Kamis, 02 Februari 2012

Tesis

Oleh : Noprianto
BAB I
PENDAHULUAN

1.1      Latar Belakang.
Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001, merupakan kebijakan yang dipandang sangat demokratis dan memenuhi aspek desentralisasi pemerintah yang sesungguhnya. Seperti dikemukakan Budiono dalam Sidik et al, (2002:5) tujuan otonomi adalah untuk lebih meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat, pengembangan kehidupan berdemokrasi, keadilan, pemerataan dan pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Dalam UU No. 32/2004 dan UU No.33/2004 yang menjadi landasan otonomi tersebut dijelaskan lebih jauh bagaimana mengaplikasikan hal-hal tersebut melalui beberapa Peraturan Pemerintah (PP).
Dengan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut telah membuka era baru bagi pelaksanaan pemerintahan daerah di Indonesia, maka tugas dan tanggung jawab yang harus dijalankan oleh Pemerintah Daerah bertambah  banyak. Seperti yang dikemukan oleh Darumurti dan Rauta (2000:49) bahwa implikasi dari adanya kewenangan urusan pemerintahan yang begitu luas yang diberikan kepada daerah dalam rangka otonomi daerah, dapat merupakan berkah bagi daerah namun pada sisi lain bertambahnya kewenangan daerah tersebut sekaligus juga merupakan beban yang menuntut kesiapan daerah untuk melaksanakannya, karena semakin bertambahnya urusan pemerintah yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. Guna mengantisipasi hal demikian maka Pemerintah Daerah perlu untuk mempersiapkan beberapa aspek antara lain sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sarana dan prasarana.
Pamudji menegaskan bahwa Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efesien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan (lihat Kaho, 1998:124). Dan keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian masalah keuangan merupakan masalah penting dalam kegiatan pemerintah di dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah karena tidak ada kegiatan pemerintah yang tidak membutuhkan biaya, selain itu faktor keuangan ini merupakan faktor penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Hal senada juga diungkapkan oleh Musgrave (1993) bahwa pesatnya pembangunan daerah menuntut tersedianya dana bagi pembiayaan pembangunan yang menyangkut perkembangan kegiatan fiskal yaitu alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber-sumber pembiayaan yang semakin besar. Tatanan pemerintah yang mengarah pada diperluasnya otonomi daerah di dalam mengatur dan menetapkan kebijakan pemerintah di daerah menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Untuk mempersiapkan kemandirian daerah tersebut, yang harus dilakukan oleh daerah adalah dengan memperkuat struktur perekonomiannya sehingga pemerintah daerah harus dapat memiliki sumber-sumber keuangan yang memadai.  Untuk itu pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola dan menggali sumber-sumber keuangannya agar dapat membiayai penyelenggaraan pemerintah, pembangunan dan pemberian pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya. Untuk itu konsep dan kewenangan daerah  yang lebih mengacu pada porsi kebijakan pusat, akan bergeser dengan mengarah pada kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Perubahan ini merupakan jawaban atas tuntutan reformasi bagi terciptanya pemerintahan yang bersih dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan sehingga perwujudan masyarakat madani (civil society) yang memiliki nilai-nilai good governance yang mencerminkan demokrasi, keterbukaan, kejujuran, keadilan yang berorientasikan kepentingan rakyat dan bertanggungjawab kepada rakyat (Koswara, 2000: 37). Dari sisi ini maka sistem pertanggungjawaban pengelolaan keuangan, tidak hanya terfokus pada pemerintah propinsi dan pusat (vertical accountability) melainkan lebih dititikberatkan pada masyarakat melalui DPRD (horizontal accountability).
Menurut Mardiasmo (2000: 3) perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan dan anggaran daerah sebagai upaya pemberdayaan pemerintah daerah, sebagai berikut:
1.        pengelolaan keuangan daerah harus bertumbuh pada kepentingan publik (public oriented). Hal ini tidak saja terlihat pada besarnya porsi alokasi anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga terlihat pada besarnya partisipasi masyarakat dan DPRD dalam tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah;
2.        kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran daerah pada khususnya;
3.        desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti: DPRD, Kepala Daerah, Sekretaris Daerah dan perangkat daerah lainnya;
4.        kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas;
5.        kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, Kepala Daerah dan pegawai negeri sipil daerah, baik rasio maupun dasar pertimbangannya;
6.        ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan;
7.        prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih profesional;
8.        prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik;
9.        aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah;
10.    pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran  yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi, sehingga memudahkan pelaporan dan pengendalian serta mempermudah mendapatkan informasi.
Devas  ( 1989 : 281 ), mengemukakan bahwa, ciri pengelolaan keuangan yang baik antara lain sederhana, lengkap, berhasilguna dan mudah disesuaikan. Pelaksanaan pembangunan daerah di Indonesia selama ini, pembiayaan pembangunan bagi kebanyakan daerah masih sangat mengandalkan sumber-sumber penerimaan potesial yang dikuasai oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dimana sekitar dua pertiga dari pengeluaran pemerintah daerah dibiayai oleh bantuan dan sumbangan dari pemerintah pusat. Mubyarto ( 2001 : 37 ), menyebutkan salah satu instrumen yang dapat dipakai untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan kegiatan pembangunan dan kegiatan pemerintahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah Anggaran  Pendapatan dan Belanja Daerah, ukuran yang dipakai untuk mengetahui kemampuan daerah dalam membiayai belanja rutin dan belanja pembangunan adalah ratio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), atau sering disebut Indeks Kemampuan Rutin (IKR). Dalam Penelitian Struktur Perekonomian Daerah Tingkat Propinsi di Indonesia. Nazara, (1997:21) menyebutkan bahwa kemampuan daerah menyelenggarakan otonomi secara murni, harus mampu meningkatakan kemampuan daerah dalam bentuk peningkatan proporsi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Bila pendapatan daerah dari sumber peneriman daerah cukup besar maka, akan mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat dan dengan sendirinya akan meningkat pula pemberian pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah daerah. Untuk dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat maka pemerintah daerah perlu melakukan pengembangan pelayanan kepada masyarakat melalui pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah dengan baik hal ini juga sejalan dengan keinginan dari warga masyarakat yang menginginkan adanya pemerintahan yang bersih dan memiliki kinerja yang baik.
Berdasarkan survey pendahuluan diperoleh realiasasi anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, dan Kabupaten Sijunjung sebagai berikut :


