ABSTRAK
Muhammad Nasri BP. 217 030 Judul Skripsi “STUDI
PERBANDINGAN TENTANG HUBUNGAN HIBAH DENGAN KEWARISAN MENURUT HUKUM ISLAM
DAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ”. Prokram Studi Hukum
Perdata Islam, Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Batusangkar tahun 2011.
Adapun
pokok permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah tentang hubungan hibah
dengan kewarisan menurut hukum Islam dan
kitab undang-undang hukum perdata. Tujuan pembahasan ini adalah untuk
mengetahui apakah hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya atau
kepada ahli waris lain sewaktu ia masih hidup dapat diperhitungkan sebagai
warisan ataukah hanya sebagai hibah biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan
kewarisan apabila si penghibah telah meninggal dunia.
Tujuan
dan kegunaan pembahasan ini adalah sebagai konstribusi yang berharga bagi
penulis dalam menekuni Studi Hukum Islam dan untuk memenuhi salah satu syarat
guna mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I) pada Sekolah Tinggi Agama Islam
negeri (STAIN) Batusangkar.
Pada pembahasan skripsi ini, penulis
menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yang
bersifat juridis normative dengan bersumberkan pada bahan-bahan bacaan
tertulis. Sebagai sumber data primer atau data utamanya adalah Hadits-hadits, buku-buku fikih, Kompilasi Hukum Islam (KHI),
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(BW). Kemudian data-data yang diperoleh, penulis olah menggunakan cara analisis
konfaratif.
Kesimpulan
akhir terhadap analisa data yang telah dilakukan tersebut, berdasarkan hasil
penelitian yang penulis kemukakan maka penulis berkesimpulan bahwa hibah yang
dilakukan oleh orang tua kepada ahli warisnya atau kepada anak-anaknya dapat
diperhitungkan sebagai warisan ada beberapa patokan antara lain: yang pertama
harta yang diwariskan sangat sedikit, sehingga apabila hibah yang diterima oleh
salah seorang ahli waris atau anak tidak diperhitungkan sebagi warisan maka
ahli waris yang lain akan memperoleh pembagian warisan sangat sedikit. Padahal Rasulullah
SAW menjelaskan “Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan ahli warismu dalam
keadaan kaya itu lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan
miskin meminta- minta kepada manusia.”
Kedua penerima hibah adalah
orang yang kaya dan berkecukupan, sedangkan ahli waris yang lain tidak
berkecukupan, sehingga penghibah itu memperkaya yang sudah kaya dan
memelaratkan yang sudah melarat. oleh karena itu pantas dan layak untuk diperhitungkan
sebagai warisan.
Hibah
yang diberikan oleh orang tua kepada ahli warisnya atau kepada anak-anaknya
terdapat dua kemungkinan, pertama seorang pewaris sangat di anjurkan
menghibahkan hartanya kepada ahli waris yang ekonominya lemah sementara ahli
waris yang lain hartawan dan berkecukupan, sedangkan yang kedua adalah
seorang pewaris menghibahkan hartanya kepada salah seorang ahli waris atau anaknya
sementara ahli waris yang lain juga sangat membutuhkan dan hal ini perlu
diperhitungkan sebagai warisan.
Menurut
hukum perdata, Hubungan Hibah dan kewarisan yaitu untuk menjamin tercapainya
keadilan atau kesamaan di antara anak-anak dalam menerima bagian dari segala
pemindahan harta kekayaan orang tuanya, baik pemindahan sewaktu hidup yaitu
hibah atau pemindahan setelah mati dengan cara pembagian warisan, terutama yang
berkaitan dengan legitimie portie (bagian mutlak) yaitu bagian yang
harus di terima, sehingga setiap anak mendapatkan bagiannya masing-masing.
Persamaan
dan perbedaan yang mendasar dalam kedua sistem hukum ini adalah tentang batasan
dan penarikan hibah. Dalam hukum Islam hibah dibatasi sebanyak-banyaknya
sepertiga harta sementara dalam hukum Perdata tidak dibatasi sedangkan masalah
penarikan hibah baik dalam hukum Islam maupun hukum perdata tidak diperbolehkan.
