Rabu, 22 Januari 2014

PENDIDIKAN ISLAM DAN POLITIK

PENDIDIKAN ISLAM DAN POLITIK
Oleh: Makmur Tizar

A.    Pendahuluan
Suatu institusi keagamaan atau kemasyarakatan sepertinya sulit dipisahkan dari perkembangan situasi sosial politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebab setting sosial politik tersebut ikut memberi warna bagi kelangsungan hidup suatu institusi. Hal yang sama juga berlaku bagi pranata sosial lainnya, termasuk di dalamnya pendidikan Islam (sistem dan lembaga).[1]
Perjalanan sejarah telah memperlihatkan berbagai rangkaian historis yang secara terus menerus ditandai dengan pergumulan antara politik dan pendidikan Islam yang terkadang memihak/menguntungkan dan tidak jarang pula justeru merugikannya. M. Sirozi dalam bukunya Politik Pendidikan menjelaskan bahwa antara pendidikan dan politik atau sebaliknya, adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. la sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, tidak memiliki hubungan apa-apa, padahal kedua-duanya sating menunjang, bahu membahu dalam proses pembentukan masyarakat.[2]
Dalam kaftan itu penulis melalui tulisan ini akan mencoba menampilkan sebuah topik dengan judul “pendidikan Islam dan politik”. Tulisan ini secara khusus akan membahas bagaimana pengaruh perubahan politik di Indonesia terhadap perkembangan pendidikan Islam. Pengaruh yang dimaksud di sini adalah kebijaksanaan[3] dari pemerintah dalam memberikan perhatian atau dukungan baik moril maupun materil bagi keberlangsungan pelaksanaan pendidikan Islam. Penulis melihat bahwa pembicaraan seputar masalah pendidikan Islam dan politik merupakan sesuatu yang amat luas dan panjang,[4] oleh karenanya dalam tulisan ini pembahasan akan dibatasi kepada fase-fase tertentu dengan berpedoman kepada periodesasi perjalanan sejarah bangsa ini. Periodesasi tersebut di mulai dari zaman pra kemerdekaan (masa penjajahan belanda-jepang), kemudian zaman kemerdekaan sampal orde lama, zaman orde baru, dan era reformasi.
Untuk terarahnya pembahasan, maka uraian akan dipilah menjadi beberapa sub bahasan yaitu pendahuluan, pembahasan tentang perobahan politik di Indonesia dan pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan Islam yang dibagi kepada empat periode seperti uraian di atas (pra kemerdekaan, orde lama, orde baru dan era reformasi) dan ditutup dengan kesimpulan. Tulisan ini merupakan survei terhadap sejarah social pendidikan Islam di Indonesia yang memerlukan kemampuan khusus dan data-data yang akurat. Oleh karenanya Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan mungkin karena keterbatasan referensi, waktu maupun kemampuan, oleh karenanya masukkan dan kritik yang membangun dari semua pihak serta peserta pembaca sangat penulis harapkan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan berharga.

B.     Perubahan Politik di Indonesia dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam
Politik menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar- dasar pemerintahan dan sebagainya.[5] Namun secara sederhana mengutip tulisan Samsul Nizar, politik dapat diartikan sebagai segala kegiatan yang dilakukan dalam sistem kenegaraan menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem yang ada dalam menetapkan kebijaksanaan.[6] Tulisan ini agaknya tidak akan menguraikan politik dalam arti yang kaku seperti definisi di atas akan tetapi tela'ahan terhadap proses panjang dari pandangan dan sikap pemerintah terhadap pendidikan Islam di Indonesia sejak dari zaman penjajahan Belanda-­Jepang, orde lama, orde baru serta orde reformasi.
Perubahan politik yang dimaksud adalah kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang berkuasa pada saat itu yang terkait dengan pendidikan Islam yang secara langsung maupun tidak telah memberikan andil bagi perkembangan dan keberlangsungan pendidikan Islam itu sendiri. Hanya saja perubahan politik dan berbagai kebijaksanaan yang terjadi di Indonesia yang akan dibahas dalam tulisan ini dibatasi pada periode pra kemerdekaan (masa penjajahan Belanda-,Jepang), orde lama, orde baru, dan era reformasi.