Tabel 1.1
Realiasasi Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, dan Kabupaten Sijunjung

Tahun
Tanah Datar
Padang Panjang
Sijunjung
2005
(Rp 9.351.610.361,02)
Rp 3.241.432.097.12
Rp 4.567.243.453,00
2006
Rp 39.205.009.362,38
Rp 6.452.341.243,00
Rp 68.222.074.544,19
2007
Rp 106.011.168.988,53
Rp 29.471.480.201.11
Rp 42.596.032.191,75
2008
(Rp113.004.887.041,62)
Rp 10.698.815.561.64
Rp 9.242.723.906,09
2009
(17.300.848.708,00)
Rp 4.015.996.506,78
(Rp 6.753.299.248,16)
Sumber : Pertanggung Jawaban Pelaksanaan APBD Kabupaten Tanah Datar, Padang Panjang dan Sijunjung

Berdasarkan tabel dapat dijelaskan bahwasanya realisasi anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Tanah Datar mengalami surplus paling besar dari kabupaten lainnya pada tahun 2007 senilai Rp 106.011.168.988,53  untuk perbandingan dari tahun 2005 – 2009,. Kemudian Kabupaten Tanah datar juga mengalami defisit paling besar pada tahun 2008 senilai (Rp113.004.887.041,62) dibandingkan kabupaten lainnya ini menandakan terjadi fluktuasi yang sangat tajam untuk realisasi anggaran dan pendapatan untuk Kabupaten Tanah Datar.
`Dari fenomena-fenomena diatas maka penulis tertarik untuk meneliti kinerja pengelolaan keuangan daerah pada Kabupaten Tanah Datar, dimana keuangan daerah Tanah Datar bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, rugi laba usaha milik daerah serta lain-lain pendapatan asli daerah, dengan penerimaan daerah yang bersumber dari hal tersebut maka akan dilihat seberapa besar pendapatan asli daerah tersebut mampu meningkatkan kinerja keuangan seiring dengan letak geografis dan perkembangan daerah Tanah Datar secara keseluruhan, meski Pemda Tanah Datar juga mengandalkan transfer dari pusat. Meski secara keseluruhan terjadi fluktuasi yang tidak stabil atas perubahan laporan keuangan setiap tahunnya dan sebagai pembanding digunakan Kabupaten Sijunjung dan Kota Padang Panjang  berdasarkan UU No.32/2004 dan UU No.33/2004 sehingga penyajian pelaporan keuangan pemerintah daerah sesuai dengan tujuan penyajian laporan keuangan daerah.
Kota Padang Panjang digunakan sebagai pembanding disebabkan pada 5 tahun terakhir dari 2005 sampai dengan 2009 kota Padang Panjang terus mengalami surplus, dimana realisasi anggaran pendapatan dan belanja mampu mencukupi keuangan daerahnya, meski surplus tidak sebesar yang dimiliki Kabupaten Tanah Datar tapi kota Padang Panjang mampu mempertahankan surplusnya tersebut meski dengan jumlah yang naik pada tahun 2005 – 2006 dan  menurun dari tahun 2007 – 2009. Sementara dipilihnya Kabupaten Sijunjung sebagai pembanding karena ditemukan 3 tahun terakhir antara 2006 – 2008 Kabupaten Sijunjung mengalami surplus meskipun turun dan pada 2009 mengalami defisit, sehingga dari sini kita akan melihat bagaimana kinerja keuangan daerah dari ketiga tempat ini secara keseluruhan.
           
1.2     Perumusan Masalah.
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah penulis tetapkan diatas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan “Bagaimana Kinerja keuangan daerah di Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kota Padangpanjang”

1.3         Tujuan Penelitian.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah penulis tetapkan di atas maka masalah penelitian ini bertujuan untuk :
1.        Menganalisa efektifitas pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan oleh masing-masing Kabupaten/Kota dari pelaksanaan APBD dengan melakukan perbandingan antara anggaran dan realisasi.
2.        Menganalisa efesiensi pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan oleh masing-masing Kabupaten/Kota dari pelaksanaan APBD dengan melakukan perbandingan antara anggaran dan realisasi.
3.        Menganalisa kemampuan keuangan daerah dalam mendukung pelaksanaan otonomi dan tugas rutin daerah.
  1. Mengukur sejauhmana aktifitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerah.
  2. Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.

1.4  Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah Kabupaten. Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kota Padangpanjang secara khusus dan bagi pemerintah propinsi secara umum dalam pengelolaan keuangan Pemerintah baik yang berasal dari penerimaan asli daerah maupun dana dari pemerintah pusat  dan dapat berguna bagi peneliti lain sebagai bahan kajian dalam bidang pengelolaan keuangan dan anggaran daerah dimasa yang akan datang.