Tetapi, dalam hukum Islam ada pengecualian yaitu hibah dari orang tua kepada
anaknya dapat di tarik sementara dalam hukum Perdata harus ada pernyataan pewaris yang dituangkan
dalam akta hibahnya, dimana pewaris mensyaratkan inbreng atau dalam testament
memerintahlan inbreng
|
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kewarisan Islam disebut juga dengan
faraidh, dalam pandangan hukum Islam juga termasuk sebagai ilmu yang sangat penting untuk di pelajari dan
diajarkan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dalam hadits dari Abu Hurairah
menurut riwayat Ibnu Majah dan Dar
al-Quthniy:
عن أبي هريرة قال:قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم "يا أبا هريرة! تعلموا الفرائض وعلموها فإنه نصف
العلم[1]
“Dari Abu Hurairata
bersabda Rasulullah SAW; Hai Abu Hurairah Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah
dia, karena dia separah dari ilmu”
ù=Ï?
ßrßãm
«!$#
4 ÆtBur
ÆìÏÜã
©!$#
¼ã&s!qßuur
ã&ù#Åzôã
;MȬZy_
Ìôfs?
`ÏB
$ygÏFóss?
ã»yg÷RF{$#
úïÏ$Î#»yz
$ygÏù
4 Ï9ºsur
ãöqxÿø9$#
ÞOÏàyèø9$#
ÇÊÌÈ ÆtBur
ÄÈ÷èt
©!$#
¼ã&s!qßuur
£yètGtur
¼çnyrßãn
ã&ù#Åzôã
#·$tR
#V$Î#»yz
$ygÏù
¼ã&s!ur
ÑU#xtã
ÑúüÎgB
ÇÊÍÈ
)النساء:13-14 )
“(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”
Sistem
Hukum Kewarisan di Indonesia terdapat beraneka ragam yang berlaku bagi warga
negara Indonesia, yaitu :[3]
1.
Sistem Hukum
Kewarisan Islam, yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Di Indonesia
mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2.
Sistem Hukum Kewarisan Adat yang beraneka
ragam pula sistemnya, dipengaruhi oleh bentuk etnis di berbagai daerah lingkungan
Hukum Adat, yang diperlakukan kepada orang-orang Indonesia yang masih erat
hubungannya dengan masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.
3.
Sistem Hukum Kewarisan Perdata Barat (Eropa),
yang tertuang dalam Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
yang disingkat KUHPerd, yang berdasarkan ketentuan Pasal 131 I.S. jo.
Staatsblad 1917 Nomor 12 jo. Staatsblad 1924 Nomor 557 jo. Staatsblad 1917
Nomor 12 tentang penundukan diri terhadap Hukum Eropa, maka Burgerlijk
Wetboek tersebut berlaku bagi :
a.
Orang-orang
Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan Eropa.
b.
Orang Timur
Asing Tionghoa.
c.
Orang Timur
Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukkan diri kepada Hukum
Eropa.[4]
Istilah
Hukum Kewarisan Islam dipergunakan dalam penulisan skripsi ini mengacu kepada
fiqh-fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam sedangkan hukum kewarisan bagi
orang-orang yang menundukan diri kepada hukum eropa mengacu kepada Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW).