1.      Zaman Pra Kemerdekaan (tahun 1900- menjelang 1945)
Zaman pra kemerdekaan yang dimaksud di sini adalah zaman di mana Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial belanda yang berlanjut dengan pendudukan Jepang, sebab pada prinsipnya pendidikan Islam di Indonesia menurut catatan Haidar Putra Daulay telah berlangsung semenjak masuknya Islam ke kawasan ini.[7] Tidak banyak perubahan-perubahan politik serta pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan Islam periode pra kemerdekaan yang dapat penulis tampilkan. Pembatasan ini dilakukan untuk melihat kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah kolonial yang berdampak terhadap pekembangan pendidikan Islam balk langsung maupun tidak.
Kebijaksanaan pemerintah Belanda dalam bidang pendidikan terutama yang terkait dengan pendidikan Islam dirasakan sangat diskriminatif dan merugikan umat Islam, amat jarang ditemukan kebijakan yang dikeluarkan tersebut menguntungkan secara langsung terhadap perkembangan pendidikan. Setelah akhir abad 19 dan awal abad 20 penguasa kolonial memberikan layanan pendidikan dengan model persekolahan secara klasikal dan tidak memasukkan pendidikan Islam dalam sistem pendidikannya.
Menurut Fasli Jalal dalam prakteknya model ini berorientasi kelas sosial, bersifat elitis dan diskriminatif serta secara terselubung lebih berorientasi pada kepentingan penguasa kolonial. Seirama dengan itu, Abuddin Nata berkomentar bahwa secara umum belanda amat pelit dan diskriminatif dalam memberikan pendidikan bagi rakyat jajahannya, di samping itu Belanda juga sangat mencurigai dan tidak suka dengan keberadaan pendidikan Islam yang diselenggarakan di pesantren-pesantren, madrasah dan sebaginya karena dianggap “sarang pemberontak”.[8] Agaknya karena sikap pemerintah Belanda itu pulalah akhirnya pendidikan Islam mengambil sikap non-kooperatif.
Sebagaimana diketahui bahwa kedatangan penjajah Belanda di bumi nusantara ini memang mengemban fungsi ganda, di samping menjajah juga salibisasi terhadap umat Islam di Indonesia. Karena misi ganda inilah maka secara otomatis segala tindakan dan kebijakan yang diambil pihak Belanda dalam pendidikan Islam cenderung merugikan umat Islam.
Kebijakan pemerintah belanda yang senantiasa diskriminatif serta mengandung maksud-maksud terselubung seperti gambaran di atas, pada pihak lain secara berangsur-angsur telah membangkitkan kesadaran seluruh bangsa Indonesia untuk menciptakan sendiri lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi semua baik bangsawan maupun rakyat jelata dengan silabus dan kurikulum terpadu antara pendidikan agama yang bersifat keakhiratan dengan pendidikan umum yang bersifat keduniawian. Maka berdirilah lembaga-lembaga pendidikan diberbagai tempat di Indonesia.
Di antara kebijakan pemerintah Belanda yang terkesan tidak adil serta berpengaruh bagi keberlangsungan dan perkembangan pendidikan Islam antara lain :
a.       Pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarka suatu peraturan yang mengharuskan orang yang akan memberikan pengajaran atau pengajian agama terlebih dahulu meminta izin khusus kepada pemerintah Belanda,
b.      Pada tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat yang menyebutkan bahwa tidak semua orang boleh memberikan pelajaran mengaji kecuai telah mendapat semacam rekomendasi/persetujuan pemerintah Belanda.
c.       Kemudian tahun 1932 keluar lagi peraturan yang lebih ekstrim yang sisinya berupa kewenangan untuk memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya, atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda, peraturan itu disebut Ordonansi Guru dan Ordonansi Sekolah Liar (WildeSch000l Ordonantie).[9]
Peraturan (ordonansi) yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda waktu itu jelas-jelas telah berdampak buruk kepada pendidikan Islam yang secara tidak langsung sebenarnya menjadi duri dalam daging bagi perwujudan cita-­cita Belanda datang ke Indonesia.
Demikianlah liku-liku politik pendidikan yang diterapkan pemerintah colonial Belanda, akan tetapi sepertinya Belanda tidak menyadari bahwa kebijaksanaan yang diterapkannya telah memptifasi lahirnya kelompok-kelompok yang sadar akan nasib bangsanya untuk kemudian membentuk organisasi untuk menghapus sistem kolonialisme yang sudah ratusan tahun mengukung dirinya.
Demikianlah di antara kebijakan-kebijakan politis pemerintah Belanda yang telah ikut berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam saat itu di mana pengaruh tersebut banyak yang bersifat negatif destruktif.
Lain halnya dengan pemerintah Jepang (1942-1945). Sikap Jepang terhadap pendidikan Islam ternyata lebih lunak dibanding Belanda, sehingga ruang gerak pendidikan Islam lebih bebas, masalahnya Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama akan tetapi yang penting adalah memenangkan perang melawan sekutu bahkan kalau perlu para pemuka agama termasuk umat Islam lebih diberi keleluasaan mengembangkan pendidikananya.
Menurut Hasbullah, pada tahap permulaan malah Jepang menampakkan dirinya seakan-akan membela kepentingan Islam, walaupun itu hanya untuk kepentingan perang dunia II, mereka menempuh beberapa kebijaksanaan, terutama adalah 1). Pondok Pesantren yang besar-besar seringkali mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar Jepang. 2). sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran Agama dan pembangunan madrasah-madrasah sangat gencar sampai ke desa-desa, walaupun itu lebih bersifat politis belaka. 3). Pemerintah Jepang mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakkir, dan Muhammad Hatta.[10]
Jadi pada masa pendudukan Jepang, angin segar yang diberikan penjajah ini benar-benar dimanfaatkan secara optimal oleh umat Islam di segenap lapisan walaupun mereka sebenarnya sudah tahu bahwa itu dilakukan pemerintah Jepang dengan maksud politis belaka. Oleh karenanya, maka kepercayaan yang diberikan Jepang tersebut dimanfaatkan juga oleh umat Islam untuk bangkit memberontak melawan Jepang sendiri setelah disadari bahwa Jepang hanya bermaksud untuk menjajah Indonesia sama dengan Belanda.
Dari uraian di atas jelas bahwa pengaruh perubahan politik pada masa pemerintahan kolonial Belanda dan Jepang jelas berdampak kepada pendidikan Islam baik langsung maupun tidak. Akan tetapi dampak yang jelas dirasakan adalah bahwa kebijakan politik rezim waktu itu sangat destruktif sehingga merugikan pendidikan Islam dan umat Islam. Pada zaman Jepang walaupun pendidikan Islam dan umat Islam seolah-olah mendapat angin segar, namun semua itu dilakukan oleh penguasa demi kepentingan politiknya dan bukan demi keberlangsungan/perkembangan pendidikan Islam tersebut. Dampak lain dari kebijakan-kebijakan tersebut telah memotivasi dan mendorong lembaga pendidikan Islam untuk tampil ke permukaan memberikan pendidikan yang layak kepada segenap lapisan masyarakatnya dan bangkit mengadakan perlawanan atas kebiajakan penguasa yang sewenang-wenang.

