ADAM MUDINILLAH
Pages
(Pindahkan ke ...)
home
Skripsi
▼
Pages - Menu
(Pindahkan ke ...)
Beranda
▼
Pages - Menu
(Pindahkan ke ...)
Beranda
▼
Jumat, 16 Maret 2012
Ilmu Kalam, Ilmu Tauhid Semseter II
MA’RIFATUL MA’AD (MENGENAL HARI AKHIR)
A. PENGERTIAN
Ma’rifatul Ma’ad merupakan bagian dari ruang lingkup yang membahas hari kemudian, tanda-tanda hari kemudian, nama-nama harinya dan hikmah beriman kepada hari kemudian tersebut.
B. Ma’rifatul Ma’ad
Hari kiamat adalah permulaan hancurnya alam ini, kemudian dibangkitkan semua manusia dari kuburnya untuk dikumpulkan di padang mahsyar, dan di sana mereka menunggu ketentuan tempat masing-masing sorga atau neraka.[1]
Yang dimaksud dengan hari kiamat (hari akhir) ialah hari kehancuran alam semesta. Segala yang ada di dunia ini akan musnah dan semua makhluk hidup akan mati. Selanjutnya alam berganti dengan yang baru disebut dengan alam akhirat.
Hal-hal yang berhubungan dengan hari kiamat ini antara lain adalah al-ba’ts (kebangkitan dari kubur), hisab (perhitungan amal baik dan buruk manusia yang dilakukan selama ia berada di dunia), al-shirath (jalan yang terbentang di atas punggung neraka), surga, dan neraka.[2]
Beriman kepada hari akhir adalah dipercayai dengan sepenuhya bahwa setelah alam dan segala isinya dihancurkn oleh allah SWT, dan semua makhluk akan mati, kemudian dibangkitkan dari alam kuburnya untuk diperhitungkan segala amal kebaikan dan kejahatan seseorang.
Hari akhirat merupakan hari pengadilan Tuhan di sanalah umat manusia merasakan kelezatan dari hasil usaha beramal shaleh dan menderita kepahitan akibat perbuatan jahatnya. Hari akhirat adalah hari yang dasyat dan penuh huru-hara.
Beriman kepada hari kiamat makudnya setiap mukmin wajib percaya (iman) dengan sebenar benarnya bahwa hari kiamat akan tiba.[3]
C. TANDA-TANDA HARI KIAMAT
Tanda-tanda hari kiamat terbagi menjadi dua yaitu tanda-tanda kiamat kecil (sugra) dan tanda-tanda kiamat besar (kubra)
Tanda-tanda kiamat kecil (sugra)
Ilmu agama diangkat maksudnya ilmu agama tidak diperhatikan lagi sebab dianggap tidak penting.
Kebodohan mewabah di mana-mana dengan nyata.
Perzinahan merajalela.
Semua jenis minuman keras dijual secara bebas dan para konsumennya tidak lagi merasa berdosa
Jumlah laki-laki lebih sedikit dibanding perempuan
Dibangkitkannya para dajal dan pendusta.
Banyaknya terjadi gempa bumi
Pembunuhan merajalela.
Tanda-tanda kiamat besar (kubra)
munculnya binatang aneh.
Keluarga iman mahdi.
Munculnya al-Masih dajjal (pengembala yang banyak dustanya) dajjal ini akan berusaha agar manusia berpaling dari agama yang benar .
Turunya Nabi a.s seperti telah kami kemukakan dimuka, Nabi Ia akan memimpin kaum mukmin membunuh dajjal.
Keluarnya bangsa ya’juj dan ma’juj hidup di zaman Raja Zulkarnain). Mereka yang gemar brbuat kerusakan dan membuat keributan mengakibatkan morat-marit pemerntahan pada waktu itu.
Mengepulnya asap hingga memenuhi jagad raya ini, dan asap itu singgah di bumi selama empat puluh hari.
Rusaknya ka’bah, yang marusakkan adalah seorang laki-laki dari habsyi (Etiopia)
Raibnya al-Quran dan mushaf
Seluruh manusia di dunia menjadi kafir[4]
D. NAMA-NAMA HARI AKHIR
Adapun nama-nama hari akhir sebegai berikut:
Yaumul akhir
Adalah hari yang terakhir dimana ditetapkan padanya nasib seluruh makhluk, maka ada yang kesurga dan ke neraka.
Q.S Al-Baqarah: 8
Artinya: Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian[22],” pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.
Yaumul Qiyamah
Adalah hari ketika seluruh umat manusia berdiri menghadap Allah SWT.
Q.S Al-Baqarah: 82
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya.”
Yaumul hasroh (hari penyesalan)
Adalah di hari itu mereka menyesali kelalaiannya dalam melaksanakanhak Allah dan hak diri mereka maupun hak orang lain.
Q.S Maryam:39
Artinya: Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara Telah diputus. dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak beriman.
Yaumul ba’ats (hari berbangkit)
Allah membangkitkan seluruh manusia, untuk di mintai pertanggung jawaban tentang amal perbuatannya selama mereka hidup di dunia.
Q.S ar-rum:56
Artinya: “Dan Berkata orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir): “Sesungguhnya kamu Telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah, sampai hari berbangkit; Maka inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu tidak meyakini(nya).”
yaumul hisab(perhitungan)
Adalah hari dimana segala amal perbuatan manusia diperhitungkan.
Q.S As-Shaad : 16
Artinya: Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami cepatkanlah untuk kami azab yang diperuntukkan bagi kami sebelum hari berhisab”.
yaumul din(hari pembalasan)
Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya.
Q.S al-Fathihah : 4
Artinya:“ Yang menguasai di hari Pembalasan”
yaumul haq (hari pasti terjadi)
Karena dia pasti terjadi dengan sebenarnya dan pada hari itu segala persoalan akan diselesaikan dan dipertanggung jawabkan dengan sebenarnya.
Q.S Al-haqqah : 1-3
Artinya:
1. Hari kiamat[1501],
2. Apakah hari kiamat itu?
3. Dan tahukah kamu apakah hari kiamat itu?
[1501] Al Haaqaah menurut bahasa berarti yang pasti terjadi. hari kiamat dinamai Al Haaqqah Karena dia pasti terjadi.
Yaumul jami’i (hari berkumpul)
Dimana seluruh manusia yang terdahulu dan yang terakhir akan berkumpul, yang siapa pun tidak dapat menghidar.
Q.S Asy-Syuraa: 7
Artinya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh- tumbuhan yang baik?
Yaumul khulud (hari kekekalan)
Q.S Qaaf: 34
Artinya: Masukilah syurga itu dengan aman, Itulah hari kekekalan.
Yaumul fasli (hari keputusan)
Q.S Ad-Dukhan : 40
Artinya: Sesungguhnya hari Keputusan (hari kiamat) itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya,
Yaumul fathi( hari kemenngan)
Hari dimana orang-orang mukmin memperoleh keberuntungan yang nyata, jelas dan juga Allh memberikan pertolongan kepada orang-orang yang beriman.
Q.S As-Sajadah : 29
Artinya: Katakanlah: “Pada hari kemenangan[1196] itu tidak berguna bagi orang-orang kafir, iman mereka dan tidak pula mereka
Yaumul kabir (hari yang besar)
Karena lama waktunya, luar ukurannya dan peristiwa-peristiwa yang terkandung paanya, akan tetapi pengumpulan, perhitungan amal, siksanya adalah besar dan pahalanya pun besar.
Q.S Huud : 3
وأن استغفروا ربّكم ثمّ توبوا إليه يمتعكم متاعا حسنا إلى أجلٍ مّسمّى ويؤت كلّ ذي فضل فضله, وإن تولّوا فإنى أجاف عليكم عذاب يوم كبير
Artinya: Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang Telah ditentukan dan dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.
Yaumul atsir (hari yang sulit)
Bagi orang-orang kafir, dihari itu tiada kebajikan bagi mereka, tiada rahmat, tiada kasih dan iba terhadap merka, mak bagi mereka hari itu adalah hari yang sia-sia.
Q.S Al-Mudatsir : 9
فدلك يومئد يوم عسير
Artinya: Maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit[5],
D. HIKMAH BERIMAN KEPADA HARI AKHIR
Adapun hikmah beriman kepada hari akhir adalah:
Menyadarkan manusia bahwa hari akhir sebagai kehidupan yang hakiki bagi manusia.
Menyadarkan manusia bahwa kehidupan di hari akhir merupakan tujuan setiap manusia yang hidup di dunia.
Menjadikan manusia bersikap hati-hati dalam hidup di dunia sehingga akan selalu taat kepada petunjuk-petunjuk agama dan membatasi diri terhadap keenangan hidup di dunia.
Mendorong manusiah untuk sebanyak mungkin berbuat baik dan meninggalkan perbuatan manusia.
Berusaha menjadi manusia yang baik selama hidup yaitu bebakti kepada Allah SWT, kepada kedua orang tua dan berbuat baik terhadap sesama manusia.[6]
Dapat menambah keyakinan kita terhadap kekuasaan Allah.
Menambah motivasi seseorang untuk lebih giat dalam meningkatkan amal sholeh dan meninggalkan perbuatan maksiat dan tetap bertindak sesuai dengan ajaran Allah dan mencari keridhoan-Nya[7]
Ma’rifatul mabda’
DALIL-DALIL KEBERADAAN (WUJUD, EKSISTENSI) ALLAH SWT
Untuk membuktikan keberadaan Allah swt, paling tidak digunakan tiga dalil (bukti) yang bisa mendukung dan menguatkan bahwa Allah swt itu ada. Dalil itu adalah dalil Naqli, Aqli dan Fitrah. Ini juga sebagaimana penegasan Allah di dalam al-Qur’an sendiri:
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushilat (41): 53)
1. Dalil Fitrah
Manusia sejak masih berada dalam alam ruh (arwah) telah ditanamkan benih iman, kepercayaan dan penyaksian (syahadah) terhadap keberadaan Allah swt. Dalam QS al-A’raf (7): 172 Allah menegaskan:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS al-A’raf: 172)
Benih keyakinan terhadap eksistensi Allah merupakan fitrah atau sesuatu yang bersifat kodrati. Dan karena bertuhan itu merupakan fitrah manusia, maka tepatlah kiranya kalau Mircea Eliade mensifatinya sebagai ‘homo religious atau naturalier religiosa. Fitrah inilah yang menjadi daya pendorong pertama untuk mengenal dan mendapatkan Allah swt.