1.5  Sistematika Penulisan
BAB I        PENDAHULUAN
                   Merupakan bab yang menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II       TINJAUAN PUSTAKA
                   Merupakan bab yang menjelaskan tentang pengertian APBD dan tujuan pengelolaan APBD, prinsip dan proses penyusunan APBD, tingkat kemandirian, efektifitas dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah.
BAB III     METODOLOGI PENELITIAN
                   Merupakan bab yang menjelaskan jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, jenis dan sumber data, teknik analisis data .
BAB IV     HASIL DAN PEMBAHASAN
                   Merupakan bab yang menjelaskan tentang gambaran umum daerah penelitian, analisis dan hasil penelitian berupa tingkat kemandirian keuangan, tingkat efektifitas keuangan, tingkat efisiensi keuangan, selanjutnya mengukur sejauhmana aktifitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerah, mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan             daerah.
.BAB V      PENUTUP
                   Merupakan bab yang menjelaskan kesimpulan dan saran.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.  Keuangan Daerah
Keuangan daerah mempunyai arti yang sangat penting dalam rangka pelaksanaan pemerintahan dan kegiatan pembangunan oleh pelayanan kemasyarakatan di daerah, oleh karena itu keuangan daerah diupayakan untuk berjalan secara berdaya guna dan berhasil guna. Lahirnya otonomi daerah telah memberikan keleluasaan daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber penerimaan daerah yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan Sumber-sumber Penerimaan lainnya. Untuk itu kebijaksanaan keuangan daerah diarahkan pada upaya penyesuaian secara terarah dan sistematis untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah bagi pembiayaan pembangunan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah. Kebijakan ini juga diarahkan pada penerapan prinsip-prinsip, norma, asas dan standar akuntansi dalam penyusunan APBD agar mampu menjadi dasar bagi kegiatan pengelolaan, pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan daerah.
Sedangkan sasaran yang ingin dicapai keuangan daerah adalah kemandirian keuangan daerah melalui upaya yang terencana, sistematis dan berkelanjutan, efektif dan efisien. Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Usman (1998: 63) mengatakan salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata, kemampuan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. Halim (2007: 230) mengungkapkan bahwa kemampuan pemda dalam mengelola keuangan daerah dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemda dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat.
Keuangan daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku (Mamesah, 1995: 16).
Pemerintah Daerah di dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan memerlukan sumber dana/modal untuk membiayai pengeluaran pemerintah tersebut (government expenditure) terhadap barang-barang publik (publik goods) dan jasa pelayanannya. Menurut Kunarjo (1996: 181) bahwa untuk melaksanakan pembangunan prasarana, pemerintah daerah dapat membiayai dari sumber pendapatan asli daerah, dana perimbangan maupun pinjaman daerah.
Menurut Halim (2004 : 20), ruang lingkup keuangan daerah terdiri dari : ” Keuangan daerah yang dikelola langsung dan kekayaan daerah yang dipisahkan. Yang termasuk dalam kekayaan daerah yang dikelola langsung adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan barang-barang investaris milik daerah. Keuangan daerah yang dipisahkan meliputi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)”.
2.2.    Pengertian APBD dan tujuan pengelolaan APBD.
Menurut Yuwono (2005  :  92 ), APBD didefinisikan sebagai ”Suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah yang disetujui oleh dewan Perwakilan Rakyat Daerah”.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 58 tahun 2005, Bab 1 pasal 1 ayat 7  APBD didefinisikan sebagai ”Rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, ditetapkan dengan peraturan daerah”. Pengelolaan APBD dilaksanakan melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) yang merupakan kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah (SKPKD), yang juga bertindak sebagai bendahara umum daerah. Sebagai dasar penyusunan APBD digunakan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berisikan rencana pendapatan, rencana belanja program dan kegiatan SKPD serta pembiayaan.
Sedangkan di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 Ayat (14) di jelaskan ”Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.”
Menurut Permendagri No. 13 tahun 2006 Bab III Pasal 15 dapat dijelaskan azas umum APBD, yaitu :
  1. APBD disusun dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah.
  2. Penyusunan APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah daerah dalam mewujudkan pelayanan kepada masyarakat  untuk tercapainya tujuan bernegara.
  3. APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
  4. APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah.
Dalam satu tahun anggaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meliputi:
  1. Hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
  2. Kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
  3. Penerimaan yang perlu dibayar kembali, dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
APBD merupakan suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah, dengan demikian APBD merupakan alat/wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program dimana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar akan dirasakan oleh masyarakat (Bana, 2001:12). APBD pada hakekatnya merupakan instrumen kebijakan yang digunakan sebagai alat untuk meningkatkan pelayananan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah, maka dari itu pemerintah daerah harus selalu berupaya secara nyata dan terstruktur untuk menghasilkan suatu APBD yang dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat atas dasar potensi masing-masing daerah serta dapat memenuhi tuntutan dan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi kepentingan dan akuntabilitas publik. Untuk itu pemerintah daerah harus mampu merencanakan anggaran dengan baik sehingga baik tujuan maupun sasaran akan dapat tercapai secara berdayaguna dan berhasilguna. Mardiasmo (1999:11) mengatakan bahwa salah satu aspek penting dari pemerintah daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah sebab APBD merupakan instrument kebijakan yang menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah.
Keuangan dan anggaran daerah merupakan alat fiskal pemerintah daerah dan merupakan bagian integral dari keuangan negara. Oleh sebab itu pengalokasian sumber keuangan diperuntukan bagi pemerataan pembangunan sekaligus menciptakan stabilitas ekonomi daerah, sehingga peranan keuangan dan anggaran daerah akan semakin penting disamping keterbatasan pendapatan asli daerah dalam mengimbangi perolehan dana dari pemerintah pusat. Selanjutnya Hirawan (1990:26) mengemukakan bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan di daerah maka semakin besar pula kebutuhan akan dana yang harus dihimpun oleh pemerintah daerah, kebutuhan dana tersebut tidak dapat sepenuhnya disediakan oleh dana yang bersumber dari pemerintah daerah sendiri. Dengan demikian pemerintah daerah harus mampu untuk mengurus dan mengatur kemampuan keuangan daerah sendiri, seperti yang dikemukakan oleh Syamsi (1986:199) ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan ukuran antara lain :
1.        Kemampuan struktural organisasi.
Pemerintah daerah harus mampu menampung segala aktifitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya dengan jelas.
2.        Kemampuan aparatur pemerintah daerah.
Seluruh aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
3.        Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat.
Pemerintah daerah harus mampu memberikan motivasi kepada masyarakat agar masyarakat ikut berpastisipasi dalam kegiatan pembangunan di daerah.
4.        Kemampuan keuangan daerah.
Pemerintah daerah harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sebagai pelaksanaan pengaturan dan pengurusan rumah tangga daerah. Untuk itu kemampuan keuangan daerah harus mampu mendukung pembiayaan kegitan pemerintah, pembangunan dan kemasyarakatan.
Faktor keuangan merupakan faktor yang penting dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya, sebab keadaaan keuangan daerahlah yang menentukan bentuk dan ragam yang akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Mamesah (1995:16) mengemukakan bahwa keuangan daerah secara sederhana dapat dirumuskan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan/peraturan perudangan yang berlaku.
Dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dimana pemerintah daerah memerlukan sumber dana/modal untuk membiayai pengeluaran pemerintah terhadap barang-barang publik dan jasa pelayanannya. Adapun sumber penerimaan daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32  tahun 2004 pasal 5 terdiri atas :
1.      Pendapatan asli daerah bersumber dari, yaitu: a) hasil pajak daerah; b) hasil retribusi daerah; c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;  d) dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.      Dana perimbangan;
3.      Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Selanjutnya sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 dikatakan bahwa pendapatan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Penerimaan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 mengatakan bahwa anggaran pengeluaran dalam APBD tidak boleh melebihi anggaran penerimaan. Di dalam penjelasan pasalnya bahwa daerah tidak boleh menganggarkan pengeluaran tanpa kepastian terlebih dahulu mengenai ketersediaan sumber pembiayaannya, dan mendorong daerah untuk meningkatkan efisiensi pengeluarannya.  
Berkenaan dengan tujuan pengelolaan APBD oleh Devas, dkk. (1989: 279) meliputi: 1) tanggung jawab;  2) memenuhi kewajiban keuangan;   3) kejujuran;  4) hasil guna dan daya guna; dan 5) pengendalian. Penjelasan selengkapnya sebagai berikut :
1)        ketanggungjawaban (accountability): pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangannya kepada lembaga atau orang yang berkepentingan yang sah. Lembaga atau orang itu termasuk pemerintah pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. Adapun unsur penting tanggung jawab mencakup keabsahan dan pengawasan;
2)    mampu memenuhi kewajiban keuangan: keuangan daerah harus ditata sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan jangka pendek dan jangka panjang (termasuk pinjaman jangka panjang);
3)    kejujuran : urusan keuangan harus diserahkan pada pegawai yang jujur dan kesempatan berbuat curang diperkecil;
4)    hasil guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) kegiatan daerah: tata cara pengurusan keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya serendah-rendahnya dan dalam waktu secepat-cepatnya;
5)    pengendalian: petugas keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut diatas tercapai.