2.      Zaman Ode Lama
Setelah zaman kemerdekaan sampai saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa orde dan fase politik (orde lama, orde baru, orde reformasi), kurun waktu antara tahun 1945 sampai 1965 inilah yang dikenal dengan zaman orde lama, meskipun sebagian peneliti ada yang menyebutnya dengan zaman kemerdekaan 1.[11] Oleh karena itu, maka yang akan penulis tampilkan pada bagian ini adalah bagaimana perubahan politik yang terjadi serta pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan Islam.
Pada periode ini perubahan politik yang terjadi dan boleh dikatakan cukup monumental dalam sejarah umat Islam yang mempunyai pengaruh siginifikan terhadap pendidikan Islam adalah berdirinya Departemen Agama (Depag). Semenjak itu masalah-masalah agama secara resmi termasuk pendidikan agama (Islam) di Indonesia diatur oleh pemerintah melalui Depag yang nota bene Departemen yang unik di negeri ini.
Deliar Noer mencatat bahwa resminya Depag didiran atas dasar UUD 1945 pasal 29,[12] walaupun pada awalnya usaha rnendirikan departemen ini mendapat halangan dan pembuat UUD 1945 itu sendiri. Akhirnya pada tanggal 3 Januari 1946 sesuai dengan usulan Kornite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tertanggal I I November 1945 yang diprakarsai oleh KH. Abudardiri dan kawan-kawan beliau, disetujui oleh badan legislatif. Dalam SK pembentukan Depag tercantum 3 tugas pokok lembaga ini, yaitu; a. memberikan pelayanan keagamaan, b. mengembangkan pendidikan agama (Islam),[13] C. membina kerukunan antar umat beragama. Oleh karena itu produk kebijaksanaan pemerintah melalui Depag harus mencerminkan ketiga hal tersebut.
Setelah Departemen Agama (Kementerian Agama) berdiri tahun 1946 itu muncullah berbagai kebijakan politik pemerintah yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam. Sebab setelah Indonesia merdeka fenomena yang muncul adalah adanya kebutuhan akan mata pelajaran umum untuk dimasukkah ke dalam kurikulum lembaga pendidikan Islam seperti madrasah sebagai reaksi terhadap tuntutan zaman. Hal ini menurut analisa Haidar,[14]  diakibatkan oleh karena perbandingan yang tidak seimbang antara pelajaran umum dengan pelajaran agama sehingga ijazah madrasah mempunyai nilai yang tidak sama dengan ijazah sekolah-sekolah umum yang diasuh Departemen P dan K. Ketidaksamaan itu terlihat setidaknya pada dua hal, yaitu : pertama, kesempatan untuk melanjutkan studi bagi lulusan madrasah hanya terbatas kepada perguruan tinggi agama saja yang dalam hal ini adalah IAIN dan tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke fakultas-fakultas umum terutama fakultas eksakta. Kedua, kesempatan untuk mencari pekerjaan bagi lulusan madrasah juga terbatas dibandingkan dengan lulusan sekolah umum. Instansi pemerintah dan swasta lebih mengutamakan lulusan sekolah umum untuk bekerja di instansinya.
Mencermati kondisi di atas, khususnya untuk mengelola pendidikan agama yang diberikan disekolah-sekolah umum, maka bulan Desember 1946 dikeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri PP dan K dengan Menteri Agama. Hanya saja semenjak keputusan ini dikeluarkan terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum, yang satu dikelola oleh Departemen Agama dan satunya lagi oleh Departemen PP dan K, dualisme artinya pendidikan dikelola dua atap yang masing-masing merasa berwenang.
Ternyata keputusan bersama di atas belum memuaskan semua pihak, sehingga kegoncangan di tengah masyarakat tidak berhenti sampai disitu dan akhirnya diterbitkanlah undang-undang untuk mengatur penyelenggaraan sistem pendidikan nasional termasuk di dalamnya pendidikan Islam melalui Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang “Dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah yang memberikan kesempatan untuk masuknya pengajaran agama di sekolah-sekolah” dan Pendidikan Agama diatur melalui Bab XII pasal 20, antara lain isinya :
a.         Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran Agama dan orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut.
b.         Cara penyelenggaraannya diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri PP dan K bersama-sama dengan menteri agama.[15]
Untuk merealisasikan Undang-undang di atas, maka pada tahun 1950 dikeluarkanlah Peraturan Bersama antara menteri Pendidikan NO. 1432/Kab. Tanggal 20-1-1951 dan menteri Agama (NO. K.1/651. Tanggal 20-1-1951) tentang “Peraturan Pendidikan Agama di Sekolah-sekolah”, yang antara lain mengatur pemberian pelajaran agama di sekolah-sekolah sejak dari tingkat dasar sampai ke sekolah lanjutan tingkat atas dengan jumlah jam yang sudah ditentukan. Dan pendidikan agama diberikan menurut agama murid, maka apabila yang diajarkan tidak sesuai dengan agamanya, si murid boleh meninggalkan ruangan kelas.[16]
Berdasarkan sejarah di atas, beberapa ahli mejelaskan, bahwa kebijakan pemerintah dengan mengeluarkan peraturan untuk mengelola pendidikan Agama seperti di atas, belum memuaskan pihak “madrasah” karma meskipun secara legal-formal madrasah telah mendapat pengakuan, akan tetapi dalam realitanya makin lama makin jauh dari yang diharapkan, bahkan lembaga­lembaga pendidikan praktis menjadi pusat-pusat kegiatan doktrin penyelenggaraan pemerintahan, yaitu “Nasakom” dan “Manipol Usdek” tidak lagi berorientasi pada kepentingan anak didik tetapi kepada kekuasaan. Pemerintah tetap melihat madrasah sebagai lembaga pendidikan khusus yang tidak dipandang sederajat dengan sekolah-sekolah umum yang bernaung di bawah PP dan K (Diknas sekarang). Pada perkembangan berikutnya diskriminasi pendidikan itu muncul lagi, apalagi dengan terbitnya UU No. 12 tahun 1954 Bab XII pasal 20, yang menurut Mastuhu mata pelajaran agama diajarkan atau tidaknya di sekolah-sekolah negeri dan swasta tergantung pada orang tua dan pilihan murid yang bersangkutan, Berta pelajaran agama tidak mempengaruhi nilai untuk kenaikan kelas.[17]
Untuk menetapkan kembali eksistensi pendidikan Islam, maka melalui Tap MPRS No. 2 tahun 1960 ditegaskan kembali tentang “pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi” di samping pengakuan bahwa “pesantren clan madrasah sebagai lembaga pendidikan yang otonom di bawah pembinaan Departemen agama”. Agaknya kebijakan terakhir ini sangat logis jika dikaitkan dengan upaya pembinaan kepribadian clan juga pendidikan Islam telah memberikan kontribusi dalam membendung arus gerakan komunisme yang benar-benar bertentangan dengan ajaran Islam clan dasar negara Panca sila.
Demikianlah keadaan pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada zaman orde lama, baik yang berdampak langsung secara positif atau negatif pada pendidikan Islam maupun tidak langsung. Dan di akhir periode ini (1965) lahir semacam kesadaran baru dan mendalam bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya serta memanfaatkan segenap potensi yang ada termasuk lembaga-lembaga keagamaan.

