kemandirian daerah dalam
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Perubahan ini merupakan jawaban
atas tuntutan reformasi bagi terciptanya pemerintahan yang bersih dalam
melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan sehingga perwujudan masyarakat madani (civil society) yang memiliki nilai-nilai
good governance yang mencerminkan
demokrasi, keterbukaan, kejujuran, keadilan yang berorientasikan kepentingan
rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat (Koswara, 2000: 37). Dari sisi ini
maka sistem pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, tidak hanya terfokus pada
pemerintah propinsi dan pusat (vertical
accountability) melainkan lebih dititikberatkan pada masyarakat melalui
DPRD (horizontal accountability).
Menurut Mardiasmo (2000: 3) perspektif perubahan yang diinginkan dalam
pengelolaan keuangan dan anggaran daerah sebagai upaya pemberdayaan pemerintah
daerah, sebagai berikut:
1.
pengelolaan keuangan daerah harus
bertumbuh pada kepentingan publik (public
oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi alokasi anggaran
untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi
masyarakat dan DPRD dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
keuangan daerah;
2.
kejelasan tentang misi pengelolaan
keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya;
3.
desentralisasi pengelolaan keuangan
dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran,
seperti: DPRD, Kepala Daerah, Sekretaris Daerah dan perangkat daerah lainnya;
4.
kerangka hukum dan administrasi
atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah
mekanisme pasar, value for money,
transparansi dan akuntabilitas;
5.
kejelasan tentang kedudukan
keuangan DPRD, Kepala Daerah dan pegawai negeri sipil daerah, baik rasio maupun
dasar pertimbangannya;
6.
ketentuan tentang bentuk dan
struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan;
7.
prinsip pengadaan dan pengelolaan
barang daerah yang lebih profesional;
8.
prinsip akuntansi pemerintah
daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan,
pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi
anggaran kepada publik;
9.
aspek pembinaan dan pengawasan
yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat
guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah;
10.
pengembangan sistem informasi
keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen
pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi, sehingga memudahkan
pelaporan dan pengendalian serta mempermudah mendapatkan informasi.
Devas ( 1989 : 281 ), mengemukakan bahwa, ciri
pengelolaan keuangan yang baik antara lain sederhana, lengkap, berhasilguna dan
mudah disesuaikan. Pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia selama ini,
pembiayaan pembangunan bagi kebanyakan daerah masih sangat mengandalkan sumber-sumber
penerimaan potesial yang dikuasai oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat
di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dimana sekitar dua
pertiga dari pengeluaran pemerintah daerah dibiayai oleh bantuan dan sumbangan
dari pemerintah pusat. Mubyarto ( 2001 : 37 ), menyebutkan salah satu instrumen
yang dapat dipakai untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan kegiatan
pembangunan dan kegiatan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat adalah Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, ukuran yang dipakai untuk mengetahui kemampuan daerah dalam
membiayai belanja rutin dan belanja pembangunan adalah ratio antara Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), atau
sering disebut Indeks Kemampuan Rutin (IKR). Dalam Penelitian Struktur
Perekonomian Daerah Tingkat Propinsi di Indonesia. Nazara, (1997:21) menyebutkan
bahwa kemampuan daerah menyelenggarakan otonomi secara murni, harus mampu
meningkatakan kemampuan daerah dalam bentuk peningkatan proporsi Pendapatan
Asli Daerah (PAD). Bila pendapatan daerah dari sumber peneriman daerah cukup
besar maka, akan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat dan dengan
sendirinya akan meningkat pula pemberian pelayanan kepada masyarakat oleh
pemerintah daerah. Untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka
pemerintah daerah perlu melakukan pengembangan pelayanan kepada masyarakat
melalui pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah dengan baik hal ini juga
sejalan dengan keinginan dari warga masyarakat yang menginginkan adanya
pemerintahan yang bersih dan memiliki kinerja yang baik.
Berdasarkan
survey pendahuluan diperoleh realiasasi anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, dan Kabupaten Sijunjung
sebagai berikut :
Tabel 1.1
Realiasasi
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
Kabupaten Tanah
Datar, Kota Padang Panjang, dan Kabupaten Sijunjung
Tahun
|
Tanah Datar
|
Padang Panjang
|
Sijunjung
|
2005
|
(Rp
9.351.610.361,02)
|
Rp
3.241.432.097.12
|
Rp 4.567.243.453,00
|
2006
|
Rp
39.205.009.362,38
|
Rp
6.452.341.243,00
|
Rp
68.222.074.544,19
|
2007
|
Rp
106.011.168.988,53
|
Rp
29.471.480.201.11
|
Rp
42.596.032.191,75
|
2008
|
(Rp113.004.887.041,62)
|
Rp
10.698.815.561.64
|
Rp
9.242.723.906,09
|
2009
|
(17.300.848.708,00)
|
Rp 4.015.996.506,78
|
(Rp
6.753.299.248,16)
|
Sumber : Pertanggung Jawaban
Pelaksanaan APBD Kabupaten Tanah Datar, Padang Panjang dan Sijunjung
Berdasarkan
tabel dapat dijelaskan bahwasanya realisasi anggaran pendapatan dan belanja
daerah Kabupaten Tanah Datar mengalami surplus paling besar dari kabupaten
lainnya pada tahun 2007 senilai Rp 106.011.168.988,53 untuk perbandingan dari tahun 2005 – 2009,.