2.3.    Prinsip dan proses penyusunan APBD
Menurut Riyas Rasyid dan PAU-SE UGM (2000: 5-8) prinsip dan proses penyusunan APBD sebagai berikut.
1.        Keadilan anggaran
Keadilan Anggaran merupakan salah satu misi utama yang diemban pemerintah daerah dalam melakukan berbagai kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan anggaran daerah. Pelayanan umum akan meningkatkan dan kesempatan kerja juga akan semakin bertambah, apabila fungsi alokasi dan distribusi dalam pengelolaan anggaran telah dilakukan dengan benar, baik melalui alokasi belanja maupun mekanisme perpajakan serta retribusi yang lebih adil dan transparan. Hal tersebut mengharuskan pemerintah daerah untuk merasionalkan pengeluaran atau belanja secara adil untuk dapat dinikmati hasilnya secara proporsional oleh para wajib pajak, retribusi maupun masyarakat luas. Penetapan besaran pajak daerah dan retribusi daerah harus mampu menggambarkan nilai-nilai rasional yang transparan dalam menentukan tingkat layanan bagi masyarakat daerah;
2.         Efisiensi dan efektivitas anggaran
Hal yang perlu diperhatikan dalam prinsip ini adalah bagaimana memanfaatkan uang sebaik mungkin agar dapat menghasilkan perbaikan pelayanan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat. Secara umum, kelemahan yang sangat menonjol dari anggaran selama ini adalah keterbatasan daerah untuk mengembangkan instrumen teknis perencanaan anggaran yang berorientasi pada kinerja, bukan pendekatan incremental  yang sangat lemah landasan pertimbangannya. Oleh karenanya, dalam penyusunan anggaran harus memperhatikan tingkat efisiensi alokasi dan efektivitas kegiatan dalam pencapaian tujuan dan sasaran yang jelas. Berkenaan dengan itu, maka penetapan standar kinerja proyek dan kegiatan serta harga satuannya, akan merupakan faktor penentu dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas anggaran;
3.         Anggaran berimbang dan defisit
Pada hakekatnya penerapan prinsip anggaran berimbang adalah untuk menghindari terjadinya hutang pengeluaran, akibat rencana pengeluaran yang melampaui kapasitas penerimaannya. Apabila penerimaan yang telah ditetapkan dalam APBD tidak mampu membiayai keseluruhan pengeluaran, maka dapat dipenuhi melalui pinjaman daerah yang dilaksanakan secara taktis dan strategis sesuai dengan prinsip defisit anggaran. Penetapan prinsip ini agar alokasi belanja yang dianggarkan sesuai dengan kemampuan penerimaan daerah yang realistis, baik berasal dari pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan keuangan maupun pinjaman daerah. Di sisi lain, kelebihan target penerimaan tidak harus selalu dibelanjakan, tetapi dicantumkan dalam perubahan anggaran dalam pasal cadangan atau pengeluaran tidak tersangka, sepanjang tidak ada rencana kegiatan mendesak yang harus segera dilaksanakan;
4.         Disiplin anggaran
Struktur anggaran harus disusun dan dilaksanakan secara konsisten. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah adalah rencana pendapatan dan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk 1 (satu) tahun anggaran tertentu yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Pencatatan atas penggunaan anggaran daerah disesuaikan dengan prinsip akuntansi keuangan daerah Indonesia.
Tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek yang belum/tidak tersedia kredit anggarannya dalam APBD/perubahan APBD. Bila terdapat kegiatan baru yang harus dilaksanakan dan belum tersedia kredit anggarannya, maka perubahan APBD dapat disegerakan atau dipercepat dengan memanfaatkan pasal pengeluaran tak tersangka, bila masih memungkinkan. Anggaran yang tersedia pada setiap pos/pasal merupakan batas tertinggi pengeluaran, oleh karenanya tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan/proyek melampaui batas kredit anggaran yang telah ditetapkan. Di samping itu harus pula dihindari kemungkinan terjadinya duplikasi anggaran baik antar unit kerja, antara belanja rutin dan belanja pembangunan serta harus diupayakan terjadinya integrasi kedua jenis belanja tersebut dalam satu indikator kinerja. Pengalokasian anggaran harus didasarkan atas skala prioritas yang telah ditetapkan, terutama untuk program yang ditujukan pada upaya peningkatan pelayanan masyarakat. Dengan demikian akan dapat dihindari pengalokasian anggaran pada proyek-proyek yang tidak efisien;
5.        Transparansi dan akuntabilitas anggaran
Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan anggaran, penetapan anggaran, perubahan anggaran dan perhitungan anggaran merupakan wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat. Sejalan dengan Code of Good Practices on Fiscal Transparancy  yang diperkenalkan oleh IMF, maka dalam proses pengembangan wacana publik di daerah sebagai salah satu instrumen kontrol pengelolaan anggaran daerah, perlu diberikan keleluasaan masyarakat untuk mengakses informasi tentang kinerja dan akuntabilitas anggaran. Oleh karena itu, anggaran daerah harus mampu memberikan informasi yang lengkap, akurat dan tepat waktu untuk kepentingan masyarakat, pemerintah daerah, pemerintah pusat dalam format yang akomodatif dalam kaitannya dengan pengawasan dan pengendalian anggaran daerah. Sejalan dengan hal tersebut, maka perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan proyek dan kegiatan harus dilaksanakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun ekonomis kepada pihak legislatif, masyarakat maupun pihak-pihak yang bersifat independen yang memerlukan.
Bertolak dari dasar pemikiran tersebut, guna mendukung pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan daerah secara keseluruhan yang tergambar lewat perhitungan APBD,  maka terdapat lima kebijakan pokok bidang keuangan:
1.        Kebijakan bidang keuangan : peningkatan PAD bagi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat dengan kekuatan sendiri.
2.        Kebijakan bidang pengeluaran : diarahkan untuk dan dalam rangka perwujudan program pembangunan daerah yang pada gilirannya akan memperkuat basis perekonomian masyarakat;
3.        Kebijakan bidang kelembagaan : penekanannya pada upaya bagaimana peningkatan kemampuan manajerial organisasi  dalam mengemban tugas sesuai visi, misi dan program-program strategi yang telah dicanangkan;
4.        Kebijakan bidang pengawasan : bagaimana upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas  pengelolaan anggaran, agar dapat mencerminkan  suatu manajemen yang akuntabel;
5.        Kebijakan dalam mendorong keikutsertaan pihak swasta/LSM dalam membangun daerah sesuai porsi masing-masing.
Dari beberapa kebijakan tersebut, pemerintah daerah diharapkan akan semakin mampu menjabarkannya dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi masing-masing unit kerja. Dengan itu pengelolaan keuangan dan anggaran daerah nantinya akan melalui suatu mekanisme perencanaan  yang mantap dan bertanggung jawab, sehingga perhitungan APBD akan tidak sekedar untuk memenuhi siklus anggaran tetapi benar-benar merupakan hasil pertanggung jawaban dari pelaksanaan anggaran yang telah direncanakan terlebih dahulu secara baik dan mantap.
2.4.Fungsi APBD
APBD yang dianggarkan untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah memiliki berbagai macam fungsi. Mardiasmo (2002 : 63), mengungkapkan ada beberapa fungsi utama anggaran sektor publik, yaitu:
  1. Anggaran sebagai alat perencanaan (planning tool)
  2. Anggaran sebagai alat pengendalian (control tool)
  3. Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal (fiscal tool)
  4. Anggaran sebagai alat politik (political tool)
  5. Anggaran sebagai alat Koordinasi dan komunikasi (coordination and communication tool)
  6. Anggaran sebagai alat motivasi (motivation tool) dan
  7. Anggaran sebagai alat untuk menciptakan ruang public (public sphere)
Sedangkan menurut Indra Bastian (2006 : 164),  anggaran berfungsi sebagai berikut:
  1. Anggaran merupakan hasil akhir proses penyusunan rencana kerja.
  2. Anggaran merupakan cetak biru aktivitas yang akan dilaksanakan di masa mendatang.
  3. Anggaran sebagai alat komunikasi intren yang menghubungkan berbagai unit kerja dan mekanisme kerja antara atasan dan bawahan.
  4. Anggaran sebagai alat pengendalian unit kerja.
  5. Anggaran sebagai alat motivasi dan persuasi tindakan efektif dan efisien dalam pencapaian visi organisasi.
  6. Anggaran merupakan instrumen politik, dan
  7. Anggaran merupakan instrumen kebijakan fiskal. 