3.      Zaman Orde Baru
Sejak ditumpasnya peristiwa G. 30 S. PKI pada tanggal I Oktober 1965, Indonesia memasuki fase baru yang dinamakan Orde Baru. Fase ini merupakan fase terpanjang yang pernah ada dalam era perpolitikan Indonesia (1965-1998). Dalam rentang waktu yang cukup panjang tersebut, tentu banyak kebijakasanaan politik pemerintah yang berkuasa waktu itu yang memberi pengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam.
Secara umum menurut Maksum, kebijakan politik orde baru mengenai pendidikan agama (Islam) terkesan lebih akomodatif, positif  dan konstruktif, terutama pada dua dekade terakhir 1980-an sampai 1990-an.[18] Memang di masa orde baru tercatat banyak keberhasilan pemerintah yang terkait dengan pendidikan agama (Islam) baik langsung maupun tidak. Di antaranya adalah :
a.       Pemerintah memberlakukan pendidikan Agama dari tingkat SD hingga universitas (TAP MPRS No. XXVII/MPRA/1966).
b.      Madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan sekolah umum. Sementara pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan.
c.       Lahirnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri) tahun 1975, No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975 tentang peningkatan mutu pendidikan Islam pada madrasah.
d.      Berdirinya Maj lis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1975.
e.       Pelarangan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) mulai tahun 1993 setelah sebelumnya berjalan sejak awal tahun 1980-an.
f.       Pemerintah akhirnya memberi izin kepada pelajar muslimah untuk memakai rok panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah negeri.
g.      Terbentuknya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
h.      Berdirinya MAN Program khusus mulai tahun 1986.
i.        Serta berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada tahun 1990.[19]
Dari beberapa kebijaksanaan pemerintah orde bare di atas, Penulis melihat, paling tidak ada dua kebijakan terkait dengan pendidikan Islam yang terbilang monumental pada periode ini, pertama, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tahun 1975 (antara Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri), kedua, disahkannya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN).
Tujuan terbitnya SKB tiga menteri itu adalah untuk meningkatkan mute pendidikan pada madrasah, sehingga tingkat mata pelajaran umum di madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran UMUM yang setingkat, artinya kurikulum dari semula 70% agama dan 30% umum menjadi kebalikannya, sehingga :
1.      Ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat.
2.      Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih di atasnya
3.      Siswa madrasah dapat berpindah kesekolah umum yang setingkat (ketiga poin ini sesuai dengan SKB Tiga menteri tahun 1975 bab II pasal 2).[20]