Kemudian Kabupaten Tanah datar juga mengalami defisit paling besar pada tahun
2008 senilai (Rp113.004.887.041,62) dibandingkan kabupaten lainnya ini
menandakan terjadi fluktuasi yang sangat tajam untuk realisasi anggaran dan
pendapatan untuk Kabupaten Tanah Datar.
`Dari
fenomena-fenomena diatas maka penulis tertarik untuk meneliti kinerja
pengelolaan keuangan daerah pada Kabupaten Tanah Datar, dimana keuangan daerah Tanah
Datar bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, rugi laba usaha milik
daerah serta lain-lain pendapatan asli daerah, dengan penerimaan daerah yang
bersumber dari hal tersebut maka akan dilihat seberapa besar pendapatan asli
daerah tersebut mampu meningkatkan kinerja keuangan seiring dengan letak
geografis dan perkembangan daerah Tanah Datar secara keseluruhan, meski Pemda Tanah
Datar juga mengandalkan transfer dari pusat. Meski secara keseluruhan terjadi
fluktuasi yang tidak stabil atas perubahan laporan keuangan setiap tahunnya dan
sebagai pembanding digunakan Kabupaten Sijunjung dan Kota Padang Panjang berdasarkan UU No.32/2004 dan UU No.33/2004
sehingga penyajian pelaporan keuangan pemerintah daerah sesuai dengan tujuan
penyajian laporan keuangan daerah.
Kota
Padang Panjang digunakan sebagai pembanding disebabkan pada 5 tahun terakhir
dari 2005 sampai dengan 2009 kota Padang Panjang terus mengalami surplus,
dimana realisasi anggaran pendapatan dan belanja mampu mencukupi keuangan
daerahnya, meski surplus tidak sebesar yang dimiliki Kabupaten Tanah Datar tapi
kota Padang Panjang mampu mempertahankan surplusnya tersebut meski dengan
jumlah yang naik pada tahun 2005 – 2006 dan menurun dari tahun 2007 – 2009. Sementara
dipilihnya Kabupaten Sijunjung sebagai pembanding karena ditemukan 3 tahun
terakhir antara 2006 – 2008 Kabupaten Sijunjung mengalami surplus meskipun
turun dan pada 2009 mengalami defisit, sehingga dari sini kita akan melihat
bagaimana kinerja keuangan daerah dari ketiga tempat ini secara keseluruhan.
1.2 Perumusan
Masalah.
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah penulis tetapkan diatas, maka
masalah penelitian ini dapat dirumuskan “Bagaimana
Kinerja keuangan daerah di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kota
Padangpanjang”
1.3
Tujuan Penelitian.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis tetapkan di atas maka
masalah penelitian ini bertujuan untuk :
1.
Menganalisa efektifitas pengelolaan
keuangan daerah yang dilaksanakan oleh masing-masing Kabupaten/Kota dari pelaksanaan
APBD dengan melakukan perbandingan antara anggaran dan realisasi.
2.
Menganalisa efesiensi pengelolaan
keuangan daerah yang dilaksanakan oleh masing-masing Kabupaten/Kota dari
pelaksanaan APBD dengan melakukan perbandingan antara anggaran dan realisasi.
3.
Menganalisa kemampuan keuangan
daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi dan tugas rutin daerah.
- Mengukur sejauhmana aktifitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerah.
- Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
1.4 Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah Kabupaten. Tanah
Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kota Padangpanjang secara khusus dan bagi
pemerintah propinsi secara umum dalam pengelolaan keuangan Pemerintah baik yang
berasal dari penerimaan asli daerah maupun dana dari pemerintah pusat dan dapat berguna bagi peneliti lain sebagai
bahan kajian dalam bidang pengelolaan keuangan dan anggaran daerah dimasa yang
akan datang.
1.5 Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab yang
menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan
bab yang menjelaskan tentang pengertian APBD dan tujuan pengelolaan APBD,
prinsip dan proses penyusunan APBD, tingkat kemandirian, efektifitas dan
efisiensi pengelolaan keuangan daerah.
BAB
III METODOLOGI PENELITIAN
Merupakan
bab yang menjelaskan jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, jenis dan
sumber data, teknik analisis data .
BAB
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Merupakan
bab yang menjelaskan tentang gambaran umum daerah penelitian, analisis dan
hasil penelitian berupa tingkat kemandirian keuangan, tingkat efektifitas keuangan,
tingkat efisiensi keuangan, selanjutnya mengukur sejauhmana aktifitas
pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerah, mengukur kontribusi
masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
.BAB
V PENUTUP
Merupakan
bab yang menjelaskan kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keuangan Daerah
Keuangan daerah mempunyai arti yang sangat
penting dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan pembangunan oleh
pelayanan kemasyarakatan di daerah, oleh karena itu keuangan daerah diupayakan
untuk berjalan secara berdaya guna dan berhasil guna. Lahirnya otonomi
daerah telah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur dan mengurus
sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana
Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Sumber-sumber Penerimaan lainnya. Untuk itu
kebijaksanaan keuangan daerah diarahkan pada upaya penyesuaian secara terarah
dan sistematis untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah bagi pembiayaan
pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber Pendapatan
Asli Daerah. Kebijakan ini juga diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip,
norma, asas dan standar akuntansi dalam penyusunan APBD agar mampu menjadi
dasar bagi kegiatan pengelolaan, pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan
keuangan daerah.
