PENDIDIKAN ISLAM DAN POLITIK
Oleh: Makmur Tizar
Oleh: Makmur Tizar
A. Pendahuluan
Suatu institusi keagamaan atau
kemasyarakatan sepertinya sulit dipisahkan dari perkembangan situasi sosial politik
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebab setting sosial politik tersebut ikut memberi
warna bagi kelangsungan hidup suatu
institusi. Hal yang sama juga berlaku bagi pranata sosial lainnya,
termasuk di dalamnya pendidikan Islam (sistem dan lembaga).[1]
Perjalanan sejarah telah memperlihatkan berbagai rangkaian
historis yang secara terus menerus ditandai
dengan pergumulan antara politik dan pendidikan
Islam yang terkadang memihak/menguntungkan dan tidak jarang pula justeru merugikannya. M. Sirozi dalam bukunya Politik
Pendidikan menjelaskan bahwa antara pendidikan dan politik atau sebaliknya,
adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara,
baik negara maju maupun negara berkembang.
la sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, tidak memiliki hubungan apa-apa, padahal kedua-duanya sating menunjang,
bahu membahu dalam proses pembentukan masyarakat.[2]
Dalam kaftan itu penulis melalui tulisan ini akan mencoba
menampilkan sebuah topik dengan judul “pendidikan Islam dan politik”. Tulisan
ini secara khusus akan membahas bagaimana pengaruh perubahan politik di Indonesia
terhadap perkembangan pendidikan Islam. Pengaruh yang dimaksud di sini adalah
kebijaksanaan[3] dari
pemerintah dalam memberikan perhatian atau dukungan
baik moril maupun materil bagi keberlangsungan pelaksanaan pendidikan Islam. Penulis melihat bahwa pembicaraan
seputar masalah pendidikan Islam dan politik merupakan sesuatu yang amat
luas dan panjang,[4] oleh
karenanya dalam tulisan ini pembahasan akan dibatasi kepada fase-fase tertentu
dengan berpedoman kepada periodesasi perjalanan sejarah bangsa ini. Periodesasi
tersebut di mulai dari zaman pra kemerdekaan (masa penjajahan belanda-jepang), kemudian zaman kemerdekaan sampal
orde lama, zaman orde baru, dan era reformasi.
Untuk terarahnya pembahasan, maka uraian akan dipilah menjadi
beberapa sub bahasan yaitu pendahuluan, pembahasan
tentang perobahan politik di Indonesia
dan pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan Islam yang dibagi
kepada empat periode seperti uraian di atas (pra kemerdekaan, orde lama, orde baru dan era reformasi) dan ditutup dengan kesimpulan. Tulisan ini merupakan survei terhadap sejarah social
pendidikan Islam di Indonesia yang
memerlukan kemampuan khusus dan data-data yang akurat. Oleh karenanya Penulis menyadari bahwa tulisan ini
masih jauh dari kesempurnaan mungkin
karena keterbatasan referensi, waktu maupun kemampuan, oleh karenanya masukkan dan kritik yang membangun dari semua
pihak serta peserta pembaca sangat penulis harapkan untuk mendapatkan
informasi yang akurat dan berharga.
B. Perubahan Politik di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam
Politik menurut Kamus Umum Bahasa
Indonesia berarti pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara
pemerintahan, dasar- dasar pemerintahan dan
sebagainya.[5]
Namun secara sederhana mengutip tulisan
Samsul Nizar, politik dapat diartikan sebagai segala kegiatan yang dilakukan
dalam sistem kenegaraan menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem yang ada dalam menetapkan kebijaksanaan.[6]
Tulisan ini agaknya tidak akan
menguraikan politik dalam arti yang kaku seperti definisi di atas akan tetapi
tela'ahan terhadap proses panjang dari pandangan dan sikap pemerintah terhadap
pendidikan Islam di Indonesia sejak dari zaman penjajahan Belanda-Jepang, orde
lama, orde baru serta orde reformasi.
Perubahan politik yang dimaksud adalah
kebijakan-kebijakan dari pemerintah
yang berkuasa pada saat itu yang terkait dengan pendidikan Islam yang secara langsung maupun tidak telah memberikan
andil bagi perkembangan dan keberlangsungan pendidikan Islam itu
sendiri. Hanya saja perubahan politik dan
berbagai kebijaksanaan yang terjadi di Indonesia yang akan dibahas dalam
tulisan ini dibatasi pada periode pra kemerdekaan (masa penjajahan Belanda-,Jepang),
orde lama, orde baru, dan era reformasi.
1. Zaman Pra
Kemerdekaan (tahun 1900- menjelang 1945)
Zaman pra kemerdekaan yang dimaksud di
sini adalah zaman di mana Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial belanda yang berlanjut
dengan pendudukan Jepang, sebab pada
prinsipnya pendidikan Islam di Indonesia menurut catatan Haidar Putra
Daulay telah berlangsung semenjak masuknya Islam ke kawasan ini.[7] Tidak
banyak perubahan-perubahan politik serta pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan Islam
periode pra kemerdekaan yang dapat
penulis tampilkan. Pembatasan ini dilakukan untuk melihat kebijakan-kebijakan
yang dibuat pemerintah kolonial yang berdampak terhadap pekembangan pendidikan
Islam balk langsung maupun tidak.