Pelaksanaan
Hukum Kewarisan mendapatkan perhatian yang sangat besar, karena persoalan harta
waris sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga
yang ditinggal mati oleh pewarisnya. Persoalan-persoalan yang timbul akibat
pembagian harta waris tersebut, karena adanya naluri manusia yang memiliki
kecenderungan terhadap harta kekayaan. Kecenderungan manusia terhadap harta
kekayaan ini telah dijelaskan dalam Firman Allah SWT :
z`Îiã
Ĩ$¨Z=Ï9
=ãm
ÏNºuqyg¤±9$#
ÆÏB
Ïä!$|¡ÏiY9$#
tûüÏZt6ø9$#ur
ÎÏÜ»oYs)ø9$#ur
ÍotsÜZs)ßJø9$#
ÆÏB
É=yd©%!$#
ÏpÒÏÿø9$#ur
È@øyø9$#ur
ÏptB§q|¡ßJø9$#
ÉO»yè÷RF{$#ur
Ï^öysø9$#ur
3 Ï9ºs
፯tFtB
Ío4quysø9$#
$u÷R9$#
( ª!$#ur
¼çnyYÏã
ÚÆó¡ãm
É>$t«yJø9$#
ÇÊÍÈ
“Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” ( Q.S Ali Imran
: 14 )
Kecenderungan
di atas, tidak jarang mendorong manusia untuk menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan harta kekayaan, termasuk terhadap harta warisan. Kekayaan ini telah
ada dalam sejarah umat manusia sejak dahulu hingga sekarang ini. Sebagaimana
firman Allah :
ÉA%y`Ìh=Ïj9
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
tbqç/tø%F{$#ur
Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur
Ò=ÅÁtR
$£JÏiB
x8ts?
Èb#t$Î!ºuqø9$#
cqç/tø%F{$#ur
$£JÏB
¨@s%
çm÷ZÏB
÷rr&
uèYx.
4 $Y7ÅÁtR
$ZÊrãøÿ¨B
ÇÐÈ
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian
yang telah ditetapkan”.(Q.S An-Nisa’:7)
Melaksanakan
Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, banyak umat Islam yang mendua. Di satu
pihak mereka meyakini kebenaran ajaran Al-Qu’ran, tetapi dalam prakteknya di
bidang Hukum Kewarisan mereka menggunakan sistem pembagian lain, yaitu Hukum
Perdata Barat atau Hukum Perdata Adat.
Banyak
kepala keluarga yang mengambil kebijaksanaan-kebijaksanaan pre-emptive
(mendahului), Semasa masih hidup mereka telah membagikan sebagian besar harta
kekayaan mereka kepada anak-aknya, dimana masing-masing mereka mendapat
bagian-bagian yang sama besar tanpa membedakan jenis kelaminnya. Sehingga,
setelah mereka meninggal harta atau kekayaan yang harus dibagi sebagi warisan
tinggal sedikit, bahkan sampai hampir habis sama sekali, sebagai mana yang
penulis amati di jorong sontang, kecamatan panti kabupaten pasaman berdasarkan
pengamatan penulis.[5]
Bahkan
banyak juga kepala keluarga yang menghibahkan hartanya kepada orang lain diluar
anak kandungnya sendiri yang melebihi 1/3(sepertiga) sehingga merugikan ahli
warisnya, sedangkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 210 membatasi pemberian itu hanya 1/3(sepertiga).
Hal ini pernah terjadi di kota Padang, seorang
Mamak menghibahkan dua kaveling tanah kepada kemanakannya yang kemudian di
tarik kembali oleh anak-anak si penghibah setelah sipenghibah meninggal dunia.
Perkara ini di tangani oleh Pengadilan Negeri Padang dan mengabulkan Gugatan
anak-anak si penghibah dengan Alasan anak-anak dari sipenghibah telah
kehilangan haknya atau bagiannya sebagai pewaris.[6]
Perpindahan hak milik dalam pandangan hukum
Islam salah satunya ialah dengan hibah. Dengan menghibahkan suatu benda berarti
keluarlah sesuatu itu dari milik wahib (yang menghibahkan) dan berpindah
kepada mauhub lah (yang menerima hibah)[7]
Apabila
ditinjau dari pengertiannya, tidak ada hubungan secara langsung antara hibah
dan waris. Sebab hibah adalah aqad yang ditujukan untuk pemberian harta milik
seseorang kepada orang lain di waktu masih hidup tanpa adanya imbalan.