Sedangkan sasaran yang
ingin dicapai keuangan daerah adalah kemandirian keuangan daerah melalui upaya
yang terencana, sistematis dan berkelanjutan, efektif dan efisien. Faktor keuangan
merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya.
Keadaan keuangan daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan
oleh pemerintah daerah. Usman (1998: 63) mengatakan salah satu kriteria penting
untuk mengetahui secara nyata, kemampuan daerah untuk mengatur rumah tangganya
sendiri adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan.
Halim (2007: 230) mengungkapkan bahwa kemampuan pemda dalam mengelola keuangan
daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemda dalam membiayai
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial
masyarakat.
Keuangan daerah secara
sederhana dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai
dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang
dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara
atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan
perundangan yang berlaku (Mamesah, 1995: 16).
Pemerintah Daerah di dalam
melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan
sumber dana/modal untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (government
expenditure) terhadap barang-barang publik (publik goods) dan
jasa pelayanannya. Menurut Kunarjo (1996: 181) bahwa untuk melaksanakan pembangunan
prasarana, pemerintah daerah dapat membiayai dari sumber pendapatan asli daerah,
dana perimbangan maupun pinjaman daerah.
Menurut Halim (2004 : 20), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari :
” Keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Yang termasuk dalam kekayaan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang investaris milik daerah.
Keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)”.
2.2. Pengertian
APBD dan tujuan pengelolaan APBD.
Menurut Yuwono (2005 : 92 ),
APBD didefinisikan sebagai ”Suatu rencana keuangan tahunan daerah yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah yang disetujui oleh dewan Perwakilan
Rakyat Daerah”.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58
tahun 2005, Bab 1 pasal 1 ayat 7 APBD
didefinisikan sebagai ”Rencana keuangan tahunan pemerintah
daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,
ditetapkan dengan peraturan daerah”. Pengelolaan APBD
dilaksanakan melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) yang merupakan
kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD), yang juga bertindak
sebagai bendahara umum daerah. Sebagai dasar penyusunan APBD digunakan dokumen
Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
yang berisikan rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan SKPD
serta pembiayaan.
Sedangkan di dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat (14) di jelaskan ”Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.”
Menurut Permendagri No. 13 tahun 2006 Bab III Pasal 15 dapat dijelaskan azas umum APBD, yaitu :
- APBD
disusun dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan
pendapatan daerah.
- Penyusunan
APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah daerah dalam mewujudkan
pelayanan kepada masyarakat untuk
tercapainya tujuan bernegara.
- APBD
mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi,
dan stabilisasi.
- APBD,
perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan peraturan daerah.
Dalam satu tahun anggaran,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meliputi:
- Hak pemerintah daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
- Kewajiban pemerintah daerah yang
diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
- Penerimaan yang perlu dibayar kembali,
dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran
yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
APBD merupakan suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan
berdasarkan peraturan daerah, dengan demikian APBD merupakan alat/wadah untuk
menampung berbagai kepentingan publik yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan
dan program dimana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar akan dirasakan
oleh masyarakat (Bana, 2001:12). APBD pada hakekatnya merupakan instrumen
kebijakan yang digunakan sebagai alat untuk meningkatkan pelayananan umum dan
kesejahteraan masyarakat di daerah, maka dari itu pemerintah daerah harus
selalu berupaya secara nyata dan terstruktur untuk menghasilkan suatu APBD yang
dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat atas dasar potensi masing-masing
daerah serta dapat memenuhi tuntutan dan terciptanya anggaran daerah yang
berorientasi kepentingan dan akuntabilitas publik. Untuk itu pemerintah daerah
harus mampu merencanakan anggaran dengan baik sehingga baik tujuan maupun
sasaran akan dapat tercapai secara berdayaguna dan berhasilguna. Mardiasmo
(1999:11) mengatakan bahwa salah satu aspek penting dari pemerintah daerah yang
harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran
daerah sebab APBD merupakan instrument kebijakan yang menduduki posisi sentral
dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah.
Keuangan dan anggaran daerah merupakan alat fiskal pemerintah daerah dan
merupakan bagian integral dari keuangan negara. Oleh sebab itu pengalokasian
sumber keuangan diperuntukan bagi pemerataan pembangunan sekaligus menciptakan
stabilitas ekonomi daerah, sehingga peranan keuangan dan anggaran daerah akan
semakin penting disamping keterbatasan pendapatan asli daerah dalam mengimbangi
perolehan dana dari pemerintah pusat. Selanjutnya Hirawan (1990:26)
mengemukakan bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di daerah
maka semakin besar pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh pemerintah
daerah, kebutuhan dana tersebut tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh dana
yang bersumber dari pemerintah daerah sendiri. Dengan demikian pemerintah
daerah harus mampu untuk mengurus dan mengatur kemampuan keuangan daerah sendiri,
seperti yang dikemukakan oleh Syamsi (1986:199) ada beberapa kriteria yang
dapat dijadikan ukuran antara lain :
1.
Kemampuan struktural organisasi.
Pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktifitas dan tugas-tugas
yang menjadi beban dan tanggung jawabnya dengan jelas.
2.
Kemampuan aparatur pemerintah
daerah.
Seluruh aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam
mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
3.
Kemampuan mendorong partisipasi
masyarakat.
Pemerintah daerah harus mampu memberikan motivasi kepada masyarakat agar
masyarakat ikut berpastisipasi dalam kegiatan pembangunan di daerah.
4.
Kemampuan keuangan daerah.
Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan
rumah tangga daerah. Untuk itu kemampuan keuangan daerah harus mampu mendukung
pembiayaan kegitan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan.
Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat
kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya, sebab keadaaan keuangan
daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah
daerah. Mamesah (1995:16) mengemukakan bahwa keuangan daerah secara sederhana
dapat dirumuskan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat
dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau
daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan
perudangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
dimana pemerintah daerah memerlukan sumber dana/modal untuk membiayai
pengeluaran pemerintah terhadap barang-barang publik dan jasa pelayanannya. Adapun
sumber penerimaan daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 pasal 5 terdiri atas :
1.
Pendapatan asli daerah bersumber
dari, yaitu: a) hasil pajak daerah; b) hasil retribusi daerah; c) hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan; d) dan
lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.
Dana perimbangan;
3.
Lain-lain pendapatan daerah yang
sah.
Selanjutnya
sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 dikatakan bahwa pendapatan
daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu
yang menjadi hak daerah. Penerimaan daerah adalah semua penerimaan kas daerah
dalam periode tahun anggaran tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah
pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara
rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 mengatakan bahwa anggaran pengeluaran
dalam APBD tidak boleh melebihi anggaran penerimaan. Di dalam penjelasan
pasalnya bahwa daerah tidak boleh menganggarkan pengeluaran tanpa kepastian
terlebih dahulu mengenai ketersediaan sumber pembiayaannya, dan mendorong
daerah untuk meningkatkan efisiensi pengeluarannya.
Berkenaan dengan tujuan pengelolaan APBD oleh Devas, dkk. (1989: 279)
meliputi: 1) tanggung jawab; 2) memenuhi
kewajiban keuangan; 3) kejujuran; 4) hasil guna dan daya guna; dan 5)
pengendalian. Penjelasan selengkapnya sebagai berikut :
1)
ketanggungjawaban (accountability): pemerintah daerah harus
mempertanggungjawabkan tugas keuangannya kepada lembaga atau orang yang
berkepentingan yang sah. Lembaga atau orang itu termasuk pemerintah pusat,
DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. Adapun unsur penting tanggung jawab
mencakup keabsahan dan pengawasan;
2) mampu memenuhi kewajiban keuangan: keuangan daerah harus ditata
sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan
jangka panjang (termasuk pinjaman jangka panjang);
3) kejujuran : urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang
jujur dan kesempatan berbuat curang diperkecil;
4) hasil guna (effectiveness)
dan daya guna (efficiency) kegiatan
daerah: tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pemerintah daerah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu
secepat-cepatnya;
5) pengendalian: petugas keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawas
harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut diatas tercapai.
2.3.
Prinsip dan proses penyusunan
APBD
Menurut Riyas Rasyid dan PAU-SE UGM (2000: 5-8) prinsip dan proses
penyusunan APBD sebagai berikut.
1.
Keadilan anggaran
Keadilan Anggaran merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah
daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan
pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkatkan dan kesempatan
kerja juga akan semakin bertambah, apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam
pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja
maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal
tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau
belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh
para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak
daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang
transparan dalam menentukan tingkat layanan bagi masyarakat daerah;
2.
Efisiensi dan efektivitas anggaran
Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana
memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan
kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum, kelemahan
yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk
mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada
kinerja, bukan pendekatan incremental yang sangat lemah landasan pertimbangannya.
Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi
alokasi dan efektivitas kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang
jelas. Berkenaan dengan itu, maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan
serta harga satuannya, akan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan
efisiensi dan efektivitas anggaran;
3.
Anggaran berimbang dan defisit
Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk
menghindari terjadinya hutang pengeluaran, akibat rencana pengeluaran yang
melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan
dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi
melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai
dengan prinsip defisit anggaran. Penetapan prinsip ini agar alokasi belanja
yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis, baik
berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan keuangan maupun
pinjaman daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak harus selalu
dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan
atau pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak
yang harus segera dilaksanakan;
4.
Disiplin anggaran
Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk 1 (satu) tahun
anggaran tertentu yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Pencatatan atas
penggunaan anggaran daerah disesuaikan dengan prinsip akuntansi keuangan daerah
Indonesia.
Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia
kredit anggarannya dalam APBD/perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang
harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD
dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak
tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap
pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak
dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang
telah ditetapkan. Di samping itu harus pula dihindari kemungkinan terjadinya
duplikasi anggaran baik antar unit kerja, antara belanja rutin dan belanja
pembangunan serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja
tersebut dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan
atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang
ditujukan pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian akan
dapat dihindari pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak efisien;
5.