SKB tersebut secara kasat mata memang telah menciptakan pengakuan ijazah dan mutasi murid madrasah ke sekolah umum, namun menurut penelitian Sirajuddin Zar[21] dalam tulisannya Kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru tentang Islam 1966-1987, menyebutkan bahwa SKB tersebut dalam beberapa hal telah mengalami kegagalan. Penjungkirbalikan kurikulum guna memperoleh standar pengetahuan yang sama dengan sekolah umum yang setingkat, tidak mencapai sasaran. Sebab, dari satu sisi kurikulum madrasah langsung dirubah sesuai isi SKB tersebut, sedangkan dari sisi lainnya, pihak-­pihak yang terlibat tidak melaksanakan isi SKB itu sebagaimana mestinya.
Ternyata pada masa-masa selanjutnya terutama dengan kurikulum yang berlaku 30% agama dan 70% umum sulit rasanya mengharapkan keluaran madrasah yang memiliki pengetahuan agama dan penguasaan bahasa Arab yang memadai. Untuk memperbaiki mutu lulusan madrasah sebagai talon mahasiswa IAIN dengan bekal ilmu yang memadai, maka Menteri Agama saat itu; Munawir Sjadzali tahun 1986 mengambil kebijakan untuk mengadakan proyek percontohan (pilot project) Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang dirancang sedemikian rupa dan terrencana dengan susunan kurikulum 70% agama dan 30% umum (kebalikan yang di atas). Proyek percontohan ini dilaksanakan di lima tempat, yaitu di Tasikmalaya, Yogyakarta, Jember, Padang Panjang dan Ujung pandang.[22]

Sementara itu, undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Nomor 2 Tahun 1989) diberlakukan sebagai pedoman pokok bagi kebijakan pendidikan di Indonesia. Undang-undang tersebut diikuti dengan seperangkat peraturan pemerintah (PP). PP yang paling terkait dengan lembaga pendidikan madrasah adalah PP No. 28 dan 29 tahun 1990. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan surat keputusan No.0489/U/1992 tentang Sekolah Menengah Umum dan Departemen Agama mengeluarkan pula surat keputusan No. 373 Tahun1993 tentang Kurikulum Madrasah Aliyah.
Berdasarkan PP No. 28, 29 tahun 1990 dan surat keputusan masing­-masing dari dua departemen di atas dapat dimakhlumi bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan sekolah yang berciri khan agama Islam. Keluarnya Undang-undang di atas, merupakan tonggak kebangkitan bagi madrasah­-madrasah (Bab IV pasal 11 ayat 6 UU No. 2 Tahun 1989). Melalui undang-­undang ini madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya ditegaskan kembali posisinya sebagai subsistem dalam pendidikan nasioanal.
Menurut catatan Hartono Mardjono,[23] RUU ini pada awalnya diajukan oleh presiden dan termasuk RUU yang pertama sekali di ajukan. Di dalamnya tercantum beberapa ketentuan antara lain :
a.       Bahwa Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah­-sekolah dan harus diajarkan kepada anak-anak semenjak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.
b.      Bahwa apabila di sekolah-sekolah swasta terdapat sekurang-kurangnya 10% anak didik yang memeluk agama selain agama yang dianut oleh penyelenggara sekolah tersebut, penyelenggara, diwajibkan menyediakan guru agama sesuai dengan keyakinan yang dipeluk oleh anak didik.
Selanjutnya untuk menyalurkan siswa madrasah pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan memenuhi tenaga ahli dalam bidang agama, pemerintah mendidirikan IAIN 24 Agustus 1960 yang nantinya juga diikuti dengan berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN).[24]  Sejaran pendidikan Islam di Indonesia, terutama kasus IAIN, telah dibahas secara khusus oleh penulis sebelum ini.
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa jika dilihat lebih jauh program yang dibuat pemerintah orde baru sebenarnya relatif cukup bagus dan sangat akomodatif dengan diangkatnya isu pemerataan, peningkatan kualitas, efektifitas, dan relefansi dengan pembangunan Nasional. Hanya saja realisasi dari kebijakan tersebut mengarah kepada memperkuat hegemoni pemerintah orde baru di hadapan masyarakatnya dengan cara menggiring pendidikan kepada satu Sistem sentralistik yang di dalamnya termasuk pendidikan Islam.