Adapun yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan manusia disertai dengan berbagai macam naluri, termasuk di dalamnya naluri bertuhan, naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid karena pengaruh lingkungan (Depag RI, al-Quran dan terjemahnya: 645). Ali Issa Othman menjelaskan bahwa arti fitrah tidak lain adalah inti dari sifat alami manusia, yang secara alami pula ingin mengetahui dan mengenal Allah swt (Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali: 28). Sementara Yasien Muhammad menerangkan bahwa, karena fitrah allah dimasukan dalam jiwa manusia maka manusia terlahir dalam keadaan dimana tauhid menyatu dengan fitrah. Karena tauhid menyatu dengan fitrah manusia maka para nabi datang untuk mengingatkan manusia pada fitrahnya dan untuk membimbingnya kepada tauhid yang menyatu dengan sifat dasarnya (Yasien Muhammad: 21). Ali bin Abi Thalib ra menyatakan bahwa para nabiyullah diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhi perjanjian tersebut. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena allah dipermukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Fitrah bertuhan inilah yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dinamakan God Spot atau titik Tuhan (Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelegence – The Ultimate Intelegence, 2000: 79). Fitrah ini gejalanya secara universal dapat diamati cukup signifikan di sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia. Dan fitrah bertuhan ini akan semakin bertambah jelas bila dikaji lewat kajian filsafat, suatu kajian yang didasarkan pada pemikiran yang kritis, radikal, koheren, spekulatif, rasional lagi konprehensif untuk mendapatkan apa yang disebut hakekat.
2. Dalil Aqli
Fitrah bertuhan dalam arti keinginan untuk mengetahui dan mengenal Allah, yang kemudian didukung oleh akal fikiran yang kritis dan radikal akan melahirkan kegairahan yang luar biasa untuk menatap dan menguak ayat-ayat Allah yang tergelar dalam jagad raya. (QS Fushilat (41): 53, al-Ghasyiah (88): 17-22, al-Waqi’ah (56): 63-65, 68-72, al-Mulk (67): 30, al-Anbiya (21): 30-33). Renungan manusia dengan menggunakan akal fikiran yang kritis disertai dengan pengamatan intuisi yang halus dan tajam pasti akan membuahkan hasil semakin bertambah kuat keyakinannya (belief) bahwa sesunggunya jagat raya beserta seluruh isinya ini adalah makhluk Allah, yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta dengan penuh perencanaan dan bertujuan (QS al-Mukminun (23): 115 dan Ali Imron (3): 191).
Mengikuti apa yang diperintahkan Allah dalam QS Muhammad (47): 19 agar menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk membaca ayat-ayat Allah yang berupa ayat kauniyah guna memperoleh ‘belief’, keyakinan yang sudah tertanam dalam lubuk hati manusia, para filosof mengemukakan ada enam argumentasi pembuktian terhadap eksistensi Allah, yaitu:
a. Dalil Kosmologis
Dalil kosmologis adalah suatu pembuktian yang berhubungan dengan ide tentang kausalitas, sebab musabab (causality).
Plato dalam bukunya Timaeus mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi pasti dikarenakan dan didahului oleh suatu sebab. Kalau ada dua batang pohon yang berdiri berdampingan , dan salah satunya ada yang mati,orang akan beranggapan bahwa tentu ada sebab-sebab yang mengakibatkan adanya kejadian yang berlainan. Pohon yang mati pasti disebabkan oleh adanya penyakit, dan penyakit itu sendiri juga mempunyai sebab, dan begitulah seterusnya. Theo Huibers menyatakan bahwa tidak mungkin adanya suatu rangkaian sebab yang tak terhingga, oleh karena jika demikian halnya, memang tidak terdapat sebab yang pertama. Jika tidak terdapat sebab yang pertama, maka sebab yang kedua tidak terdapat juga, oleh karena seluruhnya tergantung dari sebab yang pertama. Jika tidak terdapat sebab yang kedua, maka tidak terdapat sebab yang ketiga, dan seterusnya, sehingga akhirnya harus dikatakan : tidak terdapat sebab yang pertama sama sekali. Dan ucapan ini memang salah (Theo Huibers, II: 84)
Jadi benda-benda yang terbatas (finite) rangkaian sebab-musabab akan berjalan secara terus menerus. Akan tetapi dalam logika rangkaian yang terus menerus seperti itu mustahil. Jadi dibelakang sebab-sebab yang merupakan rangkaian yang sangat komplek tentu ada sebab yang pertama, yang tidak disebabkan oleh sebab lain. Sebab yang pertama inilah yang dinamakan Tuhan. (M Rasyidi, Filsafat Agama, 1970: 54-55). Bandingkan dengan firman Allah dalam QS. At-Thur (52): 35, al-Waqiah (56): 58-59, 64-65, 68-69, dan 71-72, An-Nahl (16): 70-75, ar-rum (30): 20-25.
b. Dalil Ontologis
Argumen ontologis adalah pembuktian akan keberadaan Tuhan didasarkan pada hakekat yang ada. Argumen ini dipelopori oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idenya, St. Agustinus (354-430 M), al-Farabi (872-950), St. Anselm (1033-1109).
Menurut Anselm, manusia dapat memikirkan sesuatu yang kebesaranya tidak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada, konsep sesuatu yang maha besar, maha sempurna, sesuatu yang tidak terbatas. Zat yang serupa ini mesti mempunyai wujud dalamj hakekat, sebab kalau tidak memiliki wujud dalam hakekat dan hanya mempunyai wujud dalam fikiran, zat itu tidak mempunyai sifat yang lebih besar dan sempurna dari pada mempunyai wujud. Mempunyai wujud dalam alam hakekat lebih besar dan sempurna dari pada mempunyai wujud dalam alam fikiran saja. Sesuatu yang maha besar dan maha sempurna itu ialah Tuhan dan karena sesuatu yang terbesar dan paling sempurna tidak boleh tidak pasti mesti mempunyai wujud, maka Tuhan mesti mempunyai wujud. Dengan demikian, Tuhan pasti ada.
c. Dalil Teleologis
Dalil teleologis yaitu pembuktian tentang adanya Tuhan dengan berpedoman pada konsep keterpolaan (desain) di dalam alam semesta yang membutuhkan ‘desainer’. William Paley menyatakan bahwa di dalam dunia yang konkrit kita melihat kompleksnya unsure-unsur dunia ini, akan tetapi terlihat sangat teratur sekali. Alam semesta menunjukan bentuk keteraturan itu, dimana planet-planet yang bertaburan namun tidak saling berbenturan satu sama lainya. Hal ini menunjukan adanya kekuatan maha Dahsyat yang menciptakan dan mengendalikannya. Alam semesta merupakan karya seni terbesar yang menunjukan adanya ‘A Greater Intellegent Desaigner’, yaitu Tuhan. Tegasnya ‘langit menceritakan kemulian Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya’. Perhatikan firman Allah dalam QS as-Shaffat (37): 6 dan Qaf (50): 6.
d.Dalil Fenomenologis
Dalil fenomenologis yaitu pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan mengacu pada rahasia-rahasia fenomena yang terjadi di alam semesta. Fenomena yang terjadi di alam semesta ini dari makhluk yang terkecil sampai alam yang membentang luas, semuanya menyngkapkan rahasia akan keberadaan Tuhan. Argumen ini dikemukakan oleh Sa’id Hawwa dalam bukunya Allah Jalla wa Jalaluhu.
1) Fenomena terjadinya Alam. Setiap sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan, begitu alam semesta ini, tentu ada yang menciptakan. Lihatlah gunung hijau yang kokoh bediri, aliran sungai yang kesemuanya bermuara ke laut, langit yang tegak tanpa tiang, planet beredar penuh keteraturan, mungkinkah kesemunya ada dengan sendirinya? “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi itu”. (QS at-Thur: 35-36)
2) Fenomena Kehendak yang tinggi. Jika saja presentase oksigen 5% lebih dari udara, bukan 21 %, maka semua materi yang bisa terbakar yang ada di bumi ini, segera saja terbakar. Karena andaikan bunga api pertama yang ada pada kilat itu menimpa pohon niscaya segera menghapus seluruh hutan. Andaikan persentase oksigen 10%, sulit untuk dibayangkan peradaban manusia bisa seperti ini. Apakah persentase oksigen suatu kebetulan? Renungkanlah, siapa yang mengatur dan memformulasaikan agar kadar oksigen di udara 21 % sehingga ada kehidupan di bumi ini. Bukankah hal ini menunjukan adanya kehendak yang agung yang bersumber dar Zat Mahapintar dan Maha bijaksana, bahwa dia berkehnadak menentukan segala sesuatu sebagai ketetapan yang terbaik.(QS Ali Imron (3): 190).
3) Fenomena Kehidupan. Kehidupan berbagai makhluk di atas bumi ini menunjukan bahwa ada Zat yang menciptakan, membentuk, menentukan rizkinya dan meniup ruh kehidupan pada dirinya (QS Al-Ankabut: 20, Al-anbiya: 30). Bagaimanapun pintarnya manusia, ia tak akan sanggup menciptakan seekor lalat pun (QS al-hajj: 73-74).
4) Fenomen Petunjuk dan Ilham. Hal apakah yang mendorong seekor ayam betina membolak-balikan telur yang sedang dieraminya, agar anak-anak ayam yang sedang mengalami proses di dalam telur tidak mengalami pengendapan? Dengan cara itulah generasi ayam tetap lestari sampai saat ini. Siapa yang mengajarinya untuk melakukan hal itu? Bukankah di sana ada hidayah yang sempurna untuk mempertahankan kelangsungan jenis dari Zat Yang Maha Mengetahui ciptaan-Nya. “Musa berkata: tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadianya, kemudian memberinya petunjuk”. (QS Thaha: 50).
5) Fenomena Hikmah. Mengapa bibir-bibir unta terbelah? Banyak hikmah di balik ini, di antaranya adalah untuk membantunya memakan tumbuh-tumbuhan padang pasir yang berduri dan keras. Kakinya pun sesuai dengan daerah berpasir, sehingga ia tak mengalami kesulitan. Bulu matanya yang panjang bagaikan jaring, bisa melindungi kedua matanya dari debu-debu yang bertebaran. Ponggoknya berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan karena harus mengarungi padang pasir. Berjuta penciptaan segala sesuatu di bumi ini menunjukan adanya Allah Yang Maha hikmah. “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya?” (QS Yusuf: 105)
6) Fenomena Pengabulan Do’a. Manusia yang penuh kelemahan akan menemui saat-saat di mana ia tidak mungkin bergantung pada siapa pun kecuali Allah. Baik muslim mapun kafir, ketika menghadapi hal-hal yang membahayakan, pasti akan berdoa. Saat doa dikabulkan, adalah saat seharusnya manusia merenung tentang siapa yang mendengar doa dan mengabulkanya (QS. (17): 67, (10): 22-23)
e. Dalil Historis
Dalil histories (sejarah) adalah pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan berpegang pada sejarah perjalanan hidup manusia dari dahulu hingga sampai saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan keagamaan. Hubungan manusia dengan Tuhan dapat dilihat dari kehidupan keberagamaan yang paling sederhana hingga kehidupan keberagamaan yang paling komplek sekalipun, walaupun dalam perjalanannya banyak terjadi penyimpangan, ini membuktikan bahwa peran Tuhan dalam kehidupan manusia sangat dominan. Penelusuran tentang sejarah pengembaraan manusia dalam pencarianya menggapai Tuhan, dapat ditemukan dalam bukunya Karen Amstrong A History Of God: 4000 – Year Quest of Judaism, Christianity, and Islam (Sejarah Tuhan: 4000 Tahun Pengembaraan Manusia Menuju Tuhan).
f. Dalil Moral
Dalil moral yaitu pembuktian adanya Tuhan dengan berpegang pada pengandaian adanya hukum moral umum yang memperlihatkan adanya ‘Penjamin Moral’ (Law Giver). J.H. Newman menyatakan bahwa adanya kesadaran manusia untuk melakukan perbuatan yang utama semata-mata didorong oleh suara hati (kata hati, hati nurani, hati kecil, insane kamil), atau menurut istilah Immanuel Kant disebutnya ‘kategoris imperatif’. Tiap-tiap orang pasti mengalami pada dirinya sendiri, bahwa terdapat perbuatan-perbuatan yang tidak diperbolehkan. Berkat suara hati manusia merasa sungguh-sungguh bertanggung jawab atas tindakanya, dan lagi pula mempunyai kesadaran bahwa ia tidak boleh bertindak melawan keyakinan moralnya. Menurut Newman, dalam hati senantiasa terdengar suara Allah secara eksistensial, yang tak masuk akal adanya perintah moril ini, kalau tidak terdapat Hakim yang Tertinggi, yang mengesahkan perintah moral tersebut (Huijbers: 97-98). Inilah alasanya mengapa suara batin rakyat disebutnya sebagai suara Tuhan, ‘Vox Populi Vox Dei’. Bandingkan dengan firman Allah QS as-Syams (91): 8.