Transparansi dan akuntabilitas anggaran
Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan
anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban
pemerintah daerah kepada masyarakat. Sejalan dengan Code of Good Practices on Fiscal Transparancy yang diperkenalkan oleh IMF, maka dalam proses
pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol
pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk
mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh karena
itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan
tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat
dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian
anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan
pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif,
masyarakat maupun pihak-pihak yang bersifat independen yang memerlukan.
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, guna mendukung pencapaian tujuan
dan sasaran pembangunan daerah secara keseluruhan yang tergambar lewat
perhitungan APBD, maka terdapat lima
kebijakan pokok bidang keuangan:
1.
Kebijakan bidang keuangan :
peningkatan PAD bagi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan
masyarakat dengan kekuatan sendiri.
2.
Kebijakan bidang pengeluaran :
diarahkan untuk dan dalam rangka perwujudan program pembangunan daerah yang
pada gilirannya akan memperkuat basis perekonomian masyarakat;
3.
Kebijakan bidang kelembagaan :
penekanannya pada upaya bagaimana peningkatan kemampuan manajerial
organisasi dalam mengemban tugas sesuai
visi, misi dan program-program strategi yang telah dicanangkan;
4.
Kebijakan bidang pengawasan :
bagaimana upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran, agar dapat
mencerminkan suatu manajemen yang
akuntabel;
5.
Kebijakan dalam mendorong
keikutsertaan pihak swasta/LSM dalam membangun daerah sesuai porsi
masing-masing.
Dari beberapa kebijakan tersebut, pemerintah daerah diharapkan akan
semakin mampu menjabarkannya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
masing-masing unit kerja. Dengan itu pengelolaan keuangan dan anggaran daerah
nantinya akan melalui suatu mekanisme perencanaan yang mantap dan bertanggung jawab, sehingga
perhitungan APBD akan tidak sekedar untuk memenuhi siklus anggaran tetapi
benar-benar merupakan hasil pertanggung jawaban dari pelaksanaan anggaran yang
telah direncanakan terlebih dahulu secara baik dan mantap.
2.4.Fungsi APBD
APBD yang dianggarkan untuk
mendukung jalannya pemerintahan di daerah memiliki berbagai macam fungsi. Mardiasmo (2002 : 63), mengungkapkan ada beberapa fungsi utama
anggaran sektor publik, yaitu:
- Anggaran
sebagai alat perencanaan (planning
tool)
- Anggaran
sebagai alat pengendalian (control
tool)
- Anggaran
sebagai alat kebijakan fiskal (fiscal
tool)
- Anggaran
sebagai alat politik (political
tool)
- Anggaran sebagai alat Koordinasi dan komunikasi (coordination and communication tool)
- Anggaran sebagai alat motivasi (motivation tool) dan
- Anggaran sebagai alat untuk menciptakan ruang public (public sphere)
Sedangkan menurut Indra
Bastian (2006 : 164), anggaran berfungsi
sebagai berikut:
- Anggaran
merupakan hasil akhir proses penyusunan rencana kerja.
- Anggaran
merupakan cetak biru aktivitas yang akan dilaksanakan di masa mendatang.
- Anggaran
sebagai alat komunikasi intren yang menghubungkan berbagai unit kerja dan
mekanisme kerja antara atasan dan bawahan.
- Anggaran
sebagai alat pengendalian unit kerja.
- Anggaran
sebagai alat motivasi dan persuasi tindakan efektif dan efisien dalam
pencapaian visi organisasi.
- Anggaran
merupakan instrumen politik, dan
- Anggaran
merupakan instrumen kebijakan fiskal.
2.5.Struktur APBD
Pasca reformasi, bentuk APBD mengalami perubahan
yang cukup mendasar. Bentuk APBD yang pertama didasari oleh keputusan Menteri
Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan pengawasan
keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja,
pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan anggaran
pendapatan dan belanja daerah. Sejalan dengan perubahan yang terjadi bentuk
APBD sekarang didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006
(Halim : 2007 ). Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/2006 Pasal 22 Ayat (1) terdiri dari 3 bagian , yaitu; Pendapatan daerah, belanja daerah,
dan pembiayaan daerah.
Peraturan-peraturan di
era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan semakin
informatif. Untuk itu dalam bentuk yang baru APBD terdiri atas tiga bagian
yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori baru
agar APBD semakin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah.
Hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak pemda, sedangkan pinjaman
belum tentu menjadi hak pemda. Selain itu dalam APBD mungkin terdapat surplus
atau defisit. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber
penutupan defisit anggaran (Halim, 2007)
Menurut Kumorotomo dan
Purwanto dalam Abdullah (2005), struktur APBD tersebut merupakan satu kesatuan
yang terdiri dari Pendapatan daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan
daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu
yang menjadi hak daerah. Pendapatan daerah ini dirinci menurut kelompok
pendapatanyang meliputi pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah. Belanja daerah merupakan semua pengeluaran kas daerah
dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Belanja daerah
meliputi semua pengeluaran yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun
anggaran yang akan menjadi pengeluaran kas daerah. Belanja dikelompokkan
menjadi belanja aparatur, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan
bantuan keuangan dan belanja tidak tersangka.