4.      Zaman Orde Reformasi
Orde reformasi (kadang disebut juga dengan era otonomi daerah) ditandai dengan tumbang/mundurnya peguasa “rezim” orde baru yaitu Presiden Soeharto tepatnya pada tanggal 20 Mei 1998 yang akhirnya digantikan oleh B. J. Habibie. Suksesi kepemimpinan dari orde baru ke orde reformasi merupakan hasil kerja dan perjuangan yang cukup alot dari mereka yang menamakan dirinya gerakan reformasi tahun 1998.
Dalam realita sejarah, menurut berbagai somber, sesungguhnya semenjak pertengahan tahun 1997 Indonesia telah mengalami berbagai krisisi yang di awali dengan krisis moneter. Dan kini telah berkembang menjadi krisis multi dimensi yang menyentuh segenap aspek kehidupan bangsa, ekonomi, politik, persatuan dan kesatuan, kerukunan hidup beragama dan sebagainya.
Terkait dengan kebijaksanaan politik pemerintah pada periode ini yang berpengaruh besar terhadap pendidikan Islam adalah disahkan dan diberlakukannya Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISIDIKNAS).[25] Menurut beberapa pengamat kelahiran Undang-undang ini menjadi titik awal kebangkitan pendidikan Nasional, termasuk pendidikan Islam di dalamnya. Kemunculan Undang-undang ini juga merupakan respon terhadap produk Undang-undang lainnya yang lahir pada era reformasi yaitu Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, di mana Undang-undang SISDIKNAS yang ada selama ini (UU No. 2 Tahun 1989), dinilai tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi daerah tersebut.[26]
Di dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISIDIKNAS) secara eksplisit disebulkan peran dan kedudukan pendidikan agama (Islam), baik sebagai proses maupun lembaga. Sebab salah satu tuntutan gerakan reformasi tahun 1998 tersebut adalah diadakannya reformasi dalam bidang pendidikan. Forum rektor misalnya, yang lahir di Bandung tanggal 7 November 1998 juga mendeklarasikan perlunya reformasi budaya, melalui reformasi pendidikan. Di dalam undang-undang tersebut terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang pendidikan keagamaan (Islam) secara jelas, yaitu pasal 12 ayat 1.a, (yang merupakan pasal penting yang sempat menghebohkan), pasal 37 ayat 1.a dan ayat 2.a, dan pasal 30 dengan lima ayat.[27]

Dengan demikian, banyak perobahan yang terlihat melalui Undang­-undang yang baru ini yang memberi ruang gerak terhadap perkembangan dan keberlangsungan pendidikan Islam secara lebih baik dan maju. Undang-­undang sistem pendidikan Nasional yang dijabarkan dari UUD Republik Indonesia tahun 1945, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulai dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemempuan dan membentuk watak serta peradapan bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 4).
Kurikulum dalam UU sisdiknas telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan aural (shaleh). Hal ini selain tercermin melalui fungsi dan tujuan pendidikan nasional (pasal 36 ayat 3) dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
Secara panjang lebar Usman Abu Bakar dalam bukunya “Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam; Respon Kreatif terhadap Undang-undang SISDIKNAS”, mencoba menguraikan sejauh mana implikasi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tersebut terhadap pendidikan Islam. Dengan terlebih dahulu menjelaskan pro-kontra masyarakat dalam menyikapi gagasan diberlakukan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 itu, terutama pada pasal yang dianggap krusial, yaitu pasal 12 ayat (1).a, yang menegaskan bahwa: “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diqjarkan oleh pendidik yang seagama”.[28] tetapi tampaknya pro kontra ini dapat difahami dalam masyarakat demokrasi, karena semua pihak memiliki alasan dan kepentingan masing-masing.
Banyak sisi sebenarnya yang dapat diungkap tentang perobahan pada pendidikan Islam (baik secara sistem maupun lembaga) dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS ini yang memberi pengaruh terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia seperti diberlakukannya “Kurikulum 2004” (Kurikulum Berbasis Kompetensi/KBK), apalagi jika dikaitkan secara khusus dengan semangat Otonomi Daerah dengan prinsip “de-sentralisasi pendidikan” dengan munculnya pola-pola manajemen pendidikan seperti School Based Management (manajemen berbasis sekolah) dan lain-lain.