Kebijaksanaan
pemerintah Belanda dalam bidang pendidikan terutama yang terkait dengan pendidikan Islam dirasakan sangat
diskriminatif dan merugikan umat Islam, amat jarang
ditemukan kebijakan yang dikeluarkan tersebut menguntungkan secara langsung
terhadap perkembangan pendidikan. Setelah
akhir abad 19 dan awal abad 20 penguasa kolonial memberikan layanan
pendidikan dengan model persekolahan secara klasikal dan tidak memasukkan
pendidikan Islam
dalam sistem pendidikannya.
Menurut Fasli Jalal dalam prakteknya model ini berorientasi
kelas sosial, bersifat elitis dan diskriminatif serta secara terselubung lebih
berorientasi pada kepentingan penguasa kolonial. Seirama dengan itu, Abuddin
Nata berkomentar bahwa secara umum belanda amat pelit dan diskriminatif dalam
memberikan pendidikan bagi rakyat jajahannya, di samping itu Belanda juga sangat
mencurigai dan tidak suka dengan keberadaan pendidikan Islam yang
diselenggarakan di pesantren-pesantren, madrasah dan sebaginya karena dianggap “sarang
pemberontak”.[8] Agaknya karena sikap
pemerintah Belanda itu pulalah akhirnya pendidikan Islam mengambil sikap
non-kooperatif.
Sebagaimana diketahui bahwa kedatangan penjajah Belanda di
bumi nusantara ini memang mengemban fungsi ganda, di samping menjajah juga
salibisasi terhadap umat Islam di Indonesia. Karena misi ganda inilah maka secara
otomatis segala tindakan dan kebijakan yang diambil pihak Belanda dalam
pendidikan Islam cenderung merugikan umat Islam.
Kebijakan pemerintah belanda yang senantiasa diskriminatif
serta mengandung maksud-maksud terselubung seperti gambaran di atas, pada pihak
lain secara berangsur-angsur telah membangkitkan kesadaran seluruh bangsa
Indonesia untuk menciptakan sendiri lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi
semua baik bangsawan maupun rakyat jelata dengan silabus dan kurikulum terpadu
antara pendidikan agama yang bersifat keakhiratan dengan pendidikan umum yang
bersifat keduniawian. Maka berdirilah lembaga-lembaga pendidikan diberbagai
tempat di Indonesia.
Di antara kebijakan pemerintah Belanda yang terkesan tidak
adil serta berpengaruh bagi keberlangsungan dan perkembangan pendidikan Islam
antara lain :
a. Pada tahun 1905
pemerintah Belanda mengeluarka suatu peraturan yang mengharuskan orang yang
akan memberikan pengajaran atau pengajian agama terlebih dahulu meminta izin
khusus kepada pemerintah Belanda,
b. Pada tahun 1925
keluar lagi peraturan yang lebih ketat yang menyebutkan bahwa tidak semua orang boleh memberikan pelajaran mengaji kecuai telah
mendapat semacam rekomendasi/persetujuan pemerintah Belanda.
c. Kemudian tahun 1932 keluar lagi peraturan yang lebih ekstrim yang sisinya berupa
kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya,
atau memberikan pelajaran yang tidak disukai
oleh pemerintah Belanda, peraturan itu disebut Ordonansi Guru dan
Ordonansi Sekolah Liar (WildeSch000l Ordonantie).[9]
Peraturan (ordonansi) yang
dikeluarkan oleh pemerintah Belanda waktu itu jelas-jelas telah berdampak buruk kepada pendidikan Islam yang
secara tidak langsung sebenarnya
menjadi duri dalam daging bagi perwujudan cita-cita Belanda datang ke
Indonesia.
Demikianlah liku-liku politik pendidikan yang diterapkan
pemerintah colonial Belanda, akan tetapi sepertinya Belanda tidak menyadari
bahwa kebijaksanaan yang diterapkannya telah memptifasi lahirnya kelompok-kelompok yang sadar akan nasib
bangsanya untuk kemudian membentuk organisasi
untuk menghapus sistem kolonialisme yang sudah ratusan tahun mengukung dirinya.
Demikianlah di
antara kebijakan-kebijakan politis pemerintah Belanda yang telah ikut berpengaruh terhadap perkembangan
pendidikan Islam saat itu di mana pengaruh tersebut banyak yang
bersifat negatif destruktif.
Lain halnya
dengan pemerintah Jepang (1942-1945). Sikap Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak dibanding
Belanda, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih
bebas, masalahnya Jepang tidak begitu menghiraukan
kepentingan agama akan tetapi yang penting adalah memenangkan perang melawan sekutu bahkan kalau
perlu para pemuka agama termasuk umat
Islam lebih diberi keleluasaan mengembangkan pendidikananya.
Menurut Hasbullah, pada tahap permulaan
malah Jepang menampakkan dirinya seakan-akan membela kepentingan Islam, walaupun
itu hanya untuk kepentingan
perang dunia II, mereka menempuh beberapa kebijaksanaan, terutama adalah 1). Pondok Pesantren yang besar-besar
seringkali mendapat kunjungan dan bantuan
dari pembesar Jepang. 2). sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran Agama dan pembangunan madrasah-madrasah sangat gencar sampai
ke desa-desa, walaupun itu lebih bersifat politis belaka. 3). Pemerintah
Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi
Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir,
dan Muhammad Hatta.[10]
Jadi pada masa pendudukan Jepang, angin
segar yang diberikan penjajah ini benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh umat
Islam di segenap lapisan walaupun mereka sebenarnya sudah tahu bahwa itu
dilakukan pemerintah Jepang dengan maksud politis belaka. Oleh karenanya, maka kepercayaan yang
diberikan Jepang tersebut dimanfaatkan juga oleh umat Islam untuk bangkit memberontak
melawan Jepang sendiri setelah disadari bahwa Jepang hanya bermaksud untuk menjajah Indonesia
sama dengan Belanda.