Pembiayaan adalah
transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara
pendapatan daerah dan belanja daerah. Pembiayaan meliputi transaksi keuangan
untuk menutup deficit atau memanfaatkan surplus. Selisih antara anggaran
pendapatan daerah dan anggaran belanja daerah inilah yang dapat mengakibatkan
terjadinya surplus atau defisit anggaran. Terjadinya surplus apabila anggaran
pendapatan daerah lebih besar dari anggaran belanja daerah, sedangkan defisit
apabila pendapatan daerah lebih kecil dari anggarab belanja daerah. Adanya
surplus anggaran kemudian dapat dimanfaatkan antara lain untuk transfer ke dana
cadangan, pembayaran pokok utang, penyertaan modal (investasi) dan atau sisa perhitungan anggaran tahun berkenaan yang
dianggarkan pada kelompok pembiayaan jenis pengeluaran daerah. Apabila terjadi
defisit akan dibiayai dari sisa anggaran tahun yang lalu, pinjaman daerah,
penjualan obligasi daerah, hasil penjualan barang milik daerah yang dipisahkan,
transfer dari dana cadangan yang dianggarkan pada kelompok pembiayaan dan jenis
penerimaan daerah (Halim, 2007).
Struktur Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 2.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
No
|
Bagian APBD
|
Rincian APBD
|
1
|
Pendapatan
|
1.Pendapatan Asli Daerah:
a. Pendapatan pajak daerah
b. Pendapatan retribusi
daerah
c. Pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan
d. Lain-lain Pendapatan
asli daerah yang sah
2. Pendapatan Transfer:
a. Transfer pemerintah
pusat-dana perimbangan:
1) dana bagi hasil pajak
2) dana bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)
3) dana alokasi umum
4) dana
alokasi khusus
b. Transfer pemerintah
pusat lainnya:
1) dana otonomi khusus
2) dana penyesuaian
c. Transfer pemerintah
provinsi
1) pendapatan bagi hasil pajak
2) pendapatan bagi hasil lainnya
3. Lain-lain Pendapatan Yang sah
a. pendapatan hibah
b. pendapatan dana darurat
c. pendapatan lainnya
|
JUMLAH
|
||
2
|
Belanja
|
1. Belanja Operasi:
a. belanja pegawai
b. belanja barang
c. belanja bunga
d. belanja subsidi
e. belanja hibah
f. belanja bantuan sosial
g. belanja bantuan keuangan
2. Belanja Modal:
a. belanja tanah
b. belanja peralatan dan mesin
c. belanja gedung dan bangunan
d. belanja jalan, irigasi dan jaringan
e. belanja aset tetap lainnya
f. belanja aset lainnya
3. Belanja Tidak Terduga:
a. belanja tidak terduga
4. Transfer:
a. transfer bagi hasil ke desa:
1) bagi hasil pajak
2) bagi hasil retribusi
3) bagi hasil pendapatan lainnya
|
JUMLAH
|
||
SURPLUS/(
DEFISIT)
|
||
3
|
Pembiayaan
|
1. Penerimaan Daerah:
a. Penggunaan sisa lebih
perhitungan anggaran (silpa)
b. Pencairan dana cadangan
c. Hasil penjualan kekayaan
daerah yang dipisahkan
d. Penerimaan pinjaman daerah
e. Penerimaan kembali pemberian
pinjaman daerah
g. Penerimaan piutang daerah
2. Pengeluaran Daerah:
a. pembentukan dana cadangan
b. penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah
c. pembayaran pokok utang
d. pemberian pinjaman daerah
|
JUMLAH
|
||
Pembiayaan Neto
|
||
Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran( SILPA)
|
Sumber: Permendagri No.13 tahun 2006
2.6. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
2.6.1. Pengertian Kinerja
Menurut
Mahsun (2006 : 25), kinerja (performance) adalah gambaran
mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam
strategic planning suatu organisasi. Sedangkan menurut Wiloyo
(2007), kinerja merupakan sesuatu yang dicapai, kemampuan kerja (tentang
peralatan) atau prestasi yang diperlihatkan.
2.6.2. Indikator Kinerja
Menurut Indra Bastian (2006 : 267), Indikator kinerja
adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian
suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan
indikator masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (outcomes), manfaat
(benefits), dan dampak (impact). Indikator masukan (inputs) adalah segala
sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk
menghasilkan keluaran. Indikator
ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, informasi, kebijaksanaan/peraturan
perundang-undangan, dan sebagainya. Indikator keluaran (outputs) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari
suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/ atau nonfisik. Indikator hasil
(outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran
kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator manfaat (benefits)
adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Dan
indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun
negatif terhadap setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah
ditetapkan.
2.6.3. Pengukuran Kinerja
Untuk mengukur efektifitas kerja suatu organisasi
perlu dilakukan pengukuran atas pencapaian pelaksanaan
kegiatan/program/kebijakan yang dilaksanakan pada organisasi tersebut. Pengukuran
kinerja (performance measurement) menurut Roberston (2002) dalam Mahsun (2006 :
25) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan
sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi
penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan
jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada
pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan); hasil kegiatan
dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektifitas tindakan dalam
mencapai tujuan.
Sedangkan pengukuran kinerja
menurut Mardiasmo (2002) adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu
menejer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial
dan non finansial. Pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu
memperbaiki kinerja pemerintah, untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan
keputusan serta untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki
komunikasi kelembagaan.