C.    Kesimpulan
Setelah mengemukakan kebijaksanaan politik pemerintah Berta pengaruhnya tehadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia melalui empat periode perkembangan politik (Pra kemerdekaan, orde lama, orde baru dan orde reformasi) di atas, maka penulis berkesimpulan bahwa kebijaksanaan politik penguasa pada zamannya jelas telah berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam bidang pendidikan Islam, pengaruh yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan politik pemerintah adakalanya bersifat positif konstruktif walaupun belum 100% memuaskan namun tidak jarang juga yang negatif destruktif, seperti pada zaman pra kemerdekaan. Kebijakan pemerintah Belanda pada zaman pra kemerdekaan sangat kental dengan sikap “diskriminasi” dengan kebijakan “ordonansi guru dan ordonansi sekolah liar”, Jepang agak lunak dan terkesan akomodatif persuasif walaupun semua itu hanya demi kepentingan politis semata-mata.
Pada periode berikutnya, yaitu orde lama sebuah harapan baru muncul ke tengah-tengah dunia pendidikan Islam dengan berdirinya Departemen Agama pada tanggal 3 Januari 1946 melalui usulan Komite Nasional Indonesia Pusat (KN1P) tertanggal 11 November 1945. Pendidikan Islam mulai mendapat angin segar dengan terbitnya beberapa kebijakan pemerintah melalui Depag yang terkait langsung dengan pendidikan Islam.
Pada era orde baru dikenal sebuah kebijakan yang cukup berpengaruh dan masih akrab ditelinga umat Islam sampai saat ini apalagi para pengelolapendidikan Islam, yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri) tahun 1975, No. 06/1975, 037/U/1975 dan 36/1975 tentang peningkatan mutu pendidikan Islam pada madrasah. Serta sebuah undang­-undang tentang SISDIKNAS yaitu UU No. 2 Tahun 1989.
Akhirnya pada era reformasi setelah kejayaan orde baru ditumbangkan oleh gerakan reformasi 1998 dan munculnya berbagai tuntutan perobahan disegala bidang kehidupan, termasuk pendidikan Islam, maka diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang memberi pengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Demikianlah makalah penulis yang menceritakan bagaimana pengaruh perubahan politik yang dikeluarkan penguasa pada zamannya Berta pengaruhnya terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia yang telah dibagi kepada empat fase politik. Mudah-mudahan dapat memandu pembaca semua untuk melihat secara global permaslahan ini. Wassalam.


DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Anwar, Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalm Undang­undang SISDIKNAS, (Jakarta : Ditjen Bimbaga Islam Depag RI, 2003), cet. Ke- 3
Assegaf, Abd Rahman, Internasionalisasi Pendidikan; Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat, (Yogyakarta : Gema Media, 2003)
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2000), cet. Ke-2
Bakar, Usman Abu clan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam; Respon kreatif terhadap Undang-undang Sisdiknas, (Yogyakarta : Safiria Insani Press, 2005), cet. Ke-1
Daulai, Haidar Putra, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2001), cet. Ke-1
Entang, Manajemen Kebyaksanaan Operasional (bahan Diklat ADUM), (Jakarta : LAN RI, 1999)
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet. Ke-2
Jabali, Fuad dan Jamhari, LAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta Logos Wacana Ilmu, 2002)
Maksum, Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999)
Mardjono, Hartono,  Politik Indonesia (1996-2003), (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), cet. Ke- 2
Naffs, M. Wahyuni, Dkk ( Tim Editor), KonteWualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof DR. H. Munawwir Sadzali, (Jakarta : IPHI dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995)
Nizar, Samsul, Reformulasi Pendidikan Islam Kontemporer, (Jurnal al-Ta'lim),
Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, Vol. VI, No. 10, 2001
Noer, Deliar, Administrasi Islam di Indonesia; [edisi baru], (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), cet. Ke-1
Poerwadarminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999)
Sirozi, M., Politik Pendidikan; Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005)
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. Ke- 4
Zar, Sirajuddin, Kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru tentang Islam 1966-1987, (Padang, IAIN-IB Press, 2001), cet. Ke- 1