Dari uraian di atas jelas bahwa
pengaruh perubahan politik pada masa pemerintahan
kolonial Belanda dan Jepang jelas berdampak kepada pendidikan Islam baik
langsung maupun tidak. Akan tetapi dampak yang jelas dirasakan adalah bahwa kebijakan politik rezim waktu itu sangat
destruktif sehingga merugikan
pendidikan Islam dan umat Islam. Pada zaman Jepang walaupun pendidikan
Islam dan umat Islam seolah-olah mendapat angin segar, namun semua itu dilakukan oleh penguasa demi kepentingan politiknya dan bukan demi keberlangsungan/perkembangan pendidikan
Islam tersebut. Dampak lain dari
kebijakan-kebijakan tersebut telah memotivasi dan mendorong lembaga pendidikan Islam untuk tampil
ke permukaan memberikan pendidikan
yang layak kepada segenap lapisan masyarakatnya dan bangkit mengadakan perlawanan atas kebiajakan penguasa yang sewenang-wenang.
2. Zaman Ode
Lama
Setelah
zaman kemerdekaan sampai saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa orde dan fase politik (orde lama, orde
baru, orde reformasi), kurun waktu antara tahun 1945 sampai 1965 inilah
yang dikenal dengan zaman orde lama,
meskipun sebagian peneliti ada yang menyebutnya dengan zaman kemerdekaan 1.[11] Oleh karena itu, maka yang akan penulis tampilkan pada bagian
ini adalah bagaimana perubahan politik yang terjadi serta pengaruhnya terhadap
perkembangan pendidikan Islam.
Pada periode ini perubahan politik
yang terjadi dan boleh dikatakan cukup monumental dalam sejarah umat Islam yang
mempunyai pengaruh siginifikan terhadap pendidikan Islam adalah berdirinya
Departemen Agama (Depag). Semenjak itu masalah-masalah agama secara resmi
termasuk pendidikan agama (Islam) di Indonesia diatur oleh pemerintah melalui
Depag yang nota bene Departemen yang unik di negeri ini.
Deliar Noer mencatat bahwa resminya
Depag didiran atas dasar UUD 1945 pasal 29,[12]
walaupun pada awalnya usaha rnendirikan departemen ini mendapat halangan dan pembuat UUD 1945 itu
sendiri. Akhirnya pada tanggal 3 Januari 1946 sesuai dengan usulan
Kornite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
tertanggal I I November 1945 yang diprakarsai oleh KH. Abudardiri dan kawan-kawan beliau, disetujui oleh badan
legislatif. Dalam SK pembentukan Depag
tercantum 3 tugas pokok lembaga ini, yaitu; a. memberikan pelayanan keagamaan, b. mengembangkan pendidikan agama (Islam),[13] C.
membina kerukunan antar umat beragama. Oleh karena itu produk kebijaksanaan pemerintah melalui Depag harus
mencerminkan ketiga hal tersebut.
Setelah Departemen Agama (Kementerian
Agama) berdiri tahun 1946 itu muncullah
berbagai kebijakan politik pemerintah yang cukup berpengaruh terhadap
perkembangan pendidikan Islam. Sebab setelah Indonesia merdeka fenomena yang muncul adalah adanya kebutuhan akan
mata pelajaran umum untuk dimasukkah
ke dalam kurikulum lembaga pendidikan Islam seperti madrasah sebagai reaksi terhadap tuntutan zaman.
Hal ini menurut analisa Haidar,[14] diakibatkan oleh karena perbandingan
yang tidak seimbang antara pelajaran umum dengan pelajaran agama sehingga
ijazah madrasah mempunyai nilai yang tidak
sama dengan ijazah sekolah-sekolah umum yang diasuh
Departemen P dan K. Ketidaksamaan itu terlihat setidaknya pada dua hal, yaitu : pertama, kesempatan untuk
melanjutkan studi bagi lulusan madrasah
hanya terbatas kepada perguruan tinggi agama saja yang dalam hal ini adalah IAIN dan tidak memiliki kesempatan untuk
melanjutkan ke fakultas-fakultas umum terutama fakultas eksakta. Kedua,
kesempatan untuk mencari pekerjaan bagi
lulusan madrasah juga terbatas dibandingkan dengan lulusan sekolah umum.
Instansi pemerintah dan swasta lebih mengutamakan lulusan sekolah umum
untuk bekerja di instansinya.
Mencermati kondisi di atas, khususnya untuk mengelola
pendidikan agama yang diberikan disekolah-sekolah umum, maka
bulan Desember 1946 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP
dan K dengan Menteri Agama. Hanya saja
semenjak keputusan ini dikeluarkan terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum, yang satu dikelola oleh Departemen
Agama dan satunya lagi oleh Departemen PP dan K, dualisme artinya
pendidikan dikelola dua atap yang masing-masing merasa berwenang.