3. Dalil Naqli
Dalil naqli adalah dalil pembuktian akan keberadaan dengan merujuk petunjuk kitab suci. Dengan fitrah, manusia bisa mengakui adanya Tuhan, dan dengan akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli (al-Qur’an dan as-Sunnah) untuk membimbing manusia mengenal Tuhan yang sebenarnya dengan segala asma dan sifat-Nya. Sebab fitrah dan akal tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan sebenarnya itu.
Cukup banyak pembahasan tentang Allah swt di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, hanya saja di sini dikemukakan beberapa point penting saja, yaitu:
a. Allah adalah al-Awwal, yaitu tidak ada permulaan bagi wujud-Nya dan juga al-Akhir, yaitu tidak ada akhir dari wujud-Nya.
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
`
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS al-Hadid [57]: 3)
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
`
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
`
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS ar-Rahman [55]: 26-27)
b. Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
`
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS as-Syura [42]: 11)
c. Allah swt adalah Maha Esa.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
`
اللَّهُ الصَّمَدُ
`
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
`
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
`
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS al-Ikhlas [112]: 1-4)
Selain ayat di atas, di dalam al-Qur’an dinyatakan dalam banyak ayat antara lain: QS al-baqarah [2]: 133, 163, An-Nisa [4]: 171, al-Maidah [5]: 73, al-An’am [6]: 19, al-A’raf [7]: 70, at-Taubah [9]: 31, Yusuf [12]: 39, ar-Ra’d [13]: 16, Ibrahim [14]: 48, 52, An-nahl [16]: 22, 51, Al-Isra [17]: 46, al-Kahfi [18]: 110, al-Anbiya’ [25]: 108, al-hajj [22]: 34, al-Ankabut [29]: 46, as-Shaffat [37]: 4, shad [38]: 5, 65, az-Zumar [39]: 4, 45, Ghafir [40]: 12, 16, 84, Fushilat [41]: 6, al-Mumtahanah [60]: 4, al-Ikhlas [114]: 1.
d. Allah mempunyai al-Asma’ wa shiffat (nama-nama dan sifat-safat) yang disebutkan untuk diri-Nya di dalam al-Qur’an serta semua nama dan sifat yang dituturkan untuk-Nya oleh rasulullah saw dalam sunnahnya.
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
`
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS al-A’raf [7]: 180).
B. TAUHID: KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
1. Pengertian Tauhid
Istilah tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal. Dilihat dari arti bahasa tauhid bermakna menunggalkan atau megesakan. Sedangkan kalau dilihat dari arti istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik dari segi zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya (af’al).
Pengertian tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid I’tiqadi ‘ilmi (keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid I’tiqadi amali suluki (keyakinan yang bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud atau bentuk tauhid yang bersifat teoritis berupa ma’rifat (pengetahuan), I’tiqadi (keyakinan), dan itsbat (pernyataan). Sedangkan wujud tauhid yang bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), al-qashdu (tujuan) dan al-iradah (kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan sesorang tidak dapat diterima disisi allah selama tidak mentauhidkan Allah secara teoritis dan secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan; 19).
Meyakini terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian mengakui terhadap apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat firman-Nya yang terdapat dalam al-qur’an al-karim. Oleh karena itu kalau dalam mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah, pengakuan seperti itu dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya, atau sering disebut sebagai iman yang tidak sempurna (naqish). Iman atau pengakuan yang sempurna (tammah) kalau di dalamnya terdapatv tiga unsure yang bulat dan padu, yaitu meyakini dalam hati (tashdiqun bi al-qalbi), diikrarkan dengan ucapannya (iqrarrun bi al-lisani), serta diamalkan dengan tindakan yang konkret dan real (amalun bi al-arkani).
2. Paradigma Keyakinan Tauhid
Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid sifatiyah (al-asma’ was-shifat).
a. Tauhid Rububiyah
Istilah rabb dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang majemuk. Menurut Abul A’la al-Maududi ia dapat bearti antara lain mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki, memimpin, mengepalai dan memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 37-40). Sedangkan Qardhawy mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan penguasa seleuruh alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata rabb mencakup semua pengertia sebagaimana di bawah ini:
1) Pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya.
2) Pembimbing yang menjamin tersedianya segala kebutuhan dan yang bertugas mengurus soal pendidikan dan pertumbuhan.
3)Pengasuh, penjaga, dan yang bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki keadaan.
4)Pemimpin yang dijadikan kepala, yang bagi anak buahnya tak ubah sebagi pusat tempat mereka berhimpun di sekelilingnya.
5)Pemuka yang ditaati, kepala dan pemilik kekuasaan mutlak, yang putusanya dipatuhi dan kedudukan serta ketinggianya diakui serta berwenang untuk memilih dan menentukan kebijaksanaan.
6) Raja yang dipertuan.
Dengan mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas, maka yang dimaksud dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh isinya (rabbul ‘alamain). Allah adalah satu-satunya zat yang mencipta, mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia (rabbun nas), Allah satu-satunya Zat yang mencipta semua makhluk yang ada di jagad raya ini. Dia ciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan penuh perencanaan (QS Ali Imron (3): 191), dan diciptakan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan kemauan (iradah) dan kekuasan (qudrat)-Nya semata-mata.
b. Tauhid Mulkiyah
Kata malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki berakar dari akar kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah raja dari sesuatu yang dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada orang lain, apalagi menjualnya. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt sebagai rabb yang memilki alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini allah swt adalah malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan bahwa allah swt adalah pemilik dan raja langit dan bumi dan seluruh isinya. Misalnya QS al-Baqarah (2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan sebagainya.
Pada hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauihid rububiyah. Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan kekuasaan-Nya, dan sama sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain, maka sudah barang tentu apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah mutlah milik-Nya. Oleh karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah satu-satunya raja yang menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh isinya), maka kita harus mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali), penguasa yang menentukan (hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah).
a) Tidak ada Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin kecuali hanya Allah (La Waliya Illallah)
Ini adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah raja. Bukanlah raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia, maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja symbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (ceremonial) belaka yang sangat tidak menentukan system kehidupan atau system pemerintahan. Seorang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau karena sudah tinggal di istana, bukan. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila berfungsi sebagai pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia yang akan menyelesaikan. Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemimpin orang-orang yang beriman, diantaranya adalah QS al-baqarah (2): 257, al-Maidah (5): 55, dan An-Nisa (4): 59.
b) Tidak ada Penguasa Yang Menentukan (Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima Illallah)
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru fungsional sebagai pemimpin bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan hukum, yang berkuasa, yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai wali haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainya.
Allah swt menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-qur’an bahwa hak yang menentukan hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-An’am (6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, zalimun, dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS Al-maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau tidak melaksanakanya, karena menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut zalim manakala merugikan oran lain.
c) Tidak ada Yang Pantas Menjadi Tujuan (Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata Illallah)
Bila Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang menentukan), maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus) kita (QS al-An’am (6): 162).
c. Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari al-ilahu, artinya al-ma’luh yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad Shalih, Prinsip-prinsip dasar Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya. Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27). Sementara Yusuf Qardhawy sendiri mendifinisikan tauhid uluhiyah dengan singkat sekali, yaitu pengesaan Allah swt dalam peribadatan, kepatuhan dan ketaatan secara mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987: 22).
d. Tauhid Sifatiyah (al-Asma’ wa al-Sifat)
Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.
Menurut Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid sifatiyah, yaitu metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari):
1) Metode itsbat maksudnya mengimani bahwa Allah swt memiliki al-asma’ was-sifat (nama-nama dan sifat-sifat) yang menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya: Allah swt Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-lain.
2) Metode nafyu maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma was-shifat yang menunjukan ketidaksempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah swt, atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt dan lain-lain.
Para ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti sunnah rasulullah, pandangan para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan oleh rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11).
Sehubungan dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara lebih khusus, yaitu:
1) Janganlah memberi nama Allah swt dengan nama-nama yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Lihat QS al-A’raf (7): 180.
2) Janganlah menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt, sifat-sifat dan af’al (perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS as-Syura (42): 11, al-Ikhlash (112): 1-4.
3)Mengimani al-Asma’ was-shifat bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan “bagaimana”nya (kaifiyat).
4)Dalam satu hadis disebutkan bahwa Allah swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari, Muslim). Sementara dalam riwayat Tirmizi disebutkan ke-99 nama tersebut.
5) Di samping istilah al-Asma’ al-husna ada lagi istilah “ismullah al-a’zam” yaitu nama-nama allah swt yang dirangkai dalam do’a. Rasulullah saw mengatakan bahwa siapa yang berdoa dengan ismullah al-a’zam, do’anya akan dikabulkan, permintaanya akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan Ibn majah).
C. MAKNA KANDUNGAN DUA KALIMAT SYAHADAT
1. Pengertian Syahadat:
Kata asyhadu berakar dari kata sya-ha-da yang berarti saya bersyahadat. Dalam bahasa arab kata ini berbentuk fi’il mudhari’ atau setara dengan present continuous tense dalam bahasa inggris. Hal ini menunjukan suatu aktivitas yang sedang berlangsung dan belum selesai. Kata syahadah secara etimologis yang mempunyai tiga pengertian, yaitu musyahadah atau al-‘ahd (menyaksikan atau perjanjian) lihat QS al-Muthaffifin (83): 21, Ali Imron(3): 18, syahadah atau Iqrar (kesaksian atau pengakuan, pernyataan) lihat QS at-Thalaq (65): 2, Ali Imron (3): 18, dan half (sumpah) lihat QS al-Munafiqun (63): 1, An-Nur: 6.
a. Iqrar atau al-I’lanu/Pengakuan/ pernyataan (QS. Ali Imron (3): 64
Seseorang saat memasuki pintu gerbang Islam mengiklankan, menyatakan bahwa tidak ada ilah selain allah dan Muhammad adalah rasul allah. Kata-kata ini bukan saja syarat makna, namun juga demikian berat dan tinggi konsekuensi yang ada di belakangnya, antara neraka dan syurga, antara azab yang pedih atau kenikmatan yang abadi.