2.5.Struktur APBD
Pasca reformasi, bentuk APBD mengalami perubahan yang cukup mendasar. Bentuk APBD yang pertama didasari oleh keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah serta tata cara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sejalan dengan perubahan yang terjadi bentuk APBD sekarang didasarkan pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 13 Tahun 2006 (Halim : 2007 ). Adapun bentuk dan susunan APBD yang didasarkan pada Permendagri 13/2006 Pasal 22 Ayat (1) terdiri dari 3 bagian , yaitu; Pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah.
Peraturan-peraturan di era reformasi keuangan daerah mengisyaratkan agar laporan keuangan semakin informatif. Untuk itu dalam bentuk yang baru APBD terdiri atas tiga bagian yaitu pendapatan, belanja dan pembiayaan. Pembiayaan merupakan kategori baru agar APBD semakin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dari pendapatan daerah. Hal ini sesuai dengan definisi pendapatan sebagai hak pemda, sedangkan pinjaman belum tentu menjadi hak pemda. Selain itu dalam APBD mungkin terdapat surplus atau defisit. Pos pembiayaan ini merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit anggaran (Halim, 2007)
Menurut Kumorotomo dan Purwanto dalam Abdullah (2005), struktur APBD tersebut merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan daerah, Belanja Daerah dan Pembiayaan. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Pendapatan daerah ini dirinci menurut kelompok pendapatanyang meliputi pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah. Belanja daerah merupakan semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Belanja daerah meliputi semua pengeluaran yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang akan menjadi pengeluaran kas daerah. Belanja dikelompokkan menjadi belanja aparatur, belanja pelayanan publik, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan dan belanja tidak tersangka.
Pembiayaan adalah transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Pembiayaan meliputi transaksi keuangan untuk menutup deficit atau memanfaatkan surplus. Selisih antara anggaran pendapatan daerah dan anggaran belanja daerah inilah yang dapat mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Terjadinya surplus apabila anggaran pendapatan daerah lebih besar dari anggaran belanja daerah, sedangkan defisit apabila pendapatan daerah lebih kecil dari anggarab belanja daerah. Adanya surplus anggaran kemudian dapat dimanfaatkan antara lain untuk transfer ke dana cadangan, pembayaran pokok utang, penyertaan modal (investasi) dan atau sisa perhitungan anggaran tahun berkenaan yang dianggarkan pada kelompok pembiayaan jenis pengeluaran daerah. Apabila terjadi defisit akan dibiayai dari sisa anggaran tahun yang lalu, pinjaman daerah, penjualan obligasi daerah, hasil penjualan barang milik daerah yang dipisahkan, transfer dari dana cadangan yang dianggarkan pada kelompok pembiayaan dan jenis penerimaan daerah (Halim, 2007).
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 2.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