[1] Di dalam sejarah pendidikan Islam maupun dalam studi kependidikan, sebutan "pendidikan Islam" umumnya difahami sebatas ciri khas jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan, seperti yang tertuang dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang SISDIKNAS. Akan tetapi Zarkawi Soeyoeti tidak sependapat, ia menyebutkan bahwa tidak hanya sekedar ciri akan tetapi ia adalah sistem pendidikan dan kelembagaannya sekaligus. Lihat : A. Malik fajar dalam M. Wahyuni Nafis, Dkk ( Tim Editor). Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. DR. H. Munawwir Sadzali, (Jakarta : IPHI dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1995), h. 507
[2] M. Sirozi, Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Praktik Penyelenggaraon Pendidikan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1
[3] Kebijaksanaan adalah keeakapan dan kemahiran bertindak dalam menghadapi sebuah persoalan. Seperti kebijaksanaan politik, artinya; kebijakan/sistem konsep resmi yang menjadi dasar prilaku politik negara. Kebijaksanaan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999), h. 740. bandingkan dengan Entang, Manajemen Kebijaksanaan Operasional (bahan Diklat ADUM). (Jakarta : LAN RI, 1999), h. 6
[4] Dalam sejarah Islam hubungan antara pendidikan dengan politik yang diterapkan pemerintah yang berkuasa bukanlah suatu hal yang baru, bahkan is sudah dapat dilacak sejak masa-masa pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam semacam madrasah. Contoh paling terkenal adalah Madrasah Nizamiyah di Baghdad yang didirikan sekitar tahun 1064 oleh Wazir Dinasti Saljuk (Nizam al-Mulk). Azyumardi Azra.Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu. 2000), cet. Ke-2, h. 61
[5] WJS. Poerwadarminta, Ibid., h. 763
[6] Lihat : Samsul Nizar , Reformulasi Pendidikan Islam Kontemporer, (Jurnal al-Ta'lim), Fakultas Tarbiyah MIN Imam Bonjol Paclang, Vol. VI, No. 10, 2001, h. 69
[7] Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2001), cet. Ke-1, h.1
[8] Usman Abu Bakar dan Surohim, Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam : Respon kreatif terhadap Undang-undang Sisdiknas, (Yogyakarta : Safiria Insani Press, 2005), cet. Ke-1, h. 70
[9] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet Ke-2, h. 52
[10] Hasbullah, op. cit., h. 64-64
[11] Menurut Abd Rahman Assegaf, orde lama ini bisa pula dipecah rnenjadi beberapa fase; yakni, fase Kemerdekaan (1945 s.d 1950), fase Demokrasi Liberal (1950 s.d 1959) dan fase Demokrasi Terpimpin (1959 s.d 1965). Lihat : Internasionalisasi Pendidikan; Sketsa Perbandingan Pendidikan di Negara-negara Islam dan Barat, (Yogyakarta : Gema Media, 2003), h. 256 Bandingkan dengan Hasbullah, op. cit.. h. 70
[12]  Pasal 29 UUD 1945 tersebut berbunyi "bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan bahwa negara menjamin kemerdekaan atas tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing serta beribadah menurut agama dan kepercayaanya itu". Sebenarnya cukup panjang clan berliku jalan yang dilalui umat Islam dan para tokoh sebelum berdirinya Depag, dan laporan sejarah tentang itu rasanya ticlak cukup ruang untuk menjelaskannya di sini. Selengkapnya lihat : Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia; [edisi baru], (Jakarta : CV. Rajawali, 1983), cet. Ke-1, h. 13-30
[13] Pendidikan Agama yang dimaksud ada dua, pertama, pendidikan agama di sekolah­sekolah umum dan kedua, lembaga-lembaga khusus yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan yang di Indonesia dikenal adanya lembaga pendidikan pesantren, madrasah, dan perguruan tinggi Islam (IAIN/STAIN). Fuad Jabali clan Jamhari, MIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana flinu. 2002), h. 62-63
[14]  Haidar Putra Daulai, Op, cit., h. 4
[15]  Hasbullah, op. cit., h. 77
[16]  Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. Ke- 4, h. 358 dan Hasbullah, loc. cit
[17] Fuad Jabali, op. cit., h. 71 dan Usman Abu Bakar, op. cit., h. 73
[18] Maksum, Madrasah Sejarah clan Perkembangannya, (Jakarta Logos Wacana 11mu, 1999), h. 131
[19] Lihat al : Abd Rahman Assegaf, op. cit., h. 262
[20] Haidar Putra Daulai, op. cit., h. 5
[21] Sirajuddin Zar, Kebijaksanaan Pemerintah Orde Baru tentang Islam 1966-1987, (Padang, IAIN-IB Press, 2001), cet. Ke- I, h. 54
[22] Muhammad Wahyuni Nafis, dkk, op. cit., h. 529
[23] Hartono Mardjono, Politik Indonesia (1996-2003), (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), cet. Ke- 2, h. 46
[24] Abd Rahman Assegai, op. cit., h. 290
[25] Menurut Anwar Arifin, Wakil Ketua Komisi VI DPR-RI waktu itu, bahwa Undang­undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional), yang selama tiga bulan lebih (mares s/d juni 2003) telah menarik perhatian masyarakat seluruh nusantara. Undang-undang ini akhirnya disahkan oleh DPR-RI tanggal I I juni 2003 dan diundangkan (ditandatangani oleh presiders RI) tanggal 8 juli 2003. Anwar Arifin, Memahami Paradigms Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-undang SISDIKNAS, (Jakarta : Ditjen Bimbaga Islam Depag RI, 2003), cet. Ke- 3, h. i
[26] Lihat : Usman Abu Bakar, op. cit., h. 79
[27] Anwar Arifin, op. cit., h. 32
[28] Usman Abu Bakar, op. cit., h. 93

1 komentar:

Contact

Talk to us

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit. Dolores iusto fugit esse soluta quae debitis quibusdam harum voluptatem, maxime, aliquam sequi. Tempora ipsum magni unde velit corporis fuga, necessitatibus blanditiis.

Address:

9983 City name, Street name, 232 Apartment C

Work Time:

Monday - Friday from 9am to 5pm

Phone:

595 12 34 567

adam mudinillah. Diberdayakan oleh Blogger.

تابع

زائر

BARU

BARU

SALJU

صوري

رسائل هاتفية مجانية وتكسب نقاط

mico0355Widget> Sumber: http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/websites/2069063-cara-pasang-gadget-sms-gratis/#ixzz1ueREtT6R

Youk Kita Gabung dengan YM

Klik VSI Yusuf Mansur

Blogroll

EL-BANTANY IT SOLUTION (IT KONSULTAN-NETWORK-HOTSPOT-SERVICE KOMPUTER-SERVICE LAPTOP DAN NOTE BOOK-SERVICE PRINTER-PENYELAMATAN DATA-INSTALASI JARINGAN-RENTAL KOMPUTER-JASA PENGETIKAN)DAN MASIH BANYAK LAGI YANG LAIN DI JALAN SUDIRMAN NO 102 BATUSANGKAR-TANAH DATAR-SUMATERA BARAT (085379388533-085850374648-075271639)

مع بلدي

Blogger templates

Twitter

Iklan