Secara subtansial kalimat syahadat adalah pernyataan iman kepada Allah dan rasulnya, sekaligus pengukuhan Allah sebagai satu-satunya ilah dan Muhammad saw sebagai satu-satunya uswah (teladan). Kata-kata perjanjian ini diikrarkan agara secara sosial segera terbedakan antara pengikut Allah dan pengikut thagut (syaitan), siapa yang meyakini dan siapa yang tidak percaya akan kerasulan Muhammad saw, siapa yang beriman dan siapa yang kafir.
b. Al-Wa’du (janji) (QS (7): 172)
Syahadah merupakan sebuah perjanjian. Jika seseorang berjanji, selama janji itu belum terealisasikan maka seharusnya ia merasa berhutang, sebab janji adalah hutang dan hutang harus dibayar. Jika seseorang tidak dikejar merasa bersalah ketika ia tidak memenuhi janjinya, maka ia memilki cirri orang munafik. Sebagai konsekuensi dari janjinya maka ia haruslah beramal.
c. Qasamu (sumpah) (QS (6): 162-163)
Makna syahadah yang lain adalah al-qasamu (sumpah). Ini berarti dengan melafazkan syahadatain, kita bersumpah untuk menjadikan Allah saja sebagai ilah dan rasulullah saw sebagai qudwah (contoh).Sumpah lebih berat dari sekedar pernyataan dan janji. Maka seorang muslim terikat dengan sumpah yang diikrarkannya secara sadar, dengan segenap konsekuensi yang ada di belakangnya. Di antara konsekuensi itu adalah pengamalan kalimat yang secara berulang kita ucapkan dalam shalat: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku (hanyalah) untuk Allah, rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya”. (QS (6): 162-163).
Jalan menegakan sumpah ini bukanlah jalan yang mudah dan mulus, melainkan merupakan jalan takwa yang sukar dan mendaki. Surga tidak diperoleh secara mudah dengan hanya menjalankan ibadah mahdhah (khusus) lalu mengabaikan totalitas ibadah. Surga diberikan hanya untuk orang-orang yang diridhai-Nya, orang-orang yang teruji keimanannya, teruji cintanya kepada Allah dan rasul-nya, orang-orang yang berjuang di jalan-Nya (QS. Al-baqarah (2): 214).
Menurut Yunahar Ilyas, bahwa antara ketiga pengertian di atas terdapat relevansi yang kuat, yaitu sesorang akan bersumpah bila dia memberi kesaksian, dan dia akan memberi kesaksian bila ia menyaksikan. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian etimologis di atas maka syahadat seseorang harus mencakup ketiga pengertian di atas, yaitu musyahadah (dengan hati dan pikiran), syahadah (dengan lisan), dan half (dengan menghilangkan segala keraguan).
Adapun secara istilah, syahadah merupakan suatu pernyataan, janji, sekaligus sumpah untuk beriman kepada Allah dan rasulnya dengan membenarkan di dalam hati (at-tasdiqu bil qalbi), dinyatakan dengan lisan ( al-qaulu bil lisan) dan dibuktikan dengan perbuatan (al-amalu bil arkan).
2. Kandungan Kalimat Syahadat
Kalimat syahadat mempunyai dua kandungan pengertian yaitu syahadah uluhiyah dan syahadah risalah. Kedua syahadah tersebut tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena merupakan satu kesatuan.
a. La Ilaha Illallah (Syahadah uluhiyah)
Untuk menerjemahkan iqrar la ilah illallah ke dalam bahasa Indonesia kita harus terlebih dahulu memahami susunan kalimatnya, yaitu:
لَا إِلَهَ إِلَّا َ اللَّهُ
La (
لا
) yang terdapat pada awal iqrar tersebut adalah la nafiya liljinsi, yaitu huruf nafi yang menafikan segala macam jenis ilah (
اله
, tuhan). Illa (
الاّ
) adalah huruf istisna (pengecualian) yang mengecualikan Allah dari segala macam jenis ilah (tuhan) yang dinafikan. Bentuk kalimat seperti ini dinamakan kalimat manfi (negatif) lawan dari kalimat mutsbat (positif). Kata illa berfungsi mengitsbatkan kalimat yang manfi. Dalam kaidah bahasa Arab, itsbat (kalimat positif) sesudah nafi (kalimat negatif) itu mempunyai maksud al-hashru (membatasi) dan taukid (menguatkan). Dengan demikian kalimat tauhid ini mengandung pengertian “sesungguhnya tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut Tuhan selain Allah swt”.
Dengan memahami pengertian kalimat tauhid di atas, KHR. Hadjid merumuskan bahwa pernyataan ‘La ilaha illallah’ pada hakekatnya mengandung empat sikap sebagai konsekuensinya, yaitu:
Tidak ada ilah, sesuatu yang dipertuhankan, yang berhak dicintai kecuali hanya cinta kepada Allah semata (la hubban illallah).
Tidak ada ilah, sesuatu yang dipertuhankan, yang berhak ditakuti kecuali hanya takut kepada allah semata (la khasyatan illallah).
Tidak ada ilah, sesuatu yang dipertuhankan, yang berhak ditaati kecuali hanya taat kepada Allah semata (la tha’atan illallah).
Tidak ada ilah, sesuatu yang dipertuhankan, yang berhak diagungkan dan disembah kecuali hanya menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah semata (la ‘ibadatan illallah).
1) La Hubban Illallah
Secara fitrah dihiaskan pada diri manusia mencintai berbagai macam kecintaan, seperti mencitai suami/istri, anak pinak, mencintai kedua orang tua, saudara dan sanak kerabat, mencintai harta benda, binatang ternak, sawah ladang, rumah, harta perniagaan, serta barang-barang lainnya seperti yang digambarkan dalam QS Ali Imran (3): 14, at-taubah (9): 24, al-Baqarah (2): 165 dan sebagainya.
Kecintaan terhadap berbagai hal seperti yang tergambar di atas dalam konsep Islam termasuk dalam kategori mata-ul-hayati-d-dunya, berbagai hiasan hidup keduniaan, dan oleh al-Qur’an dikategorikan sebagai mataul ghurur, kesenangan yang menipu, suatu kesenangan yang tidak akan dapat mendatangkan kepuasan hakiki dan lestari. Dalam QS al-hadid (57): 20, Allah menyatakan dengan tegas: “Ketahuilah, bahwasanya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan”.
Kesenangan yang bersifat duniawi, apapun wujudnya pada suatu ketika pasti akan berpisah dan meninggalkan siapa pun yang mencintai atau yang dicintainya. Dalam hal ini perlu disimak hadis rasulullah saw sebagai berikut:
Datanglah malaikat Jibril kepada nabi saw seraya berkata : Wahai Muhammad, hiduplah sesuka hatimu, tetap (ingatlah) engaku pasti akan mati. Berbuatlah sekehenadakmu, tetapi (ingatlah) engkau pasti akan dibalas sesuai sesuai dengan amal perbuatanmu. Cintailah apa dan siapa pun yang engkau cintai, tetapi (ingatlah) engkau pasti akan berpisah dengannya”. (Hadis dari sahal bin said ra).
Perpisahan antara yang mencintai dengan yang dicintai merupakan suatu keniscayaan selama yang dicintainya adalah makhluk. Karena semua makhluk bagaimanapun wujudnya pasti mengalami kehancuran dan kepunahan (QS al-Qasas (20): 88.
Ajaran Islam membenarkan seseorang untuk mencintai berbagai hal yang bersifat keduniaan, yang dalam terminolgi al-qur’an disebut dengan istilah al-malu wal banun. Namun sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS al-Qasas (28): 88, kecintaan seorang muslim terhadap hal-hal seperti di atas haruslah diletakan jauh dibawah kecintaanya terhadap Allah (dan rasul-Nya). Sebaliknya Allah akan mengancam kepada setiap muslim yang menempatkan sesuatu melebihi kecintaanya terhadap Allah (dan rasul-Nya) dengan ancaman yang sangat menakutkan (QS at-taubah (9): 24.
Konsisten dengan hasil penghayatan kritisnya bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang mencipta seluruh alam semesta, mengasuh, memelihara, menjaga, dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang, yang menganugerahkan seluruh alam semesta untuk kepentingan dan kemanfaatan manusia semata-mata (QS al-Baqarah (2): 29), maka tiadak ada sikap lain bagi setiap muslim kecuali mencurahkan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah di atas segala-galanya. “Adapun orang-orang yang beriman teramat cintanya kepada Allah” (QS al-baqarah (2): 31)
2)La Khasyatan Illallah
Konsekuensi yang kedua terhadap ikrar la ilah illallah adalah menetapkan bahwa tidak ada Tuhan yang pantas dan wajib ditakuti kecuali hanya takut kepada Allah semata-mata (QS at-Taubah (9): 13). Makna takut kepada Allah sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur’an maupun hadis bukanlah dalam arti takut kepada Allah yang dihayatinya sebagai sosok pribadi yang angker, mengerikan, menyeramkan, dan menakutkan, sehingga bagi siapa pun akan merasa ngeri dan kehilangan daya dan akalnya bila berada di dekat-Nya. Kalau penghayatan dan perasaan seperti ini yang muncul sudah barang tentu siapa pun akan berusaha untuk menghindar, lari dan menjauhkan diri daripada-Nya.
Konsep takut (al-khasyah atau khauf) dalam Islam harus dipahami secara bersama-sama dengan pemahaman terhadap konsep cinta , khubb dan pengharapan (thama’an) (QS as-Sajadah (32): 16). Kalimat khaufan wa thama’an, takut dan harap menggambarkan sikap di satu sisi ia takut dan gentar karena berhadapan dengan Allah, Zat Yang Maha perkasa, Maha Kuasa lagi maha Wibawa, Zat yang memancarkan kewibawaan-Nya yang tak terhingga sehingga ketertundukan dan kepatuhan semata yang ia perlihatkan. Sedangkan pada sisi lain ia penuh rasa cinta dan berpengharapan agar dirinya diperkenankan untuk mendekat, dipandang, dan diperhatikan serta diajak berbicara dengan penuh rasa kasih sayang dan kelembutan, disucikan dari berbagai noda dan dosa yang menempel pada dirinya. Sebaliknya ia takut dan mencemaskan dirinya kalau-kalau Allah sampai tidak berkenan pada dirinya karena prilakunya yang melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, mensikapi dirinya sebagaimana Dia mensikapi terhadap orang-orang yang mengingkari-Nya (QS Ali Imron (3): 77.