No
Bagian APBD
Rincian APBD
1
Pendapatan
1.Pendapatan Asli Daerah:
a.  Pendapatan pajak daerah
b.  Pendapatan retribusi daerah
c.   Pendapatan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
d.  Lain-lain Pendapatan asli daerah yang sah
2. Pendapatan Transfer:
a. Transfer pemerintah pusat-dana perimbangan:
  1)  dana bagi hasil pajak
  2) dana bagi hasil bukan pajak (sumber daya alam)
  3)  dana alokasi umum
  4) dana alokasi khusus
b. Transfer pemerintah pusat lainnya:
  1)  dana otonomi khusus
  2)  dana penyesuaian
c. Transfer pemerintah provinsi
  1)  pendapatan bagi hasil pajak
  2)  pendapatan bagi hasil lainnya
3. Lain-lain Pendapatan Yang sah
a. pendapatan hibah
b. pendapatan dana darurat
c. pendapatan lainnya


JUMLAH
2
Belanja
1. Belanja Operasi:
a. belanja pegawai
b. belanja barang
c. belanja bunga
d. belanja subsidi
e. belanja hibah
f. belanja bantuan sosial
g. belanja bantuan keuangan
2. Belanja Modal:
a. belanja tanah
b. belanja peralatan dan mesin
c. belanja gedung dan bangunan
d. belanja jalan, irigasi dan jaringan
e. belanja aset tetap lainnya
f. belanja aset lainnya
3. Belanja Tidak Terduga:
a. belanja tidak terduga
4. Transfer:
a. transfer bagi hasil ke desa:
   1) bagi hasil pajak
   2) bagi hasil retribusi
   3) bagi hasil pendapatan lainnya


JUMLAH


SURPLUS/( DEFISIT)
3
Pembiayaan
1. Penerimaan Daerah:
a. Penggunaan sisa lebih perhitungan anggaran (silpa)
b. Pencairan dana cadangan
c. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. Penerimaan pinjaman daerah
e. Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah
g. Penerimaan piutang daerah
2. Pengeluaran Daerah:
a. pembentukan dana cadangan
b. penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah
c. pembayaran pokok utang
d. pemberian pinjaman daerah


JUMLAH


Pembiayaan Neto


Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran( SILPA)
Sumber: Permendagri No.13 tahun 2006


2.6. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
2.6.1. Pengertian Kinerja
            Menurut Mahsun (2006 : 25), kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi. Sedangkan menurut Wiloyo (2007), kinerja merupakan sesuatu yang dicapai, kemampuan kerja (tentang peralatan) atau prestasi yang diperlihatkan.
2.6.2. Indikator Kinerja
            Menurut Indra Bastian (2006 : 267), Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan, dengan memperhitungkan indikator masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (outcomes), manfaat (benefits), dan dampak (impact). Indikator masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, informasi, kebijaksanaan/peraturan perundang-undangan, dan sebagainya. Indikator keluaran (outputs) adalah  sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan/ atau nonfisik. Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Indikator manfaat (benefits) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Dan indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif terhadap setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.