Hampir serupa dengan
pengertian diatas Mahsun (2006) menjelaskan bahwa pengukuran kinerja adalah
suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian
pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran dan strategi sehingga dapat
diketahui kemajuan organisasi serta meningkatkan kualitas pengambilan keputusan
dan akuntabilitas.
Sementara menurut Lohman
(2003) dalam Mahsun (2006 : 25), pengukuran kinerja merupakan suatu aktivitas
penilaian pencapaian target-target tertentu yang diderivasi dari tujuan
strategis organisasi.
Berdasarkan berbagai definisi
diatas, dapat disimpulkan elemen pokok suatu pengukuran kinerja antara lain:
- Menetapkan
tujuan,sasaran, dan strategi organisasi
- Merumuskan
indikator dan ukuran kinerja
- Mengukur
tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran –sasaran organisasi
- Evaluasi
kinerja (feedback, penilaian kemajuan organisasi, meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan dan akuntabilitas)
2.7.
Tingkat Kemandirian, Efektifitas
dan Efesiensi Keuangan Daerah.
Kinerja atau kemampuan keuangan merupakan salah satu ukuran untuk melihat
kemampuan dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004). Pemerintah daerah
sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan
dan pelayananan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban
keuangan daerah yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk dinilai oleh
masyarakat apakah pemerintah daerah dikatakan telah berhasil atau belum dalam
menjalankan tugasnya dengan baik.
Pelaporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah lebih banyak memberikan
penekanan pada pertanggungjawaban apakah sumber penerimaan keuangan yang
diperoleh oleh pemerintah sudah digunakan sesuai dengan anggaran dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Menurut
Suprapto (2005) salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah
dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio
terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Lebih lanjut Suprapto
(2005) menyatakan bahwa hasil analisis rasio keuangan digunakan untuk tolok
ukur dalam :
a.
Menilai tingkat kemandirian
keuangan pemerintah daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.
b.
Mengukur efektifitas dan efesiensi
dalam merealisasikan pendapatan daerah.
c.
Mengukur sejauhmana aktifitas
pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerah.
d.
Mengukur kontribusi masing-masing
sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
e.
Melihat pertumbuhan dan
perkembangan perolehan sumber pendapatan dan pengeluaran yang digunakan oleh
pemerintah daerah selama masa periode terntentu.
Menurut Halim (2004) menyatakan bahwa rasio berdasarkan APBD yang
digunakan untuk mengukur kinerja keuangan daerah adalah sebagai berikut :
a.
Rasio Tingkat Kemandirian.
Rasio tingkat kemandirian keuangan daerah yaitu dengan membandingkan
besarnya realisasi PAD dengan total pendapatan asli daerah. Formula yang
digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian daerah adalah sebagai berikut :
Secara konsepsional dimana pola hubungan antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah dapar dilihat dari tingkat kemampuan pemerintah daerah dalam
mengelola keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan
perbedaan. Ada empat macam pola yang digunakan untuk memperkenalkan “hubungan
situasional” yang dapat digunakan sebagai acuan untuk pelaksanaan otonomi
daerah, terutama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang telah diubah
menjadi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah” (Halim, 2002) antara lain
a.
Pola hubungan Instruktif , artinya
peranan pemerintah pusat lebih dominan dalam pelaksanaan kemandirian pemerintah
daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. (daerah belum mampu melaksanakan
otonomi daerah).
b.
Pola hubungan Konsultatif artinya
campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap
telah sedikit lebih mampu dalam melaksanakan otonomi daerah.
c.
Pola hubungan Partisipatif artinya
peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan
dimana tingkat kemandirian pemerintah daerah mendekati kemampuan untuk
melaksanakan urusan otonomi daerah.
d.
Pola hubungan Delegatif artinya
campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daeah telah benar-benar
mampu mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
Bertitik tolak dari teori tersebut dimana potensi yang dimiliki
masing-masing daerah apakah potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya
manusia yang berbeda akan mengakibatkan adanya perbedaan pada pola hubungan dan
tingkat kemandirian dari masing-masing Kabupaten/Kota . Sebagai pedoman dalam
melihat pola hubungan daerah dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) dapat
dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel
2.1
Pola
Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
No
|
Kemampuan Keuangan
Daerah
|
Kemandirian (%)
|
Pola Hubungan
|
1
2
3
4
|
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
|
> 25 %
25 % - 50 %
50 % - 75 %
75 % - 100 %
|
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
|
Sumber
: Nadeak (2003)
b. Rasio Efektifitas.
Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang telah ditetapkan berdasarkan potensi riil (Halim,2002).
Menurut Devas dkk (1989: 143), efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintah
daerah dalam mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga
memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan
pemerintah daerah dengan biaya yang serendah‑rendahnya dan dalam waktu secepat‑cepatnya.
Jadi sehubungan dengan hal tersebut,
maka pengertian efektivitas di sini adalah perbandingan penerimaan dengan
target dikalikan dengan seratus persennya.
Berdasarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor : 690.900-327 Tahun 1994 bahwa kriteria penilaian dan
kinerja keuangan dapat diketahui efektif atau tidak dengan memenuhi kriteria‑kriteria‑ sebagai berikut :
a. Hasil perbandingan
atau tingkat pencapaian di atas 100%, berarti sangat efektif
b.
Hasil perbandingan mencapai antara
90% ‑ 100%, berarti efektif
c.