Ternyata keputusan bersama di atas belum memuaskan semua
pihak, sehingga kegoncangan di tengah masyarakat tidak berhenti
sampai disitu dan akhirnya diterbitkanlah
undang-undang untuk mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan nasional
termasuk di dalamnya pendidikan Islam melalui Undang-Undang
No. 4 tahun 1950 tentang “Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah yang memberikan kesempatan
untuk masuknya pengajaran agama di
sekolah-sekolah” dan Pendidikan Agama diatur melalui Bab XII pasal 20,
antara lain isinya :
a.
Dalam sekolah-sekolah negeri
diadakan pelajaran Agama dan orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran
tersebut.
b.
Cara penyelenggaraannya diatur
dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri PP dan K bersama-sama dengan menteri agama.[15]
Untuk
merealisasikan Undang-undang di atas, maka pada tahun 1950 dikeluarkanlah
Peraturan Bersama antara menteri Pendidikan NO. 1432/Kab. Tanggal 20-1-1951 dan menteri Agama (NO. K.1/651.
Tanggal 20-1-1951) tentang “Peraturan Pendidikan Agama di
Sekolah-sekolah”, yang antara lain mengatur
pemberian pelajaran agama di sekolah-sekolah sejak dari tingkat dasar
sampai ke sekolah lanjutan tingkat atas dengan jumlah jam yang sudah ditentukan. Dan pendidikan agama diberikan menurut
agama murid, maka apabila yang
diajarkan tidak sesuai dengan agamanya, si murid boleh meninggalkan
ruangan kelas.[16]
Berdasarkan
sejarah di atas, beberapa ahli mejelaskan, bahwa kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan peraturan untuk
mengelola pendidikan Agama seperti di atas, belum memuaskan pihak “madrasah”
karma meskipun secara legal-formal madrasah telah mendapat pengakuan, akan
tetapi dalam realitanya makin lama makin
jauh dari yang diharapkan, bahkan lembagalembaga pendidikan praktis menjadi pusat-pusat kegiatan doktrin penyelenggaraan pemerintahan, yaitu “Nasakom” dan “Manipol
Usdek” tidak lagi berorientasi pada
kepentingan anak didik tetapi kepada kekuasaan. Pemerintah tetap melihat madrasah sebagai lembaga pendidikan khusus yang tidak dipandang sederajat dengan sekolah-sekolah
umum yang bernaung di bawah PP dan K
(Diknas sekarang). Pada perkembangan berikutnya diskriminasi pendidikan itu muncul lagi, apalagi dengan terbitnya UU No.
12 tahun 1954 Bab XII pasal 20, yang menurut Mastuhu mata pelajaran
agama diajarkan atau tidaknya di sekolah-sekolah negeri dan swasta tergantung
pada orang tua dan pilihan murid yang bersangkutan, Berta pelajaran agama tidak
mempengaruhi nilai untuk kenaikan kelas.[17]
Untuk menetapkan
kembali eksistensi pendidikan Islam, maka melalui Tap MPRS No. 2
tahun 1960 ditegaskan kembali tentang “pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai
dari sekolah dasar sampai
ke perguruan tinggi” di samping pengakuan bahwa “pesantren clan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di
bawah pembinaan Departemen agama”. Agaknya
kebijakan terakhir ini sangat logis jika dikaitkan dengan upaya pembinaan kepribadian clan juga pendidikan Islam telah memberikan kontribusi dalam membendung arus
gerakan komunisme yang benar-benar
bertentangan dengan ajaran Islam clan dasar negara Panca sila.
Demikianlah keadaan pendidikan Islam dengan segala
kebijaksanaan pemerintah pada zaman orde lama,
baik yang berdampak langsung secara positif atau
negatif pada pendidikan Islam maupun tidak langsung. Dan di akhir periode ini (1965) lahir semacam kesadaran baru dan
mendalam bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya serta memanfaatkan segenap
potensi yang ada termasuk lembaga-lembaga keagamaan.
3. Zaman Orde
Baru
Sejak ditumpasnya peristiwa G. 30 S. PKI
pada tanggal I Oktober 1965, Indonesia memasuki fase baru yang dinamakan Orde
Baru. Fase ini merupakan fase terpanjang yang pernah ada dalam era perpolitikan
Indonesia (1965-1998). Dalam rentang waktu yang cukup panjang tersebut, tentu
banyak kebijakasanaan politik pemerintah yang berkuasa waktu itu yang memberi
pengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam.
Secara umum menurut Maksum, kebijakan politik orde baru
mengenai pendidikan agama (Islam) terkesan lebih akomodatif, positif dan konstruktif, terutama pada dua dekade terakhir 1980-an sampai 1990-an.[18] Memang di masa orde baru tercatat banyak
keberhasilan pemerintah yang terkait dengan pendidikan agama (Islam) baik
langsung maupun tidak. Di antaranya adalah :
a.
Pemerintah memberlakukan pendidikan Agama dari tingkat
SD hingga universitas (TAP MPRS No. XXVII/MPRA/1966).
b.
Madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar
dengan sekolah umum. Sementara pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan
pembinaan.
c.
Lahirnya Surat Keputusan Bersama
(SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri) tahun 1975, No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975
tentang peningkatan mutu pendidikan Islam pada madrasah.
d.