2.6.3. Pengukuran Kinerja
            Untuk mengukur efektifitas kerja suatu organisasi perlu dilakukan pengukuran atas pencapaian pelaksanaan kegiatan/program/kebijakan yang dilaksanakan pada organisasi tersebut. Pengukuran kinerja (performance measurement) menurut Roberston (2002) dalam Mahsun (2006 : 25) adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan); hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; dan efektifitas tindakan dalam mencapai tujuan.
Sedangkan pengukuran kinerja menurut Mardiasmo (2002) adalah suatu sistem yang bertujuan untuk membantu menejer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Pengukuran kinerja sektor publik dimaksudkan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah, untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan serta untuk mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan.
Hampir serupa dengan pengertian diatas Mahsun (2006) menjelaskan bahwa pengukuran kinerja adalah suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Sementara menurut Lohman (2003) dalam Mahsun (2006 : 25), pengukuran kinerja merupakan suatu aktivitas penilaian pencapaian target-target tertentu yang diderivasi dari tujuan strategis organisasi.
Berdasarkan berbagai definisi diatas, dapat disimpulkan elemen pokok suatu pengukuran kinerja antara lain:
  1. Menetapkan tujuan,sasaran, dan strategi organisasi
  2. Merumuskan indikator dan ukuran kinerja
  3. Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran –sasaran organisasi
  4. Evaluasi kinerja (feedback, penilaian kemajuan organisasi, meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas)
2.7.    Tingkat Kemandirian, Efektifitas dan  Efesiensi  Keuangan Daerah.
Kinerja atau kemampuan keuangan merupakan salah satu ukuran untuk melihat kemampuan dalam menjalankan otonomi daerah (Halim, 2004). Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda pemerintahan, pembangunan dan pelayananan sosial masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah yang digunakan oleh pemerintah daerah untuk dinilai oleh masyarakat apakah pemerintah daerah dikatakan telah berhasil atau belum dalam menjalankan tugasnya dengan baik.
Pelaporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah lebih banyak memberikan penekanan pada pertanggungjawaban apakah sumber penerimaan keuangan yang diperoleh oleh pemerintah sudah digunakan sesuai dengan anggaran dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Menurut Suprapto (2005) salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Lebih lanjut Suprapto (2005) menyatakan bahwa hasil analisis rasio keuangan digunakan untuk tolok ukur dalam :
a.         Menilai tingkat kemandirian keuangan pemerintah daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah.
b.        Mengukur efektifitas dan efesiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah.
c.         Mengukur sejauhmana aktifitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerah.
d.        Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah.
e.         Melihat pertumbuhan dan perkembangan perolehan sumber pendapatan dan pengeluaran yang digunakan oleh pemerintah daerah selama masa periode terntentu.
Menurut Halim (2004) menyatakan bahwa rasio berdasarkan APBD yang digunakan untuk mengukur kinerja keuangan daerah adalah sebagai berikut :
a.        Rasio Tingkat Kemandirian.
Rasio tingkat kemandirian keuangan daerah yaitu dengan membandingkan besarnya realisasi PAD dengan total pendapatan asli daerah. Formula yang digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian daerah adalah sebagai berikut :
Secara konsepsional dimana pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dapar dilihat dari tingkat kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Ada empat macam pola yang digunakan untuk memperkenalkan “hubungan situasional” yang dapat digunakan sebagai acuan untuk pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah” (Halim, 2002) antara lain
a.       Pola hubungan Instruktif , artinya peranan pemerintah pusat lebih dominan dalam pelaksanaan kemandirian pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. (daerah belum mampu melaksanakan otonomi daerah).
b.      Pola hubungan Konsultatif artinya campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap telah sedikit lebih mampu dalam melaksanakan otonomi daerah.
c.       Pola hubungan Partisipatif artinya peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat daerah yang bersangkutan dimana tingkat kemandirian pemerintah daerah mendekati kemampuan untuk melaksanakan urusan otonomi daerah.
d.      Pola hubungan Delegatif artinya campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daeah telah benar-benar mampu mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah.
Bertitik tolak dari teori tersebut dimana potensi yang dimiliki masing-masing daerah apakah potensi sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia yang berbeda akan mengakibatkan adanya perbedaan pada pola hubungan dan tingkat kemandirian dari masing-masing Kabupaten/Kota . Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan daerah dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan) dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah

No
Kemampuan Keuangan Daerah
Kemandirian (%)
Pola Hubungan
1
2
3
4
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
> 25 %
25 % - 50 %
50 % - 75 %
75 % - 100 %
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
      Sumber : Nadeak (2003)

b.      Rasio Efektifitas.
Rasio efektifitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan berdasarkan potensi riil (Halim,2002).
Menurut Devas dkk (1989: 143), efektivitas adalah hasil guna kegiatan pemerintah daerah dalam mengurus keuangan daerah harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan program dapat direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dengan biaya yang serendah‑rendahnya dan dalam waktu secepat‑cepatnya. Jadi sehubungan dengan hal tersebut, maka pengertian efektivitas di sini adalah perbandingan penerimaan dengan target dikalikan dengan seratus persennya.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 690.900-327 Tahun 1994 bahwa kriteria penilaian dan kinerja keuangan dapat diketahui efektif atau tidak dengan memenuhi kriteria‑kriteria‑ sebagai berikut :
a.       Hasil perbandingan atau tingkat pencapaian di atas 100%, berarti sangat efektif
b.      Hasil perbandingan mencapai antara 90% ‑ 100%, berarti efektif
c.       Hasil perbandingan mencapai antara 80% ‑ 90%, berarti cukup efektif
d.      Hasil perbandingan mencapai antara 60% ‑ 80%, berarti kurang efektif
e.       Hasil perbandingan mencapai di bawah 60%, berarti tidak efektif
Analisis efektivitas yang digunakan untuk mengukur hubungan antara realisasi PAD dengan potensi PAD, atau rasio antara realisasi PAD dengan potensi PAD. Semakin besar nilai yang dicapai berarti semakin efektif. Untuk menghitung potensi PAD adalah dengan pendekatan potensi diwakili (proxi) sama dengan jumlah target ditambah lima persen (5%) target, penambahan lima persen (5%) karena dalam penetapan target telah mendekati potensi.
     
Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. Namun demikian semakin tinggi rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik.
c.       Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja pemerintah semakin baik. Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung secara secermat berapa besarnya biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Hal itu perlu dilakukan karena meskipun Pemerintah Daerah berhasil merealisasikan pendapatan sesuai dengan target yang ditetapkan, namun keberhasilan itu kurang memiliki arti apabila ternyata biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan target penerimaan pendapatannya itu lebih besar dari pada realisasi pendapatan yang diterimanya.
Formula yang digunakan untuk menghitung efisiensi di sesuaikan dengan Kepmendagri di atas sebagai berikut:
           
Pengukuran efisiensi dilakukan juga terhadap paijak dan retribusi. Biaya pungut yang dimaksud adalah biaya yang dikeluarkan oleh Dinas Pendapatan Daerah dalam rangka pungutan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1     Jenis Penelitian.
Penelitian ini menguraikan tentang fenomena “ Analisa  Kinerja Pengelolaan  Keuangan Daerah”  (Studi kasus pada Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten  Sijunjung  dan  Kota  Padang Panjang).
Berdasarkan sifat permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana pendekatan kualitatif berusaha untuk membatasi sasaran atau objek sehingga data yang diambil dapat digali sebanyak mungkin dan tidak memungkinkan adanya pelebaran objek penelitian seperti yang diungkapkan oleh Bogdan  dan Biklen (1988:31) mengatakan bahwa penelitian kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan apa makna perilaku yang ditampilkan manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti itu sendiri.
Dimana penelitian ini merupakan penelitian studi kasus dengan komparasi kinerja keuangan 3 pemerintah daerah, dan analisis ini dilakukan karena perubahan realisasi anggaran pendapatan dan belanja yang berubah-ubah dari pemerintah daerah tersebut.

3.2     Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini adalah pada 3 (tiga) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kota Padangpanjang) dan penelitian ini dilakukan pada awal semester genap tahun pelajaran 2009/2010 yaitu bulan Agustus sampai bulan November 2010.


3.3  Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data skunder berupa laporan keuangan yang berasal dari masing-masing Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota antara lain dari Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung dan Kota Padangpanjang selama 5 tahun terakhir dari Tahun 2005 sampai dengan 2009.

3.4      Teknik Analisis Data.
Sesuai dengan penelitian ini yaitu untuk menganalisis kinerja pengelolaan keuangan daerah, maka guna mengukur kinerja keuangan daerah tersebut di gunakan beberapa rasio sebagai berikut :
  1. Rasio Tingkat Kemandirian.
Rasio tingkat kemansirian keuangan daerah yaitu dengan membandingkan besarnya realisasi PAD dengan total pendapatan asli daerah. Formula yang digunakan untuk mengukur tingkat kemandirian daerah adalah sebagai berikut :
Tabel Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah

No
Kemampuan Keuangan Daerah
Kemandirian (%)
Pola Hubungan
1
2
3
4
Rendah Sekali
Rendah
Sedang
Tinggi
> 25 %
25 % - 50 %
50 % - 75 %
75 % - 100 %
Instruktif
Konsultatif
Partisipatif
Delegatif
      Sumber : Nadeak (2003)

  1. Rasio Efektifitas.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor : 690.900-327 Tahun 1994 bahwa kriteria penilaian dan kinerja keuangan dapat diketahui efektif atau tidak dengan memenuhi kriteria‑kriteria‑ sebagai berikut :
a.         Hasil perbandingan atau tingkat pencapaian di atas 100%, berarti sangat efektif
b.        Hasil perbandingan mencapai antara 90% ‑ 100%, berarti efektif
c.         Hasil perbandingan mencapai antara 80% ‑ 90%, berarti cukup efektif
d.        Hasil perbandingan mencapai antara 60% ‑ 80%, berarti kurang efektif
e.         Hasil perbandingan mencapai di bawah 60%, berarti tidak efektif
     

  1. Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pendapatan dikategorikan efisien, apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100 persen. Semakin kecil rasio efisien berarti kinerja pemerintah semakin baik.







1 komentar:

  1. Kak saya mau tanya, kriteria kepmendagri no. 690.900.327 , itu di dapat dari buku atau internel? Saya ko cari cari buku nya gaka ada, lalu di internet atau sumber nya langsung juga tidak ketemu? Lalu bagaimana saya dapat menemukannya? Mohon dibalas

    BalasHapus

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

adam mudinillah. Diberdayakan oleh Blogger.

تابع

زائر

BARU

BARU

SALJU

صوري

رسائل هاتفية مجانية وتكسب نقاط

mico0355Widget> Sumber: http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/2069063-cara-pasang-gadget-sms-gratis/#ixzz1ueREtT6R

Youk Kita Gabung dengan YM

Klik VSI Yusuf Mansur

Blogroll

EL-BANTANY IT SOLUTION (IT KONSULTAN-NETWORK-HOTSPOT-SERVICE KOMPUTER-SERVICE LAPTOP DAN NOTE BOOK-SERVICE PRINTER-PENYELAMATAN DATA-INSTALASI JARINGAN-RENTAL KOMPUTER-JASA PENGETIKAN)DAN MASIH BANYAK LAGI YANG LAIN DI JALAN SUDIRMAN NO 102 BATUSANGKAR-TANAH DATAR-SUMATERA BARAT (085379388533-085850374648-075271639)

مع بلدي

Blogger templates

Twitter

Iklan