Dengan memahami makna takut seperti ini, maka yang dimaksud dengan takut (khasyah) kepada Allah adalah takut terhadap murka-Nya, takut terhadap azab-Nya yang meluluh-lantakan seluruh dirinya, takut terhadap api neraka-Nya yang sangat dahsyat dan mengerikan (QS al-Furqan (25): 65, 66, An-nahl (16): 106, an-Nur (24): 37, az-Zumar (39): 13, dan Ibrahim (14): 27-28).
Seorang muslim sudah seharusnya senantiasa berpedoman takut pada pengertian khaufan wa thama’an atau takut dan harap dalam setiap langkah dan perbuatanya dalam arti apakah pekerjaan yang akan dilakuaknnya akan mengakibatkan terkena murka dan laknat Allah atau justru akan mendapatkan ridha dan rahmat-Nya. Apakah sesuatu yang akan dilangkahkan dirinya akan berakibat diseret dan digelandang ke dalam neraka-Nya yang teramat dahsyat, pedih dan mengerikan atau justru akan mendapatkan surga-Nya yang teramat nikmat mempesona. Sikap seorang muslim yang selalu mengacu pada dua pertimbangan seperti di atas akan membuat dirinya menjadi manusia yang bijaksana di hadapan Allah. Dalam sebuah ungkapan hikmah dinyatakan “manggalanya kebijaksanaan (hakikatnya) adalah takut kepada Allah”. Dalam ungkapan lain dikatakan “ The fear of Lord is the beginning of wisdom”, takut kepada Allah adalah awal dari sikap bijaksana.
3) La Tha’atan Illallah
Pengertian ketiga dari kandungan pernyataan la ilaha illallah adalah menafikan atau meniadakan ketaatan yang hakiki kepada siapa pun dan apapun. Taat dan tunduk yang hakiki bagi setiap muslim hanyalah ditujukan kepada Allah (dan rasul-Nya) semata. Sesungguhnya sikap yang ketiga ini merupakan konsekuensi logis akibat dari pernyataan yang kedua la khasyata illallah. Dengan sikap selalu mempertanyakan terlebih dahulu, apakah seuatu yang akan dilangkahkan akan mengakibatkan dirinya terkena laknat atau justru memperoleh rahmat dan nikmat-Nya. Apakah yang akan dilakukan termasuk seuatu yang diharamkan dan dilarang Allah atau sebaliknya yang akan dikerjakannya adalah termasuk yang diperintahkan, disenangi dan diinginkan oleh Allah. Pertimbangan yang demikian cermat, teliti, penuh kehati-hatian dalam bertindak merupakan cermin dari seorang mukmin yang menyadari akan tanggung jawabnya menyatakan la ilaha illallah. Dengan mengikrarkan la ilaha illallah seorang mukmin akan berusaha bersikap loyal serta mentaati seluruh kemauan Allah (QS An-Nur (24): 51, An-Nisa (4): 59, 65).
4) La ‘Ibadatan Illallah
Puncak dari sebuah pernyataan la ilaha illallah adalah menafikan segala sesuatu apa pun wujudnya untuk diagung-agungkan, dipuja dan disanjung, disembah dan dihormati (sujud). Penyembahan dan pengagungan hanyalah diperuntukan kepada allah semata, sebagai satu-satunya zat yang berhak untuk disembah secara total bagi seorang mukmin.
Sesungguhnya sikap yang keempat ini adalah merupakan perwujudan dari berpadunya antara sikap cinta, takut, gentar, serta sikap ketaatan dan kepatuhan yang tak terhingga kepada Allah hingga tidak ada sikap lain kecuali akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi ‘abid (hamba) yang setia, sebagaimana yang diperintahkan Allah “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS Thaha(20): 14).
Allah sebagai satu-satunya sesembahan adalah konsekuensi tertinggi dari syahadat tauhid uluhiyah. Seseorang yang telah bersyahadat tauhid berarti telah memproklamirkan dan berjanji untuk mengabdikan dirinya kepada Allah semata, artinya tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Ia telah menyatakan dirinya muslim (orang yang tunduk patuh kepada Allah sehingga selamat dunia dan akhirat). Konsekuensinya seluruh hidupnya untuk taat kepada Allah dan keridhaa-Nya.
Dengan demikian jika seseorang telah memulai dengan menegakan la ilaha illallah pada dirinya maka akan tumbuh sikap al-bara’. Al-bara’ berarti melepaskan diri dari setiap bentuk ilah selain Allah (QS (60): 4). Al-bara’ juga berarti pengingkaran, mengambil garis pemisah, dan tegas terhadap al-bathil. Ia merupakan perwujudan syahadah, berupa penolakan terhadap semua ilah, lalu menyerahkan loyalitasnya hanya kepada Allah. Dalam kondisi ini, seorang muslim menjadi manusia merdeka, bebas dari tuhan-tuhan palsu, jerat hawa nafsu syahwat, belengu harta atau tahta/jabatan.
Al-bara’ merupakan proses yang harus dilalui seorang muslim dalam upaya menyiapkan lahan subur bagi tumbuhnya keimanan. Ibarat petani membersihkan lahan, agar pohon ketakwaan dapat berkembang sebagaimana seharusnya. Dengan membatalkan semua bentuk ilah di luar Allah swt dan mengecualikannya hanya Allah, maka akan tumbuh sikap wala’. Al-wala’ berarti loyalitas, siap mentaati perintah Allah dengan kecintaan dan ketaatan, mengabdi semata-mata kepada Allah dan tidak bersedia menjalankan perintah siapa pun, kapan pun, dan dimana pun juga, kecuali jika sesuai (tidak bertentangan) dengan perintah Allah (QS. (5): 54-55).
b.Kalimat Muhammad Rasulullah (Syahadah Risalah)
Syahadah risalah adalah pengakuan ‘persona grata’ (orang yang dipercaya) terhadap rasulullah sebagai duta Allah bagi alam semesta dan kesiapan menjadikan sebagai ‘examplia gratia’ (contoh/uswah) dalam setiap aspek kehidupan (QS (21): 107, (33): 21, (68): 4).
Jika seseorang muslim mengakui nabi saw sebagai persona grata dan siap menjadikanya sebagai examplia gratia, maka barulah dikatakan ia berwala’ (loyal) kepada rasulullah saw. berwala’ kepada nabi berarti harus senantiasa ittiba’ (mengikuti) beliau dalam setiap aspek kehidupan. Karena ittiba’ur-rasul merupakan bukti kecintaan dan ketaatan kepada Allah swt dan rasul-Nya (QS Ali Imron (3): 31-32).
Risalah mengandung pengertian sesuatu yang diwahyukan Allah swt berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah, untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat. Urgensi (kepentingan) manusia terhadap risalah sangat jelas. Tanpa risalah manusia tidak mungkin mengenal Allah, sifat-sifat-Nya serta tata cara beribadah kepada-nya; manusia tidak akan mengetahui alam ghaib seperti alam barzakh, alam mahsyar, surga dan neraka. Tanpa risalah manusia tidak mengetahui tujuan penciptaan-Nya dan tidak bisa menentukan undang-undang system hidup yang menjamin teralisasinya keadilan dan persamaan hak.
Jalan satu-satunya untuk mengetahui petunjuk Allah ini adalah lewat risalah-Nya yang diintepretasikan oleh rasul-nya. Dengan demikian syahadat risalah juga mengandung pengertian (1) membenarkan setiap apa yang beliau khabarkan (QS (53): 3-4), mentaati perintah yang diperintahkanya (QS (4): 59), menjauhi apa yang dilarang (QS (59):7) dan (4) beribadah menurut syari’at-Nya.
3. Urgensi Syahadat Bagi Seorang Muslim
1)Pintu masuk ke dalam Islam
Syahadat atau kredo merupakan pintu pembuka bagi keislaman seseorang. Dan syahadat ini juga merupakan janji yang telah diikat oleh Allah semenjak manusia itu di alam ruh sebelum di lahirkan ke dunia ini. Oleh karena itu, penegasan syahadat ketika di dunia merupakan perwujudan bukti kesetian janji manusi dengan Allah.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS Al-A’raf: 172)
2)Intisari Ajaran Islam
Syahadat merupakan inti ajaran Islam, karena di dalam kredo tersebut diungkap tentang kesaksian tentang Allah yang konsekuensinya adalah segala apa yang diwahyukan Allah swt harus ditaati. Dan juga kesaksian kepada Nabi Muhammad saw, yang konsekuensinya adalah harus mengikuti segala ajaran dan sunnahnya tanpa ada pilihan lainya. Dengan demikian maka syahadat merupakan inti dari ajaran Islam yang begitu komplek dan luas.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(QS Al-Anbiya’:25)
3) Konsep dasar reformasi Total
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”.(QS Al-An’am: 122)
4)Hakekat Dakwah Para Rasul
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).(QS An-Nahl: 36)
D. HIKMAH KEYAKINAN TAUHID
1. Secara Individual
Keyakinan tauhid dalam Islam manakala diimani secara benar akan membentuk pribadi-pribadi muslim yang mempunyai komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kebenaran dan integritas kepribadian yang utuh. Oleh karena itu, impliklasi lebih lanjut dari keyakinan tauhid ini bagi seorang muslim berupa:
1) Kemerdekaan
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am(6): 82)
2)Ketenangan
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ(28)
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Ra’du (13): 28)
3)berkah
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.(QS. Al-A’raf (7): 96)
4)Kehidupan Yang baik
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. An-Nahl (16): 97)
5)ridha Allah
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ(7)جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.(QS. Al-Bayyinah (98): 6-7)
6)Surga
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ(25)لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.(QS. Yunus (10): 25-26)
2. Secara Sosial
1)Kesatuan Niat.
Tauhid mempunyai makna kesatuan niat. Segala motifasi, orientasi dan tujuan hidup kita hanya satu, yaitu Allah SWT. Manakala Allah SWT sudah kita letakan menjadi tujuan hidup kita, motifasi-motifasi lain akan kita tanggalkan. Kita bekerja, berkarya, memberikan pelayanan kepada yang lain didorong oleh keinginan luhur yaitu Allah, Tuhan kita. Manakala kesatuan niat ini dicapai dalam kehidupan umat, maka penindasan terhadap sesama, keinginan menjatuhkan saudara sendiri, ataupun menguasai hak orang lain tanpa hak, niscaya terkikis dalam kehidupan kita.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(Al-Bayinah: 5)
2)Kesatuan Aqidah
Tauhid mempunyai makna kesatuan aqidah. Allah, Tuhan kita telah mengajarkan dan membimbing kita bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Ini sebenarnya harus menjadi pedoman dan fondasi spiritual kita. Tentunya ini juga harus menjadi jalan hidup kita. Tuhan kita adalah satu mengapa kita harus hidup tercerai berai. Tuhan kita satu, tapi kita masih menuhankan tuhan-tuhan selain Allah.