Berdirinya Maj lis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun
1975.
e.
Pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai
tahun 1993 setelah sebelumnya berjalan sejak awal tahun 1980-an.
f.
Pemerintah akhirnya memberi izin kepada pelajar muslimah
untuk memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah
negeri.
g.
Terbentuknya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
h.
Berdirinya
MAN Program khusus mulai tahun 1986.
Dari beberapa kebijaksanaan pemerintah orde bare di atas, Penulis melihat, paling tidak ada dua
kebijakan terkait dengan pendidikan Islam yang terbilang monumental pada
periode ini, pertama, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tahun 1975 (antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri), kedua, disahkannya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN).
Tujuan
terbitnya SKB tiga menteri itu adalah untuk meningkatkan mute pendidikan pada madrasah, sehingga tingkat mata
pelajaran umum di madrasah mencapai
tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran UMUM yang setingkat, artinya kurikulum dari semula 70%
agama dan 30% umum menjadi kebalikannya, sehingga :
1.
Ijazah
madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang
setingkat.
2.
Lulusan
madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih di atasnya
3.
Siswa madrasah dapat berpindah
kesekolah umum yang setingkat (ketiga poin
ini sesuai dengan SKB Tiga menteri tahun 1975 bab II pasal 2).[20]
SKB tersebut secara kasat mata memang telah menciptakan pengakuan ijazah dan
mutasi murid madrasah ke sekolah umum, namun menurut penelitian Sirajuddin Zar[21]
dalam tulisannya Kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru tentang Islam 1966-1987, menyebutkan bahwa SKB tersebut dalam beberapa hal telah mengalami
kegagalan. Penjungkirbalikan kurikulum guna memperoleh
standar pengetahuan yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, tidak
mencapai sasaran. Sebab, dari satu sisi kurikulum madrasah langsung dirubah sesuai isi SKB tersebut,
sedangkan dari sisi lainnya, pihak-pihak yang terlibat tidak
melaksanakan isi SKB itu sebagaimana mestinya.
Ternyata pada masa-masa selanjutnya terutama dengan kurikulum yang berlaku 30%
agama dan 70% umum sulit rasanya mengharapkan keluaran madrasah yang
memiliki pengetahuan agama dan penguasaan bahasa Arab yang memadai.
Untuk memperbaiki mutu lulusan madrasah sebagai talon mahasiswa IAIN
dengan bekal ilmu yang memadai, maka Menteri Agama saat itu; Munawir
Sjadzali tahun 1986 mengambil kebijakan untuk mengadakan proyek
percontohan (pilot project) Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang
dirancang sedemikian rupa dan terrencana dengan susunan kurikulum 70% agama
dan 30% umum (kebalikan yang di atas). Proyek percontohan ini dilaksanakan di
lima tempat, yaitu di Tasikmalaya, Yogyakarta, Jember, Padang Panjang dan Ujung pandang.[22]
Sementara
itu, undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 2 Tahun 1989) diberlakukan sebagai pedoman pokok
bagi kebijakan pendidikan di Indonesia. Undang-undang tersebut diikuti
dengan seperangkat peraturan pemerintah (PP). PP yang paling terkait dengan
lembaga pendidikan madrasah adalah PP No. 28
dan 29 tahun 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan
surat keputusan No.0489/U/1992 tentang Sekolah Menengah Umum dan Departemen Agama mengeluarkan pula surat keputusan
No. 373 Tahun1993 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah.
Berdasarkan PP No. 28, 29 tahun 1990 dan
surat keputusan masing-masing dari dua departemen di atas
dapat dimakhlumi bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan sekolah yang berciri
khan agama Islam. Keluarnya Undang-undang di
atas, merupakan tonggak kebangkitan bagi madrasah-madrasah (Bab IV pasal 11 ayat 6 UU No. 2 Tahun
1989). Melalui undang-undang ini
madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya ditegaskan kembali
posisinya sebagai subsistem dalam pendidikan nasioanal.
Menurut catatan Hartono Mardjono,[23] RUU ini pada awalnya diajukan oleh presiden
dan termasuk RUU yang pertama sekali di ajukan. Di dalamnya tercantum beberapa
ketentuan antara lain :
a. Bahwa Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan harus diajarkan kepada
anak-anak semenjak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi baik negeri
maupun swasta.
b. Bahwa apabila di
sekolah-sekolah swasta terdapat sekurang-kurangnya 10% anak didik yang memeluk
agama selain agama yang dianut oleh penyelenggara
sekolah tersebut, penyelenggara, diwajibkan menyediakan guru agama sesuai dengan keyakinan yang dipeluk oleh anak
didik.
Selanjutnya untuk
menyalurkan siswa madrasah pada jenjang pendidikan yang
lebih tinggi dan memenuhi tenaga ahli dalam bidang agama, pemerintah
mendidirikan IAIN 24 Agustus 1960 yang nantinya juga diikuti dengan berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN).[24] Sejaran pendidikan Islam di Indonesia,
terutama kasus IAIN, telah dibahas secara khusus oleh penulis sebelum ini.