Sedangkan waris adalah segala apa dan bagaimana berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal akan
beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Tetapi
melihat fenomena masyarakat Islam Indonesia sebagaimana yang terjadi di atas,
dapat dilihat adanya hubungan atau keterkaitan antara hibah dan waris. Misalnya
penerimaan hibah memiliki akibat sendiri dalam memperhitungkan harta warisan,
maksudnya apabila terjadi pembagian harta warisan penerimaan hibah harus
memperhitungkan segala hibah yang telah diterimanya selama pewaris masih hidup,
hubungan antara penerimaan hibah maupun proses pembagian harta warisan sangat
bervariasi.
Hukum
menetapkan demikian, untuk menjamin hak-hak para ahli waris dan pihak lain
secara keseluruhan dan ruang lingkup kewarisan. Proses pemasukan dan
perhitungan seperti ini diatur secara rinci di dalam secara inbreng, yaitu
hibah wajib diperhitungkan. Maksudnya benda-benda yang pernah diberikan si
pewaris sewaktu masih hidup kepada ahli waris, keturunan garis lurus kebawah pada
waktu pembagian harta warisan nanti harus diperhatikan atau dimasukkan kembali
ke dalam harta warisan oleh segenap ahli warisnya, seperti yang diuraikan dalam
Pasal 1086 Kitab Undang undang Hukum Perdata, hubungan hibah dengan waris juga
dinyatakan secara jelas di dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Buku II tentang
Kewarisan, BAB IV tentang Hibah. Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan,
bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.
Sehubungan dengan latar belakang tersebut di
atas, maka penulis ingin memahami bagai mana hubungan hibah dengan waris
menurut hukum Islam dan Hukum Perdata serta apa perbedaan antara kedua hukum
ini. Dalam penulisan skripsi ini penulis memberi judul “ STUDI
PERBANDINGAN TENTANG HUBUNGAN HIBAH DENGAN KEWARISAN MENURUT
HUKUM ISLAM DAN KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA ”.
B. Idetifikasi Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka
penulis membuat identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
hubungan hibah dengan waris menurut Hukum Islam Dan KUH. Perdata ?
2. Bagaimana
konsep hibah menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
3. Bagaimana
sebenarnya konsep kewarisan menurut Hukum Islam dan KUH.Perdata?
4. Apa
persamaan dan perbedaan antara hibah dengan waris yang terdapat dalam hukum
Islam dan KUH.Perdata?
C. Batasan dan
Rumusan Masalah
1.
Batasan
Masalah
a.
Bagaimana hubungan hibah dengan waris menurut Hukum Islam dan KUH. Perdata ?
b.
Apa persamaan dan perbedaan antara hubungan hibah dengan kewarisan menurut
Hukum Islam dan KUH. Perdata?
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, dapat penulis rumuskan dalam penulisan skiripsi ini
sebagai berikut: Bagaimana hubungan hibah dengan waris menurut Hukum Islam dan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
D. Defenisi Operasional
Agar
tidak ada kesalah pahaman dalam memahami maksud judul skripsi ini, maka ada
beberapa kata yang perlu diberi penjelasan sebagai berikut:
Yang penulis
maksud adalah telaahan
Yang penulis maksud dari kedua defenisi
di atas adalah telaahan antara persamaan dan perbedaan tentang hubungan hibah
dengan kewarisan menurut hukum Islam dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
3. Hibah adalah pemberian suka
rela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.[10]
Menurut hukum Islam hibah merupakan hadiah terhadap sesuatu harta Milik.[11] Sedangkan
menurut Abdul Aziz Dahlan hibah adalah (pemberian atau hadiah). Pemberian yang
dilakukan secara sukarela dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tampa
mengharapkan balasan apapun.[12]
Yang
penulis maksud adalah hibah menurut hukum Islam dan KUH.Perdata.
4. kewarisan asal katanya waris
yang berasal dari bahasa arab warisa-yarisu-warisan yang berarti
mempusakai[13].