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 163)
3)Kesatuan Fikrah/ Pola Fikir
Tauhid juga bermakna kesatuan fikrah/ pola fikir. Pengakuan kepada La ilaha illallah mengajarkan kepada kita tentang pola fikir, cara berfikir tauhid. Cara berfikir ini mempunyai paradigma dasar bahwa pemikiran orang-orang beriman itu holistic, integral, menyeluruh, tidak terpecah-pecah parsial, setengah-tengah. Pola fikir tauhid menekankan aspek fundamental, nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi. Hal ini berbeda dengan cara berfikir matrialisme yang lebih menekankan aspek matrial berorientasi tujuan, mengabaikan aspek moral.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (Al-An’am: 153)
4)Kesatuan Kalimat/Bahasa
Tauhid juga bermakna kesatuan kalimat atau bahasa. Orang-orang tauhid mempunyai satu kalimat atau bahasa dalam setiap persoalan atau permasalahan yang mereka hadapi. Ketika saudara-saudaranya tertimpa musibah, mereka mempunyai satu bahasa “menolong”. Ketika orang jahat mengajak pertikaian, mereka mempunyai satu bahasa “kedamaian”.
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (al-Baqarah: 142)
5)Kesatuan Umat
Tauhid juga bermakna kesatuan umat. Artinya semangat, spirit tauhid, akan mendorong lahirnya kesatuan umat diantara manusia. Jiwa tauhid akan mejadi motor, penggerak bagi bangkitnya kesatuan umat, yang semula tercerai beraikan oleh berbagai mazhab, aliran pemikiran, paham, dan sukuisme.
MA'RIFATUL MABDA' (PENGETAHUAN TENTANG POKOK-POKOK KEIMANAN KEPADA ALLAH
A. DALIL-DALIL KEBERADAAN (WUJUD, EKSISTENSI) ALLAH SWT
Untuk membuktikan keberadaan Allah swt, paling tidak digunakan tiga dalil (bukti) yang bisa mendukung dan menguatkan bahwa Allah swt itu ada. Dalil itu adalah dalil Naqli, Aqli dan Fitrah. Ini juga sebagaimana penegasan Allah di dalam al-Qur’an sendiri:
سَنُرِيهِمْ ءَايَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu? (QS. Fushilat (41): 53)
1. Dalil Fitrah
Manusia sejak masih berada dalam alam ruh (arwah) telah ditanamkan benih iman, kepercayaan dan penyaksian (syahadah) terhadap keberadaan Allah swt. Dalam QS al-A’raf (7): 172 Allah menegaskan:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (QS al-A’raf: 172)
Benih keyakinan terhadap eksistensi Allah merupakan fitrah atau sesuatu yang bersifat kodrati. Dan karena bertuhan itu merupakan fitrah manusia, maka tepatlah kiranya kalau Mircea Eliade mensifatinya sebagai ‘homo religious atau naturalier religiosa. Fitrah inilah yang menjadi daya pendorong pertama untuk mengenal dan mendapatkan Allah swt.
Adapun yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah ciptaan Allah. Allah menciptakan manusia disertai dengan berbagai macam naluri, termasuk di dalamnya naluri bertuhan, naluri beragama, yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia yang tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid karena pengaruh lingkungan (Depag RI, al-Quran dan terjemahnya: 645). Ali Issa Othman menjelaskan bahwa arti fitrah tidak lain adalah inti dari sifat alami manusia, yang secara alami pula ingin mengetahui dan mengenal Allah swt (Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali: 28). Sementara Yasien Muhammad menerangkan bahwa, karena fitrah allah dimasukan dalam jiwa manusia maka manusia terlahir dalam keadaan dimana tauhid menyatu dengan fitrah. Karena tauhid menyatu dengan fitrah manusia maka para nabi datang untuk mengingatkan manusia pada fitrahnya dan untuk membimbingnya kepada tauhid yang menyatu dengan sifat dasarnya (Yasien Muhammad: 21). Ali bin Abi Thalib ra menyatakan bahwa para nabiyullah diutus untuk mengingatkan manusia kepada perjanjian yang telah diikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan dituntut untuk memenuhi perjanjian tersebut. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula diucapkan oleh lidah, melainkan terukir dengan pena allah dipermukaan kalbu dan lubuk fitrah manusia, di atas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniah.
Fitrah bertuhan inilah yang oleh Danah Zohar dan Ian Marshall dinamakan God Spot atau titik Tuhan (Danah Zohar & Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelegence – The Ultimate Intelegence, 2000: 79). Fitrah ini gejalanya secara universal dapat diamati cukup signifikan di sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia. Dan fitrah bertuhan ini akan semakin bertambah jelas bila dikaji lewat kajian filsafat, suatu kajian yang didasarkan pada pemikiran yang kritis, radikal, koheren, spekulatif, rasional lagi konprehensif untuk mendapatkan apa yang disebut hakekat.
2. Dalil Aqli
Fitrah bertuhan dalam arti keinginan untuk mengetahui dan mengenal Allah, yang kemudian didukung oleh akal fikiran yang kritis dan radikal akan melahirkan kegairahan yang luar biasa untuk menatap dan menguak ayat-ayat Allah yang tergelar dalam jagad raya. (QS Fushilat (41): 53, al-Ghasyiah (88): 17-22, al-Waqi’ah (56): 63-65, 68-72, al-Mulk (67): 30, al-Anbiya (21): 30-33). Renungan manusia dengan menggunakan akal fikiran yang kritis disertai dengan pengamatan intuisi yang halus dan tajam pasti akan membuahkan hasil semakin bertambah kuat keyakinannya (belief)bahwa sesunggunya jagat raya beserta seluruh isinya ini adalah makhluk Allah, yang diciptakan oleh sang Maha Pencipta dengan penuh perencanaan dan bertujuan (QS al-Mukminun (23): 115 dan Ali Imron (3): 191).
Mengikuti apa yang diperintahkan Allah dalam QS Muhammad (47): 19 agar menggunakan segala potensi yang dimilikinya untuk membaca ayat-ayat Allah yang berupa ayat kauniyah guna memperoleh ‘belief’, keyakinan yang sudah tertanam dalam lubuk hati manusia, para filosof mengemukakan ada enam argumentasi pembuktian terhadap eksistensi Allah, yaitu:
a. Dalil Kosmologis
Dalil kosmologis adalah suatu pembuktian yang berhubungan dengan ide tentang kausalitas, sebab musabab (causality).
Plato dalam bukunya Timaeus mengatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi pasti dikarenakan dan didahului oleh suatu sebab. Kalau ada dua batang pohon yang berdiri berdampingan , dan salah satunya ada yang mati,orang akan beranggapan bahwa tentu ada sebab-sebab yang mengakibatkan adanya kejadian yang berlainan. Pohon yang mati pasti disebabkan oleh adanya penyakit, dan penyakit itu sendiri juga mempunyai sebab, dan begitulah seterusnya. Theo Huibers menyatakan bahwa tidak mungkin adanya suatu rangkaian sebab yang tak terhingga, oleh karena jika demikian halnya, memang tidak terdapat sebab yang pertama. Jika tidak terdapat sebab yang pertama, maka sebab yang kedua tidak terdapat juga, oleh karena seluruhnya tergantung dari sebab yang pertama. Jika tidak terdapat sebab yang kedua, maka tidak terdapat sebab yang ketiga, dan seterusnya, sehingga akhirnya harus dikatakan : tidak terdapat sebab yang pertama sama sekali. Dan ucapan ini memang salah (Theo Huibers, II: 84)
Jadi benda-benda yang terbatas (finite) rangkaian sebab-musabab akan berjalan secara terus menerus. Akan tetapi dalam logika rangkaian yang terus menerus seperti itu mustahil. Jadi dibelakang sebab-sebab yang merupakan rangkaian yang sangat komplek tentu ada sebab yang pertama, yang tidak disebabkan oleh sebab lain. Sebab yang pertama inilah yang dinamakan Tuhan. (M Rasyidi, Filsafat Agama, 1970: 54-55). Bandingkan dengan firman Allah dalam QS. At-Thur (52): 35, al-Waqiah (56): 58-59, 64-65, 68-69, dan 71-72, An-Nahl (16): 70-75, ar-rum (30): 20-25.
b. Dalil Ontologis
Argumen ontologis adalah pembuktian akan keberadaan Tuhan didasarkan pada hakekat yang ada. Argumen ini dipelopori oleh Plato (428-348 SM) dengan teori idenya, St. Agustinus (354-430 M), al-Farabi (872-950), St. Anselm (1033-1109).
Menurut Anselm, manusia dapat memikirkan sesuatu yang kebesaranya tidak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada, konsep sesuatu yang maha besar, maha sempurna, sesuatu yang tidak terbatas. Zat yang serupa ini mesti mempunyai wujud dalamj hakekat, sebab kalau tidak memiliki wujud dalam hakekat dan hanya mempunyai wujud dalam fikiran, zat itu tidak mempunyai sifat yang lebih besar dan sempurna dari pada mempunyai wujud. Mempunyai wujud dalam alam hakekat lebih besar dan sempurna dari pada mempunyai wujud dalam alam fikiran saja. Sesuatu yang maha besar dan maha sempurna itu ialah Tuhan dan karena sesuatu yang terbesar dan paling sempurna tidak boleh tidak pasti mesti mempunyai wujud, maka Tuhan mesti mempunyai wujud. Dengan demikian, Tuhan pasti ada.
c. Dalil Teleologis
Dalil teleologis yaitu pembuktian tentang adanya Tuhan dengan berpedoman pada konsep keterpolaan (desain) di dalam alam semesta yang membutuhkan ‘desainer’. William Paley menyatakan bahwa di dalam dunia yang konkrit kita melihat kompleksnya unsure-unsur dunia ini, akan tetapi terlihat sangat teratur sekali. Alam semesta menunjukan bentuk keteraturan itu, dimana planet-planet yang bertaburan namun tidak saling berbenturan satu sama lainya. Hal ini menunjukan adanya kekuatan maha Dahsyat yang menciptakan dan mengendalikannya. Alam semesta merupakan karya seni terbesar yang menunjukan adanya ‘A Greater Intellegent Desaigner’, yaitu Tuhan. Tegasnya ‘langit menceritakan kemulian Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya’. Perhatikan firman Allah dalam QS as-Shaffat (37): 6 dan Qaf (50): 6.
d.Dalil Fenomenologis
Dalil fenomenologis yaitu pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan mengacu pada rahasia-rahasia fenomena yang terjadi di alam semesta. Fenomena yang terjadi di alam semesta ini dari makhluk yang terkecil sampai alam yang membentang luas, semuanya menyngkapkan rahasia akan keberadaan Tuhan. Argumen ini dikemukakan oleh Sa’id Hawwa dalam bukunya Allah Jalla wa Jalaluhu.