Dari uraian di
atas, dapat dipahami bahwa jika dilihat lebih jauh program yang
dibuat pemerintah orde baru sebenarnya relatif cukup bagus dan sangat akomodatif dengan diangkatnya isu pemerataan,
peningkatan kualitas, efektifitas, dan
relefansi dengan pembangunan Nasional. Hanya saja realisasi dari kebijakan tersebut mengarah kepada memperkuat
hegemoni pemerintah orde baru di
hadapan masyarakatnya dengan cara menggiring pendidikan kepada satu
Sistem sentralistik yang di dalamnya termasuk pendidikan Islam.
4.
Zaman Orde Reformasi
Orde
reformasi (kadang disebut juga dengan era otonomi daerah) ditandai dengan tumbang/mundurnya peguasa “rezim” orde baru
yaitu Presiden Soeharto tepatnya pada
tanggal 20 Mei 1998 yang akhirnya digantikan oleh B. J. Habibie. Suksesi kepemimpinan dari orde baru ke
orde reformasi merupakan hasil kerja
dan perjuangan yang cukup alot dari mereka yang menamakan dirinya
gerakan reformasi tahun 1998.
Dalam
realita sejarah, menurut berbagai somber, sesungguhnya semenjak pertengahan tahun 1997 Indonesia telah mengalami
berbagai krisisi yang di awali dengan krisis moneter. Dan kini telah
berkembang menjadi krisis multi dimensi yang menyentuh segenap aspek kehidupan
bangsa, ekonomi, politik, persatuan dan kesatuan, kerukunan hidup beragama dan
sebagainya.
Terkait
dengan kebijaksanaan politik pemerintah pada periode ini yang berpengaruh besar terhadap pendidikan Islam adalah
disahkan dan diberlakukannya
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SISIDIKNAS).[25] Menurut
beberapa pengamat kelahiran Undang-undang ini
menjadi titik awal kebangkitan pendidikan Nasional, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Kemunculan
Undang-undang ini juga merupakan
respon terhadap produk Undang-undang lainnya yang lahir pada era
reformasi yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, di mana
Undang-undang SISDIKNAS yang ada selama ini (UU No. 2 Tahun 1989), dinilai tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi daerah tersebut.[26]
Di dalam
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISIDIKNAS) secara eksplisit disebulkan
peran dan kedudukan pendidikan agama
(Islam), baik sebagai proses maupun lembaga. Sebab salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998 tersebut
adalah diadakannya reformasi dalam
bidang pendidikan. Forum rektor misalnya, yang lahir di Bandung tanggal
7 November 1998 juga mendeklarasikan perlunya reformasi budaya, melalui reformasi pendidikan. Di dalam undang-undang tersebut terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang
pendidikan keagamaan (Islam) secara
jelas, yaitu pasal 12 ayat 1.a, (yang merupakan pasal penting yang sempat menghebohkan), pasal 37 ayat 1.a dan ayat
2.a, dan pasal 30 dengan lima ayat.[27]
Dengan demikian,
banyak perobahan yang terlihat melalui Undang-undang yang baru ini yang memberi ruang gerak terhadap
perkembangan dan keberlangsungan pendidikan
Islam secara lebih baik dan maju. Undang-undang sistem pendidikan Nasional yang dijabarkan dari UUD Republik Indonesia tahun 1945, telah memberikan
keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulai dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemempuan dan membentuk watak serta
peradapan bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 4).
Kurikulum dalam UU sisdiknas telah memberikan
keseimbangan antara iman, ilmu dan
aural (shaleh). Hal ini selain tercermin melalui fungsi dan tujuan pendidikan nasional (pasal 36 ayat 3) dimana
peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
Secara panjang lebar Usman Abu Bakar
dalam bukunya “Fungsi Ganda Lembaga
Pendidikan Islam; Respon Kreatif terhadap Undang-undang SISDIKNAS”, mencoba
menguraikan sejauh mana implikasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tersebut terhadap pendidikan Islam. Dengan terlebih dahulu menjelaskan pro-kontra masyarakat dalam
menyikapi gagasan diberlakukan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 itu, terutama pada pasal yang dianggap krusial, yaitu pasal 12 ayat (1).a,
yang menegaskan bahwa: “setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diqjarkan oleh pendidik yang
seagama”.[28] tetapi tampaknya pro kontra ini dapat difahami dalam masyarakat demokrasi, karena semua
pihak memiliki alasan dan kepentingan masing-masing.
Banyak sisi sebenarnya yang dapat diungkap tentang
perobahan pada pendidikan
Islam (baik secara sistem maupun lembaga) dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
SISDIKNAS ini yang memberi pengaruh terhadap
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia seperti diberlakukannya “Kurikulum
2004” (Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK),
apalagi jika dikaitkan secara khusus dengan semangat Otonomi Daerah dengan prinsip “de-sentralisasi pendidikan”
dengan munculnya pola-pola manajemen
pendidikan seperti School Based Management (manajemen
berbasis sekolah) dan lain-lain.
C. Kesimpulan
Setelah mengemukakan kebijaksanaan politik pemerintah
Berta pengaruhnya tehadap perkembangan
pendidikan Islam di Indonesia melalui empat periode perkembangan politik (Pra kemerdekaan, orde
lama, orde baru dan orde reformasi) di atas, maka
penulis berkesimpulan bahwa kebijaksanaan politik
penguasa pada zamannya jelas telah berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam baik
langsung maupun tidak langsung.