Sedangkan kewarisan adalah bahasa Indonesia yang di adopsi dari bahasa arab.
Kata Kewarisan, dengan mengambil kata asal ‘waris’dengan tambahan awalan “ke”
dan akhiran “an” . kata waris itu sendiri dapat berarti orang pewaris sebagai
subjek dan dapat berarti pula proses.[14]
5. Hukum Islam adalah kaidah,
asas, prinsip atau aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam,
baik berupa ayat Al-Qur’an, Hadits Nabi SAW, pendapat sahabat dan tabi’in,
maupun pendapat yang berkembang di suatu masa dalam kehidupan umat Islam.[15]
6. Hukum Perdata adalah:
1.
Dalam arti luas
adalah hukum sipil atau hukum privat; hukum yang mengatur hubungan-hubungan
hukum antara para warga hukum (manusia-manusia pribadi dan badan hukum).terdiri
atas: hukum perdata dalam arti terbatas , hukum dagang, hukum bukti, dan
daluarsa (lewat waktu).
Dari keseluruhan pengertian di atas yang
penulis maksud adalah membandingkan tentang hubungan antara hibah dengan waris
menurut Hukum Islam dan KUH. Perdata.
E. Tujuan dan
Kegunaan Penelitian
Sesuai
dengan pokok masalah yang telah dirumuskan di atas, penelitian ini mempunyai
tujuan dan kegunaan sebagai berikut:
1. Tujuan dari Penelitian
a.
Untuk mengetahui hubungan hibah dengan waris menurut Hukum Islam dan KUH.
Perdata.
b.
Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara hubungan hibah dengan kewarisan
menurut Hukum Islam dan KUH. Perdata
2. Kegunaan Penelitian
a.
Dapat menambah Khasanah keilmuan bagi penulis, dalam rangka sumbangan pemikiran
(kontribusi) mengenai hubungan hibah dengan waris menurut Hukum Islam
dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b.
dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi Mahasiswa yang ingin mengkaji
tentang hubungan hibah dengan kewarisan.
F. Tinjauan kepustakaan
Sejak
dulu sampai sekarang, kajian tentang hibah dan waris ini sudah banyak
dibicarakan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknnya hasil karya para ulama dan intelektual
tentang wasiat dan waris. Setelah penulis melihat hasil penelitian terdahulu,
penulis melihat ada yang membahasnya dalam bentuk skripsi.atas nama
(Febridawati) NIM: 200 200 tahun 2005 dengan judul Penghibahan Harta
Dalam Upaya Mengurangi Warisan Menurut Hukum Islam, (Yoki Yondra)
NIM: 298 136 tahun 2004 dengan
judul Pelaksanaan Hibah Di Nagari Lima Kaum Kec. Lima kaum Menurut Adat
Minangkabau dan Hukum Islam dan (Rahmadoni) NIM: 299 150
tahun 2004 dengan judul : Proplematika
Hibah Di Minangkabau Menurut Pandangan Hukum Islam.
Adapun
karya tulis dalam bentuk skripsi yang penulis tinjau atas nama Febridawati
dengan judul Penghibahan harta dalam upaya mengurangi warisan menurut hukum
Islam, menjelaskan bahwa seorang orang tua menghibahkan hartanya kepada
salah seorang anaknya agar dapat mengurangi warisan ahli waris lain disebabkan
anak yang diberi hibah sangat membutuhkan harta karena miskin, sementara ahli
waris lain mempunyai harta yang berlebih.
G. Metodologi Penelitian
Penulisan
skiripsi ini menggunakan metode sebagai berikut:
1.
Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian perpustakaan
(library reseach) yaitu meneliti, mengumpulkan, dan menganalisa
dokumen-dokumen serta peraturan-peraturan yang terkait dengan permasalahan yang
tersedia diperpustakaan, guna menggali data dan teori yang mendukung pembahasan
ini. Penelitian ini penelitian Hukum Normatif karena merupakan
perbandingan Hukum.