1) Fenomena terjadinya Alam. Setiap sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan, begitu alam semesta ini, tentu ada yang menciptakan. Lihatlah gunung hijau yang kokoh bediri, aliran sungai yang kesemuanya bermuara ke laut, langit yang tegak tanpa tiang, planet beredar penuh keteraturan, mungkinkah kesemunya ada dengan sendirinya? “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka yang telah menciptakan langit dan bumi itu”. (QS at-Thur: 35-36)
2) Fenomena Kehendak yang tinggi. Jika saja presentase oksigen 5% lebih dari udara, bukan 21 %, maka semua materi yang bisa terbakar yang ada di bumi ini, segera saja terbakar. Karena andaikan bunga api pertama yang ada pada kilat itu menimpa pohon niscaya segera menghapus seluruh hutan. Andaikan persentase oksigen 10%, sulit untuk dibayangkan peradaban manusia bisa seperti ini. Apakah persentase oksigen suatu kebetulan? Renungkanlah, siapa yang mengatur dan memformulasaikan agar kadar oksigen di udara 21 % sehingga ada kehidupan di bumi ini. Bukankah hal ini menunjukan adanya kehendak yang agung yang bersumber dar Zat Mahapintar dan Maha bijaksana, bahwa dia berkehnadak menentukan segala sesuatu sebagai ketetapan yang terbaik.(QS Ali Imron (3): 190).
3) Fenomena Kehidupan. Kehidupan berbagai makhluk di atas bumi ini menunjukan bahwa ada Zat yang menciptakan, membentuk, menentukan rizkinya dan meniup ruh kehidupan pada dirinya (QS Al-Ankabut: 20, Al-anbiya: 30). Bagaimanapun pintarnya manusia, ia tak akan sanggup menciptakan seekor lalat pun (QS al-hajj: 73-74).
4) Fenomen Petunjuk dan Ilham. Hal apakah yang mendorong seekor ayam betina membolak-balikan telur yang sedang dieraminya, agar anak-anak ayam yang sedang mengalami proses di dalam telur tidak mengalami pengendapan? Dengan cara itulah generasi ayam tetap lestari sampai saat ini. Siapa yang mengajarinya untuk melakukan hal itu? Bukankah di sana ada hidayah yang sempurna untuk mempertahankan kelangsungan jenis dari Zat Yang Maha Mengetahui ciptaan-Nya. “Musa berkata: tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadianya, kemudian memberinya petunjuk”. (QS Thaha: 50).
5) Fenomena Hikmah. Mengapa bibir-bibir unta terbelah? Banyak hikmah di balik ini, di antaranya adalah untuk membantunya memakan tumbuh-tumbuhan padang pasir yang berduri dan keras. Kakinya pun sesuai dengan daerah berpasir, sehingga ia tak mengalami kesulitan. Bulu matanya yang panjang bagaikan jaring, bisa melindungi kedua matanya dari debu-debu yang bertebaran. Ponggoknya berfungsi sebagai tempat menyimpan makanan karena harus mengarungi padang pasir. Berjuta penciptaan segala sesuatu di bumi ini menunjukan adanya Allah Yang Maha hikmah. “Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasan Allah) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling daripadanya?” (QS Yusuf: 105)
6) Fenomena Pengabulan Do’a. Manusia yang penuh kelemahan akan menemui saat-saat di mana ia tidak mungkin bergantung pada siapa pun kecuali Allah. Baik muslim mapun kafir, ketika menghadapi hal-hal yang membahayakan, pasti akan berdoa. Saat doa dikabulkan, adalah saat seharusnya manusia merenung tentang siapa yang mendengar doa dan mengabulkanya (QS. (17): 67, (10): 22-23)
e. Dalil Historis
Dalil histories (sejarah) adalah pembuktian tentang keberadaan Tuhan dengan berpegang pada sejarah perjalanan hidup manusia dari dahulu hingga sampai saat ini yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan keagamaan. Hubungan manusia dengan Tuhan dapat dilihat dari kehidupan keberagamaan yang paling sederhana hingga kehidupan keberagamaan yang paling komplek sekalipun, walaupun dalam perjalanannya banyak terjadi penyimpangan, ini membuktikan bahwa peran Tuhan dalam kehidupan manusia sangat dominan. Penelusuran tentang sejarah pengembaraan manusia dalam pencarianya menggapai Tuhan, dapat ditemukan dalam bukunya Karen Amstrong A History Of God: 4000 – Year Quest of Judaism, Christianity, and Islam (Sejarah Tuhan: 4000 Tahun Pengembaraan Manusia Menuju Tuhan).
f. Dalil Moral
Dalil moral yaitu pembuktian adanya Tuhan dengan berpegang pada pengandaian adanya hukum moral umum yang memperlihatkan adanya ‘Penjamin Moral’ (Law Giver). J.H. Newman menyatakan bahwa adanya kesadaran manusia untuk melakukan perbuatan yang utama semata-mata didorong oleh suara hati (kata hati, hati nurani, hati kecil, insane kamil), atau menurut istilah Immanuel Kant disebutnya ‘kategoris imperatif’. Tiap-tiap orang pasti mengalami pada dirinya sendiri, bahwa terdapat perbuatan-perbuatan yang tidak diperbolehkan. Berkat suara hati manusia merasa sungguh-sungguh bertanggung jawab atas tindakanya, dan lagi pula mempunyai kesadaran bahwa ia tidak boleh bertindak melawan keyakinan moralnya. Menurut Newman, dalam hati senantiasa terdengar suara Allah secara eksistensial, yang tak masuk akal adanya perintah moril ini, kalau tidak terdapat Hakim yang Tertinggi, yang mengesahkan perintah moral tersebut (Huijbers: 97-98). Inilah alasanya mengapa suara batin rakyat disebutnya sebagai suara Tuhan, ‘Vox Populi Vox Dei’. Bandingkan dengan firman Allah QS as-Syams (91): 8.
3. Dalil Naqli
Dalil naqli adalah dalil pembuktian akan keberadaan dengan merujuk petunjuk kitab suci. Dengan fitrah, manusia bisa mengakui adanya Tuhan, dan dengan akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli (al-Qur’an dan as-Sunnah) untuk membimbing manusia mengenal Tuhan yang sebenarnya dengan segala asma dan sifat-Nya. Sebab fitrah dan akal tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan sebenarnya itu.
Cukup banyak pembahasan tentang Allah swt di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, hanya saja di sini dikemukakan beberapa point penting saja, yaitu:
a. Allah adalah al-Awwal, yaitu tidak ada permulaan bagi wujud-Nya dan juga al-Akhir, yaitu tidak ada akhir dari wujud-Nya.
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
`
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS al-Hadid [57]: 3)
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
`
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
`
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan. (QS ar-Rahman [55]: 26-27)
b. Tidak ada satu pun yang menyerupai-Nya.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
`
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS as-Syura [42]: 11)
c. Allah swt adalah Maha Esa.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
`
اللَّهُ الصَّمَدُ
`
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
`
وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
`
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (QS al-Ikhlas [112]: 1-4)
Selain ayat di atas, di dalam al-Qur’an dinyatakan dalam banyak ayat antara lain: QS al-baqarah [2]: 133, 163, An-Nisa [4]: 171, al-Maidah [5]: 73, al-An’am [6]: 19, al-A’raf [7]: 70, at-Taubah [9]: 31, Yusuf [12]: 39, ar-Ra’d [13]: 16, Ibrahim [14]: 48, 52, An-nahl [16]: 22, 51, Al-Isra [17]: 46, al-Kahfi [18]: 110, al-Anbiya’ [25]: 108, al-hajj [22]: 34, al-Ankabut [29]: 46, as-Shaffat [37]: 4, shad [38]: 5, 65, az-Zumar [39]: 4, 45, Ghafir [40]: 12, 16, 84, Fushilat [41]: 6, al-Mumtahanah [60]: 4, al-Ikhlas [114]: 1.
d. Allah mempunyai al-Asma’ wa shiffat (nama-nama dan sifat-safat) yang disebutkan untuk diri-Nya di dalam al-Qur’an serta semua nama dan sifat yang dituturkan untuk-Nya oleh rasulullah saw dalam sunnahnya.
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
`
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. (QS al-A’raf [7]: 180).
B. TAUHID: KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM
1. Pengertian Tauhid
Istilah tauhid berasal dari a-ha-da artinya satu, tunggal. Dilihat dari arti bahasa tauhid bermakna menunggalkan atau megesakan. Sedangkan kalau dilihat dari arti istilah yang dimaksud dengan tauhid ialah mengesakan Allah swt, baik dari segi zat, nama, sifat dan perbuatan-Nya (af’al).
Pengertian tauhid oleh Yusuf Qardhawiy dibedakan antara tauhid I’tiqadi ‘ilmi (keyakinan yang bersifat teoritis) dan tauhid I’tiqadi amali suluki(keyakinan yang bersifat praktis, tingkah laku). Adapun wujud atau bentuk tauhid yang bersifat teoritis berupa ma’rifat (pengetahuan), I’tiqadi(keyakinan), dan itsbat (pernyataan). Sedangkan wujud tauhid yang bersifat praktis berupa at-thalab (permohonan), al-qashdu (tujuan) dan al-iradah(kehendak). Menurut al-Qardhawiy keimanan sesorang tidak dapat diterima disisi allah selama tidak mentauhidkan Allah secara teoritis dan secara praktis (Yusuf Qardhawy, Tauhid dan Fenomena Kemusyrikan; 19).
Meyakini terhadap eksistensi Allah haruslah mengandung pengertian mengakui terhadap apapun yang menjadi kemauan Allah yang seluruhnya telah dijelaskan lewat firman-Nya yang terdapat dalam al-qur’an al-karim. Oleh karena itu kalau dalam mentauhidkan Allah hanya sekedar berhenti pada keyakinan dan pengakuan tanpa diikuti dengan perbuatan yang sejalan dengan kemauan Allah, pengakuan seperti itu dapat dikatakan sebagai pengakuan yang tidak ada buktinya, atau sering disebut sebagai iman yang tidak sempurna (naqish). Iman atau pengakuan yang sempurna (tammah)kalau di dalamnya terdapatv tiga unsure yang bulat dan padu, yaitu meyakini dalam hati (tashdiqun bi al-qalbi), diikrarkan dengan ucapannya(iqrarrun bi al-lisani), serta diamalkan dengan tindakan yang konkret dan real (amalun bi al-arkani).
2. Paradigma Keyakinan Tauhid
Para ulama telah sepakat bahwa dengan memahami pengertian tauhid secara obyektif dan proporsional, maka di dalam makna tersebut terkandung empat unsur mutlak adanya, yaitu: tauhid rububiyah, tauhid mulkiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid sifatiyah (al-asma’ was-shifat).
a. Tauhid Rububiyah
Istilah rabb dilihat dari arti pokoknya mengandung arti yang majemuk. Menurut Abul A’la al-Maududi ia dapat bearti antara lain mendidik, membimbing, membesarkan, mengasuh, menjaga, mengawasi, menghimpun, memperbaiki, memimpin, mengepalai dan memiliki (Maududi, Pengertian Agama, Ibadah: 37-40). Sedangkan Qardhawy mengartikan bahwa tauhid rububuyah adalah suatu keyakinan bahwa Allah adalah Tuhan pencipta langit dan bumi, pencipta semua makhluk dan penguasa seleuruh alam semesta. Dari sekian banyak arti tersebut dapat disimpulkan bahwa kata-kata rabb mencakup semua pengertia sebagaimana di bawah ini:
1) Pencipta alam semesta beserta dengan segala isinya.