Hasil perbandingan mencapai antara
80% ‑ 90%, berarti cukup efektif
d. Hasil perbandingan
mencapai antara 60% ‑ 80%, berarti kurang efektif
e. Hasil perbandingan
mencapai di bawah 60%, berarti tidak efektif
Analisis efektivitas yang digunakan untuk mengukur hubungan antara realisasi
PAD dengan potensi PAD, atau rasio antara realisasi PAD dengan potensi PAD.
Semakin besar nilai yang dicapai berarti semakin efektif. Untuk menghitung
potensi PAD adalah dengan pendekatan potensi diwakili (proxi) sama dengan
jumlah target ditambah lima persen (5%) target,
penambahan lima
persen (5%) karena dalam penetapan target telah mendekati potensi.
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila
rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. Namun demikian
semakin tinggi rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin
baik.
c.
Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara
besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi
pendapatan yang diterima. Kinerja pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan
pendapatan dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1
(satu) atau di bawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja
pemerintah semakin baik. Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung secara
secermat berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh
pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan
pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Hal itu perlu dilakukan karena
meskipun Pemerintah Daerah berhasil merealisasikan pendapatan sesuai dengan
target yang ditetapkan, namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila
ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan
pendapatannya itu lebih besar dari pada realisasi pendapatan yang diterimanya.
Formula yang digunakan untuk menghitung efisiensi di sesuaikan
dengan Kepmendagri di atas sebagai berikut:
Pengukuran efisiensi dilakukan
juga terhadap paijak dan retribusi. Biaya pungut yang dimaksud adalah biaya
yang dikeluarkan oleh Dinas Pendapatan Daerah dalam rangka pungutan terhadap
Pendapatan Asli Daerah (PAD).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis
Penelitian.
Penelitian ini menguraikan
tentang fenomena “ Analisa
Kinerja Pengelolaan Keuangan
Daerah” (Studi kasus pada Kabupaten
Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kota Padang Panjang).
Berdasarkan sifat permasalahan tersebut maka
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan kualitatif
berusaha untuk membatasi sasaran atau objek sehingga data yang diambil dapat
digali sebanyak mungkin dan tidak memungkinkan adanya pelebaran objek penelitian
seperti yang diungkapkan oleh Bogdan dan
Biklen (1988:31) mengatakan bahwa penelitian kualitatif berusaha memahami dan
menafsirkan apa makna perilaku yang ditampilkan manusia dalam situasi tertentu
menurut perspektif peneliti itu sendiri.
Dimana penelitian ini
merupakan penelitian studi kasus dengan komparasi kinerja keuangan 3 pemerintah
daerah, dan analisis ini dilakukan karena perubahan realisasi anggaran
pendapatan dan belanja yang berubah-ubah dari pemerintah daerah tersebut.
3.2 Tempat dan Waktu
Penelitian
Tempat penelitian ini adalah pada
3 (tiga) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten
Sijunjung dan Kota Padangpanjang) dan penelitian ini dilakukan pada awal semester
genap tahun pelajaran 2009/2010 yaitu bulan Agustus sampai bulan November 2010.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data skunder berupa laporan
keuangan yang berasal dari masing-masing Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
antara lain dari Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kota
Padangpanjang selama 5 tahun terakhir dari Tahun 2005 sampai dengan 2009.
3.4 Teknik
Analisis Data.
Sesuai dengan penelitian ini
yaitu untuk menganalisis kinerja pengelolaan keuangan daerah, maka guna
mengukur kinerja keuangan daerah tersebut di gunakan beberapa rasio sebagai
berikut :
- Rasio Tingkat Kemandirian.
Rasio tingkat kemansirian keuangan daerah yaitu dengan membandingkan
besarnya realisasi PAD dengan total pendapatan asli daerah. Formula yang
digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian daerah adalah sebagai berikut :
Tabel
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah
No
|
Kemampuan Keuangan
Daerah
|
Kemandirian (%)
|
Pola Hubungan
|
1
2
3
4
|
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
|
> 25 %
25 % - 50 %
50 % - 75 %
75 % - 100 %
|
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
|
Sumber
: Nadeak (2003)
- Rasio
Efektifitas.
Berdasarkan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor : 690.900-327 Tahun 1994 bahwa kriteria penilaian dan
kinerja keuangan dapat diketahui efektif atau tidak dengan memenuhi kriteria‑kriteria‑ sebagai berikut :
a.
Hasil perbandingan atau tingkat pencapaian di atas
100%, berarti sangat efektif
b.
Hasil perbandingan mencapai antara
90% ‑ 100%, berarti efektif
c.
Hasil perbandingan mencapai antara
80% ‑ 90%, berarti cukup efektif
d.
Hasil perbandingan mencapai antara 60% ‑ 80%,
berarti kurang efektif
e.
Hasil perbandingan mencapai di bawah 60%, berarti
tidak efektif
- Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan
yang diterima. Kinerja pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan
dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di
bawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja pemerintah
semakin baik.
Kak saya mau tanya, kriteria kepmendagri no. 690.900.327 , itu di dapat dari buku atau internel? Saya ko cari cari buku nya gaka ada, lalu di internet atau sumber nya langsung juga tidak ketemu? Lalu bagaimana saya dapat menemukannya? Mohon dibalas
BalasHapus