2.
Sumber Data
Sumber data yang penulis gunakan dalam
penulisan ini adalah:
a.
Sumber Data
Primer
Sumber data
primer[17] berupa
studi kepustakaan yang bersumberkan kepada hadits-hadis (hadits yang
diriwayatkan Ibnu Majah, Bukhari dan Muslim), fiqih-fiqih (buku Fiqih karangan
Sayyid Sabiq, Ibnu Rusyid, Amir Syarifuddin, Satria Efendi), Elimartati, Idris Ramulyo,
KHI, KHES dan KUH.Perdata, khususnya yang membahas tentang hibah dan waris.
b.
Sumber Data
Skunder.
Sumber data
skunder[18]
adalah sumber data penunjang berupa studi kepustakaan yang bersumberkan kepada
buku-buku, jurnal-jurnal ilmiyah, naskah-naskah serta literatur lainnya yang
dapat menunjang upaya penulis dalam memecahkan persoalan yang penulis angkatkan
ini.
3. Teknik
Pengumpulan Data
Data dikumpulkan melalui studi
kepustakaan dengan mengumpulkan, membaca, menelaah, dan mencatat data-data yang
berkaitan dengan penelitian penulis dari sumber data primer dan skunder
kenudian data diolah sesuai dengan teknik analisis data.
4.
Analisa Data
Analisa terhadap data yang penulis
proleh adalah dengan menggunakan analisis berupa:
a.
Induktif adalah metode
yang digunakan dalam berpikir dan menganalisa dengan bertolak dari data-data
khusus ke data-data umum.[19] Seperti kasus dalam membahas hubungan hibah dengan
waris.
b.
Deduktif, yaitu pembahasan yang bertitik tolak
dari keterangan dan pengetahuan yang
bersifat umum berdasarkan keterangan
umum itu penulis mengarahkannya kepada hal yang bersifat khusus.
c.
komparatif,
yaitu membandingkan data yang satu dengan data yang lain.[20] Dalam
hal ini penulis membandingkan antara hubungan hibah dengan kewarisan menurut hukum
Islam dan kitab undang-undang hukum perdata.
H. Sistematika Penulisan
Untuk
lebih sistematis dalam penulisan laporan hasil penelitian ini digunakan
sistematika penyusunan sebagai berikut:
Bab
1:
Pendahuluan berisi latar belakang masalah dengan judul yang dipilih, yaitu
Studi Perbandingan Tentang Hubungan Hibah Dengan Waris Menurut Hukum Islam Dan
KUH.Perdata, Identifikasi masalah, Batasan dan rumusan masalah, Defenisi
operasional, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan kepustakaan, metodologi
penelitian dan sistematika penulisan.
Bab
II: Tinjauan
Pustaka merupakan bab yang tersusun atas teori umum yang merupakan dasar-dasar
pemikiran yang akan penulis gunakan dalam menjawab permasalahan pada penulisan
skripsi ini, meliputi hibah menurut Hukum Islam, hibah menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata, waris Menurut Hukum Islam dan waris menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
Bab
III:
Hasil penelitian merupakan bab yang berisi tentang hasil dan pembahasan
yang tersusun atas hasil-hasil penelitian yang merupakan kumpulan data-data
yang penulis peroleh di lapangan dan pembahasan yang merupakan hasil analisis
penulis terhadap permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini. Hasil
penelitian dan pembahasan ini, meliputi penelitian hubungan hibah dengan waris
menurut Hukum Islam dan hukum Perdata serta persamaan dan perbedaan kewarisan
menurut Hukum Islam dan hukum Perdata.
Bab
IV: merupakan
penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
[1] Hafidz Ibnu Abdullah Muhammad Bin Yazid, Sunan
Ibnu Majah, Darul Fiqri; juz II,
Hadits 2719, h.107
[2] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh,
Prenada Media Group, Jakarta, cet 3, 2010, h. 148
[3] Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan
Hukum Kewarisan Islam dan Kewarisan menurut Undang-undang Hukum Perdata,
Sinar Grafika, Jakarta. 1994, h. 1.