Dalam bidang pendidikan Islam, pengaruh yang ditimbulkan
oleh kebijaksanaan politik pemerintah
adakalanya bersifat positif konstruktif walaupun belum 100% memuaskan namun tidak jarang juga yang
negatif destruktif, seperti pada zaman pra
kemerdekaan. Kebijakan pemerintah Belanda pada
zaman pra kemerdekaan sangat kental dengan sikap “diskriminasi” dengan kebijakan “ordonansi guru dan
ordonansi sekolah liar”, Jepang agak lunak dan terkesan akomodatif persuasif
walaupun semua itu hanya demi kepentingan politis
semata-mata.
Pada
periode berikutnya, yaitu orde lama sebuah harapan baru muncul ke tengah-tengah dunia pendidikan Islam dengan
berdirinya Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946 melalui usulan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KN1P)
tertanggal 11 November 1945. Pendidikan Islam mulai mendapat angin segar dengan terbitnya beberapa kebijakan
pemerintah melalui Depag yang terkait langsung dengan pendidikan Islam.
Pada era
orde baru dikenal sebuah kebijakan yang cukup berpengaruh dan masih akrab
ditelinga umat Islam sampai saat ini apalagi para pengelolapendidikan Islam,
yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri) tahun 1975, No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975
tentang peningkatan mutu pendidikan Islam
pada madrasah. Serta sebuah undang-undang tentang SISDIKNAS yaitu UU
No. 2 Tahun 1989.
Akhirnya pada era reformasi setelah kejayaan orde baru
ditumbangkan oleh gerakan reformasi 1998 dan
munculnya berbagai tuntutan perobahan disegala
bidang kehidupan, termasuk pendidikan Islam, maka diberlakukanlah Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang memberi pengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Demikianlah
makalah penulis yang menceritakan bagaimana pengaruh perubahan politik yang dikeluarkan penguasa pada
zamannya Berta pengaruhnya terhadap
perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang telah dibagi kepada empat fase
politik. Mudah-mudahan dapat memandu pembaca semua untuk melihat secara
global permaslahan ini. Wassalam.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin,
Anwar, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional
dalm Undangundang SISDIKNAS, (Jakarta : Ditjen Bimbaga Islam Depag RI, 2003), cet. Ke-
3
Assegaf, Abd
Rahman, Internasionalisasi Pendidikan; Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan
Barat, (Yogyakarta : Gema Media, 2003)
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam;
Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana
Ilmu, 2000), cet. Ke-2
Bakar, Usman Abu clan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam; Respon kreatif terhadap Undang-undang Sisdiknas, (Yogyakarta
: Safiria Insani Press, 2005), cet. Ke-1
Daulai, Haidar
Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya,
2001), cet. Ke-1
Entang, Manajemen Kebyaksanaan Operasional (bahan
Diklat ADUM), (Jakarta : LAN RI, 1999)
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2
Jabali, Fuad dan Jamhari, LAIN dan Modernisasi Islam
di Indonesia, (Jakarta Logos Wacana Ilmu, 2002)
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta
: Logos Wacana Ilmu, 1999)
Mardjono,
Hartono, Politik Indonesia
(1996-2003), (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), cet. Ke- 2
Naffs, M.
Wahyuni, Dkk ( Tim Editor), KonteWualisasi
Ajaran Islam; 70 Tahun Prof DR. H. Munawwir Sadzali, (Jakarta
: IPHI dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
Nizar, Samsul, Reformulasi
Pendidikan Islam Kontemporer, (Jurnal al-Ta'lim),
Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol
Padang, Vol. VI, No. 10, 2001
Noer, Deliar, Administrasi
Islam di Indonesia; [edisi baru], (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), cet. Ke-1
Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta
: Balai Pustaka, 1999)
Sirozi, M., Politik
Pendidikan; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan
Pendidikan, (Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta
: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. Ke- 4
Zar, Sirajuddin, Kebijaksanaan
Pemerintah Orde Baru tentang Islam 1966-1987, (Padang, IAIN-IB Press,
2001), cet. Ke- 1
[1] Di dalam sejarah pendidikan Islam maupun dalam studi
kependidikan, sebutan "pendidikan
Islam" umumnya difahami sebatas ciri khas jenis pendidikan yang berlatar belakang
keagamaan, seperti yang tertuang
dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang SISDIKNAS. Akan tetapi Zarkawi Soeyoeti tidak sependapat, ia menyebutkan
bahwa tidak hanya sekedar ciri akan tetapi ia adalah sistem pendidikan dan kelembagaannya sekaligus. Lihat : A. Malik
fajar dalam M. Wahyuni Nafis, Dkk (
Tim Editor). Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. DR. H. Munawwir
Sadzali, (Jakarta : IPHI dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 507
[2] M.
Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan
dan Praktik Penyelenggaraon Pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2005), h. 1
[3] Kebijaksanaan adalah keeakapan dan kemahiran
bertindak dalam menghadapi sebuah persoalan.
Seperti kebijaksanaan politik, artinya; kebijakan/sistem konsep resmi yang
menjadi dasar prilaku politik negara.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta
: Balai Pustaka, 1999), h. 740. bandingkan
dengan Entang, Manajemen Kebijaksanaan Operasional (bahan Diklat ADUM). (Jakarta
: LAN RI, 1999), h. 6
[4] Dalam sejarah Islam hubungan antara pendidikan
dengan politik yang diterapkan pemerintah
yang berkuasa bukanlah suatu hal yang baru, bahkan is sudah dapat dilacak sejak
masa-masa pertumbuhan lembaga-lembaga
pendidikan Islam semacam madrasah. Contoh paling terkenal adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad yang didirikan sekitar
tahun 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk
(Nizam al-Mulk). Azyumardi Azra.Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju
Millenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2000), cet. Ke-2, h. 61
[5] WJS.