[4] Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan
Hukum Kewarisan perdata barat, Jakarta: Sinar Grafika, 1993, h.14
[5] Pengamatan penulis tanggal 05 Mei 2011
[6] Suardi Mahyuddin, Dinamika
Sistem Hukum Adat Minangkabau Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, PT.Candi
Cipta Pramuda, Jakarta, cet 1 April 2009
[7] Satria Efendi, Problematika Hukum
Keluarga Islam Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Cet ke-3
Februari 2010 h. 471
[8] Lukman Ali Dkk, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Kedua (Jakarta: 1991), h. 965
[9] Ibid, h. 87
[10] Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi 2, Jakarta: 1991, h. 349
[11] Ensiklopedi Islam, Cet 2, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999, h. 133
[12] Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, Cet 6, Jakarta: PT Ichtiar baru Van Hoeve, 1996, h. 540
[13] Dewan redaksi Ensiklopedi Islam,
Ensiklopedi Islam, Cet. 4- Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 h. 191
[14] Amir
Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana 2004, h. 19-20
[15] Abdul Azis dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, Cet 1, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 1996, h. 575
[16] Hassan Shadily, Dkk Ensiklopedi Indonesia Ichtiar Baru-Van
Hoeve, Jakarta: h. 1348
[17] Sumberdata
Primer dalam arti, langsung menggambarkan Pemikiran Penulisnya Sendiri.
Misalnya kitab Ihya’ Ulumuddin Karya Imam Hamid Algazali sendiri. (Tim
Penyusun Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah,
IAIN Imam Bonjol Padang: IAIN Imam Bonjol Padang Press, 2007, h. 49)
[18] Buku-buku lain
yang ditulis oleh penulis-penulis lain tentang penilaiannya terhadap kitab Ihya,
Ulumuddin, maka buku-buku tersebut sebagai sumber data skunder. Ibid,
h. 49
[20] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian
Ilmiah Dasar dan Metode dan Teknik, Bandung: Tarsito, 1994, h. 143
BAB
II
LANDASAN
TEORITIS
A. Hibah menurut Hukum Islam
- Pengertian
dan Dasar Hukum Hibah
a.
Pengertian Hibah
Secara
etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata وهب, yang berarti pemberian[1]
Sedangkan
hibah menurut istilah syara’ adalah akad pemberian harta milik seseorang kepada
orang lain di waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan.[2]
Jumhur
ulama mendefinisikannya sebagai Akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa
ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain
secara sukarela[3]
|
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam
Pasal 171 huruf g mendefinisikan hibah sebagai berikut :
Hibah adalah pemberian
suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain
yang masih hidup untuk dimiliki.[5]
Semua
definisi di atas sedikit berbeda, akan
tetapi pada intinya sama, yaitu hibah merupakan pemberian sesuatu kepada orang
lain atas dasar sukarela tanpa imbalan.
Maksud
dari penyerahan dalam defenisi tersebut
adalah usaha penyerahan/pengalihan sesuatu kepada orang lain. Usaha pengalihan
itu dibatasi oleh sifat-sifat yang menjelaskan hakikat hibah itu sendiri. Kemudian
kata hak milik berarti bahwa yang diserahkan adalah materi dari harta tersebut,
apabila yang diserahkan manfaatnya saja perbuatan itu disebut pinjaman.
Kata
di waktu masih hidup, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu
berlaku semasa hidup. Dan bila beralih hak itu secara efektif selama ia masih
hidup. Kalau perbuatan itu berlaku semasa masih hidup dan beralih sesudah
matinya yang punya hak, maka disebut wasiat, tanpa imbalan, berarti itu semata-mata
kehendak sepihak tanpa mengharapkan apa-apa[6]
Apabila
seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tapi tanpa
hak kepemilikan, maka hal tersebut disebut Ijarah (pinjaman). Jika hak
kepemilikan belum terlaksana pada saat pemberinya masih hidup, tapi diberikan
setelah ia meninggal, maka hal tersebut dinamakan wasiat. Apabila pemberian itu
disertai dengan suatu imbalan maka hal tersebut disebut penjualan.
Adapun
makna umum dari hibah meliputi hal-hal berikut ini:
1)
Ibraa yaitu menghibahkan hutang kepada
orang yang berhutang.
2)
Sedekah yaitu
menghibahkan sesuatu dengan harapan diakhirat.
3)
Hadiah yaitu
menuntut orang yang diberi hibah untuk member imbalan.
Berdasarkan
uraian di atas, dapat diketahui bahwa
hibah merupakan suatu perbuatan yang terpuji karena memberikan harta dengan
sukarela tanpa mengharapkan balasan kepada orang lain ketika pemberi masih
hidup, tidak tergantung dan tidak disertai dengan persyaratan apapun juga.
b.
Dasar Hukum Hibah
Adapun
dasar hibah menurut Islam adalah firman Allah SWT yang menganjurkan kepada umat
Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya.
Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik dari
pada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa
kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, sebagaimana dalam
firman Allah :
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur
Artinya : “Tolong
menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan takwa dan janganlah kamu sekalian
tolong menolong atas sesuatu dosa dan permusuhan”. (Q.S Al – Maidah : 2).[7]
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã öNßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# §NèO w tbqãèÎ7÷Gã !$tB (#qà)xÿRr& $xYtB Iwur ]r& öNçl°; öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u wur ì$öqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÏËÈ
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya
di jalan Allah, Kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu
dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si
penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al –
Baqarah : 262).
Dalam
ayat lain yang berbunyi:
(#qà)ÏÿRr&ur `ÏB $¨B Nä3»oYø%yu `ÏiB È@ö6s% br& ÎAù't ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$#
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa
yang telah kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang
di antara kamu”( Al-Munafiqun: 10)
Rasulullah
SAW bersabda,
عن
ابى هريرة رضي الله عنه يقول الرسول الله صلى الله عليه وسلم تهادوا تحابوا رواه
البخارى
“Dari
Abi Hurrairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : saling memberi hadiahlah kamu
sekalian niscaya kamu akan mencintai.” (HR. Al – Bukhari)
عن
زيدبن اسلم، عن ابيه:ان عمربن الخطاب قال: حملت على فرس عتيق فى سبيل الله، فاضاعه
صاحبه فظننت انه بائعه برخص فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك؟ فقال:
لاتتبعه ولاتعد فى صدقتك. فان العائد فى صدقته كالكلب يعود فى قيئه،، رواه مسلم[8]
“
Bersumber dari Zaid Bin Aslam dari ayahnya, bahwa Umar bin Khattab
berkata: telah aku memberikan seekor kuda bagus kepada orang mengendarainya
dalam perang fi sabilillah, kemudian orang itu menyia-nyiakannya. Aku menduga bahwa ia akan
menjualnya dengan harga murah. Kemudian aku Tanya kepada Rasulullah SAW akan
hal tersebut. Beliau bersabda; “jangan kamu membelinya, dan janganlah kamu
tarik kembali sedekahmu itu, karena orang yang menarik sedekahnya adalah ibarat
anjing yang memakan kembali muntahnya. (HR. Muslim).
Hibah
dalam Hukum Islam dapat dinyatakan dengan kata-kata, tulisan, atau isyarat,
yang mengandung arti beralihnya kepemilikan harta secara Cuma-Cuma.[9]
Akan
tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan
hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.[10]
Jika
pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis terdapat 2 (dua) macam,
yaitu :
a.
Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah
terjadinya pemberian.
b.
Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan
pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang
bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka harus
didaftarkan.[11]
Mau SKripsi nya Lengkap hubungi 085379388533 Bisa untuk semua PRODI
0 komentar:
Posting Komentar