Poerwadarminta, Ibid., h. 763
[6] Lihat : Samsul Nizar , Reformulasi Pendidikan
Islam Kontemporer, (Jurnal al-Ta'lim), Fakultas Tarbiyah MIN Imam
Bonjol Paclang, Vol. VI, No. 10, 2001, h. 69
[7] Haidar
Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta
: Tiara Wacana Yogya, 2001), cet. Ke-1, h.1
[8] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda
Lembaga Pendidikan Islam : Respon kreatif terhadap Undang-undang Sisdiknas, (Yogyakarta : Safiria Insani Press, 2005), cet.
Ke-1, h. 70
[9]
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangannya,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet Ke-2,
h. 52
[10] Hasbullah, op. cit., h. 64-64
[11] Menurut Abd Rahman Assegaf, orde lama ini bisa
pula dipecah rnenjadi beberapa fase; yakni,
fase Kemerdekaan (1945 s.d 1950), fase Demokrasi Liberal (1950 s.d 1959) dan
fase Demokrasi Terpimpin (1959 s.d
1965). Lihat : Internasionalisasi Pendidikan; Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat,
(Yogyakarta : Gema Media, 2003), h. 256 Bandingkan dengan Hasbullah, op.
cit.. h. 70
[12] Pasal 29
UUD 1945 tersebut berbunyi "bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan bahwa negara menjamin
kemerdekaan atas tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing serta beribadah menurut agama dan kepercayaanya
itu". Sebenarnya cukup panjang
clan berliku jalan yang dilalui umat Islam dan para tokoh sebelum berdirinya Depag, dan laporan sejarah tentang itu rasanya
ticlak cukup ruang untuk menjelaskannya di sini. Selengkapnya lihat : Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia; [edisi
baru], (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), cet. Ke-1, h. 13-30
[13] Pendidikan Agama yang dimaksud ada dua, pertama,
pendidikan agama di sekolahsekolah
umum dan kedua, lembaga-lembaga khusus yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan yang di Indonesia dikenal adanya lembaga
pendidikan pesantren, madrasah, dan perguruan
tinggi Islam (IAIN/STAIN). Fuad Jabali clan Jamhari, MIN dan Modernisasi
Islam di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana flinu. 2002), h.
62-63
[14] Haidar Putra Daulai, Op, cit., h. 4
[15] Hasbullah, op. cit., h. 77
[16] Mahmud
Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya,
1995), cet. Ke- 4, h. 358 dan Hasbullah, loc. cit
[17] Fuad
Jabali, op. cit., h. 71 dan Usman Abu Bakar, op. cit., h. 73
[18] Maksum, Madrasah
Sejarah clan Perkembangannya, (Jakarta Logos Wacana 11mu, 1999), h.
131
[19] Lihat
al : Abd Rahman Assegaf, op. cit., h.
262
[20] Haidar
Putra Daulai, op. cit., h. 5
[21] Sirajuddin Zar, Kebijaksanaan Pemerintah Orde
Baru tentang Islam 1966-1987, (Padang, IAIN-IB Press, 2001), cet.
Ke- I, h. 54
[22]
Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, op. cit., h. 529
[23] Hartono Mardjono, Politik Indonesia (1996-2003),
(Jakarta : Gema Insani Press, 1997), cet. Ke- 2, h. 46
[24] Abd
Rahman Assegai, op. cit., h. 290
[25] Menurut Anwar
Arifin, Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI waktu itu, bahwa Undangundang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), yang
selama tiga bulan lebih (mares s/d juni 2003) telah menarik perhatian masyarakat seluruh nusantara. Undang-undang
ini akhirnya disahkan oleh DPR-RI tanggal I I juni 2003 dan diundangkan
(ditandatangani oleh presiders RI) tanggal 8
juli 2003. Anwar Arifin, Memahami Paradigms Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang
SISDIKNAS, (Jakarta : Ditjen Bimbaga Islam Depag RI, 2003), cet. Ke- 3, h.
i
[26]
Lihat : Usman Abu Bakar, op. cit., h. 79
[27] Anwar Arifin, op. cit., h. 32
[28]
Usman Abu Bakar, op. cit., h. 93
Pokervita - Deposit Pulsa PKV | Judi Deposit Pulsa PKV | Deposit Via Pulsa | Deposit Via Pulsa PKV
BalasHapusKenapa Harus Daftar Di Pokervita Agen PKV Deposit Pulsa Pertama
karna di Pokervita memberikan rating kemenangan tertinggi
Dan yang tak ketinggalan Pokervita menerima deposit via pulsa loh!
Pokervita Menerima Deposit Via GO-PAY
deposit via Go-Pay
deposit via pulsa
judi ovo indonesia
bonus turnover terbesar
situs judi online terpercaya
bonus referral terbesar
poker depo pulsa
capsa depo pulsa
aduq deposit pulsa
domino deposit pulsa
deposit via telkomsel
deposit via xl
Whatsapp Daftar Deposit Pulsa Alfamart
Livechat PKV Deposit Pulsa