2) Pembimbing yang menjamin tersedianya segala kebutuhan dan yang bertugas mengurus soal pendidikan dan pertumbuhan.
3)Pengasuh, penjaga, dan yang bertanggungjawab dalam mengajar dan memperbaiki keadaan.
4)Pemimpin yang dijadikan kepala, yang bagi anak buahnya tak ubah sebagi pusat tempat mereka berhimpun di sekelilingnya.
5)Pemuka yang ditaati, kepala dan pemilik kekuasaan mutlak, yang putusanya dipatuhi dan kedudukan serta ketinggianya diakui serta berwenang untuk memilih dan menentukan kebijaksanaan.
6) Raja yang dipertuan.
Dengan mengacu pada pengertian rabb sebagaimana di atas, maka yang dimaksud dengan tauhid rububuiyah ialah kesadaran dan keyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang menciptakan serta mengatur alam semesta dengan seluruh isinya (rabbul ‘alamain). Allah adalah satu-satunya zat yang mencipta, mengasuh, memelihara dan mendidik umat manusia (rabbun nas), Allah satu-satunya Zat yang mencipta semua makhluk yang ada di jagad raya ini. Dia ciptakan segala sesuatu yang ada di alam semesta dengan penuh perencanaan (QS Ali Imron (3): 191), dan diciptakan dari sesuatu yang belum ada menjadi ada (cretio ex nihilo) dengan kemauan (iradah) dan kekuasan (qudrat)-Nya semata-mata.
b. Tauhid Mulkiyah
Kata malik yang berarti raja dan malik yang berarti memilki berakar dari akar kata yang sama yaitu, ma-la-ka. Keduanya memang mempunyai relevansi makna yang kuat. Si pemilik sesuatu pada hakekatnya adalah raja dari sesuatu yang dimilkinya itu. Misalnya pemilik rumah, dia bebas mendiami, menyewakan atau bahkan menjualnya kepada orang lain. Berbeda dengan penghuni yang cuma mendapatkan hak pakai, tidak diizinkan menyewakanya kepada orang lain, apalagi menjualnya. Dalam pengertian bahasa seperti ini, Allah swt sebagai rabb yang memilki alam semesta tersebut, Dia bisa dan bebas melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya terhadap alam semesta tersebut. Dalam hal ini allah swt adalah malik (raja) dan alam semesta adalah mamluk (yang dimiliki atau hamba). Kita banyak menemukan ayat-ayat al-qur’an yang menjelaskan bahwa allah swt adalah pemilik dan raja langit dan bumi dan seluruh isinya. Misalnya QS al-Baqarah (2): 107, Al-Maidah (5): 120, dan sebagainya.
Pada hakekatnya tauhid mulkiyah merupakan kelanjutan dari tauihid rububiyah. Adanya keyakinan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah semata, diciptakan atas kemauan (iradah) dan kekuasaan-Nya, dan sama sekali bukan atas kemauan atau pesanan dari pihak lain, maka sudah barang tentu apabila seluruh hasil ciptaan-Nya tersebut adalah mutlah milik-Nya. Oleh karena itu, bila kita mengimani bahwa Allah swt adalah satu-satunya raja yang menguasai alam semesta (bumi, langit dan seluruh isinya), maka kita harus mengakui bahwa Allah swt adalah pemimpin (wali), penguasa yang menentukan (hakim) dan yang menjadi tujuan (ghayah).
a) Tidak ada Wali(Pemimpin) yang pantas Memimpin kecuali hanya Allah (La Waliya Illallah)
Ini adalah konsekuensi dari pengakuan kita bahwa Allah swt adalah raja. Bukanlah raja kalau tidak memimpin, bukanlah pemimpin kalau tidak punya wewenang menentukan sesuatu. Kalau kita analogkan logika ini kepada manusia, maka raja yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa adalah raja symbol atau raja boneka yang hanya ditampilkan untuk upacara-upacara (ceremonial) belaka yang sangat tidak menentukan system kehidupan atau system pemerintahan. Seorang raja baru akan fungsional sebagai raja bukan karena mahkota telah dipasangkan di kepalanya, bukan karena dia sudah duduk di atas kursi kerajaan singgasana atau karena sudah tinggal di istana, bukan. Dia baru akan fungsional sebagai raja apabila berfungsi sebagai pemimpin dalam arti sebenarnya. Yaitu apabila kata-katanya didengar, perintahnya diikuti dan laranganya dihentikan. Dan apabila terjadi perselisihan dia yang akan menyelesaikan. Al-Qur’an banyak menjelaskan bahwa Allah swt adalah pemimpin orang-orang yang beriman, diantaranya adalah QS al-baqarah (2): 257, al-Maidah (5): 55, dan An-Nisa (4): 59.
b) Tidak ada Penguasa Yang Menentukan (Hakim) kecuali hanya Allah (La Hakima Illallah)
Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, bahwa Allah swt baru fungsional sebagai pemimpin bila dia berfungsi sebagai hakim (yang menentukan hukum, yang berkuasa, yang memutuskan perkara), maka seorang yang beriman kepada Allah sebagai wali haruslah mengimani Allah swt sebagai hakim yang menentukan hukum dan segala aturan lainya.
Allah swt menegaskan berkali-kali dalam kitab suci al-qur’an bahwa hak yang menentukan hukum itu hanya ada di tangan Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS al-An’am (6): 57, 62. Dan Allah swt memberi predikat fasiqun, zalimun, dan kafirun kepada orang-orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah swt. Ini dapat dilihat dalam QS Al-maidah (5): 44, 45, 47. Orang yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah karena benci, ingkar, dan tidak meyakini hukum itu maka dia menjadi kafir. Bila masih meyakini tetapi melanggar atau tidak melaksanakanya, karena menuruti hawa nafsunya maka orang tersebut disebut fasiq bila hanya merugikan dirinya sendiri, dan disebut zalim manakala merugikan oran lain.
c) Tidak ada Yang Pantas Menjadi Tujuan (Ghayah) kecuali hanya Allah (La Ghayata Illallah)
Bila Allah swt adalah wali (pemimpin) dan hakim (penguasa yang menentukan), maka kita akan melakukan apa saja yang diridhai-Nya. Atau dengan kata lain apa saja yang kita lakukan adalah dalam rangka mencari ridha Allah. Allah-lah yang menjadi ghayah (tujuan, orientasi, kiblat atau fokus) kita (QS al-An’am (6): 162).
c. Tauhid Uluhiyah
Uluhiyah berasal dari al-ilahu, artinya al-ma’luh yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan dan pengagungan (Muhammad Shalih, Prinsip-prinsip dasar Keimanan: 125). Menurut Syaikhul Islam Ibn Taimiyah yang dimaksud dengan tauhid uluhiyah ialah zat yang dipuja dengan penuh kecintaan hati. Tunduk kepada-Nya, takut dan mengharapkan-Nya, kepada-Nya tempat berpasrah diri ketika berada dalam kesulitan, berdoa dan bertawakal kepada-Nya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingat-Nya dan terpaut cinta kepada-Nya. Semua itu hanya ada pada Allah semata (Yusuf Qardhawy, 1987: 26-27). Sementara Yusuf Qardhawy sendiri mendifinisikan tauhid uluhiyah dengan singkat sekali, yaitu pengesaan Allah swt dalam peribadatan, kepatuhan dan ketaatan secara mutlak (Yusuf Qardhawy, 1987: 22).
d. Tauhid Sifatiyah (al-Asma’ wa al-Sifat)
Pengertian tauhid sifatiyah adalah penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama-nama dan sifat-sifat Allah yang luhur berdasarkan petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan petunjuk rasulullah saw dalam sunnahnya.
Menurut Yunahar Ilyas, ada dua metode keimanan dalam tauhid sifatiyah, yaitu metode itsbat (menetapkan) dan nafyu (mengingkari):
1) Metode itsbat maksudnya mengimani bahwa Allah swt memiliki al-asma’ was-sifat (nama-nama dan sifat-sifat) yang menunjukan ke-Mahasempunaan-Nya, misalnya: Allah swt Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana dan lain-lain.
2) Metode nafyu maksudnya menafikan atau menolak segala al-asma was-shifat yang menunjukan ketidaksempurnaan-Nya, misalnya dengan menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah swt, atau menafikan adanya anak dan orang tua dari Allah swt dan lain-lain.
Para ulama salaf, yakni para ulama yang kokoh dalam mengikuti sunnah rasulullah, pandangan para sahabat dan tabiin yang salih, menetapkan segala nama dan sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya, dan apa-apa yang ditetapkan oleh rasulullah bagi-Nya. Tanpa melakukan ta’thil (penolakan),tahrif (perubahan dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil (penyerupaan), dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). (QS as-Syura: 11).
Sehubungan dengan tauhid sifatiyah ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan secara lebih khusus, yaitu:
1) Janganlah memberi nama Allah swt dengan nama-nama yang tidak disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Lihat QS al-A’raf (7): 180.
2) Janganlah menyamakan (tamtsil), atau memiripkan (tasybih) Zat Allah swt, sifat-sifat dan af’al (perbuatan)-Nya dengan makhluk manapun. Lihat QS as-Syura (42): 11, al-Ikhlash (112): 1-4.
3)Mengimani al-Asma’ was-shifat bagi Allah harus apa adanya tanpa menanyakan atau mempertanyakan “bagaimana”nya (kaifiyat).
4)Dalam satu hadis disebutkan bahwa Allah swt memiliki 99 nama (Hr. Bukhari, Muslim). Sementara dalam riwayat Tirmizi disebutkan ke-99 nama tersebut.
5) Di samping istilah al-Asma’ al-husna ada lagi istilah “ismullah al-a’zam” yaitu nama-nama allah swt yang dirangkai dalam do’a. Rasulullah saw mengatakan bahwa siapa yang berdoa dengan ismullah al-a’zam, do’anya akan dikabulkan, permintaanya akan diperkenankan (HR. Abu Daud, Tirmizi, Nasai, dan Ibn majah).
C. MAKNA KANDUNGAN DUA KALIMAT SYAHADAT
1. Pengertian Syahadat:
Kata asyhadu berakar dari kata sya-ha-da yang berarti saya bersyahadat. Dalam bahasa arab kata ini berbentuk fi’il mudhari’ atau setara denganpresent continuous tense dalam bahasa inggris. Hal ini menunjukan suatu aktivitas yang sedang berlangsung dan belum selesai. Kata syahadah secara etimologis yang mempunyai tiga pengertian, yaitu musyahadah atau al-‘ahd (menyaksikan atau perjanjian) lihat QS al-Muthaffifin (83): 21, Ali Imron(3): 18, syahadah atau Iqrar (kesaksian atau pengakuan, pernyataan) lihat QS at-Thalaq (65): 2, Ali Imron (3): 18, dan half (sumpah) lihat QS al-Munafiqun (63): 1, An-Nur: 6.
a. Iqrar atau al-I’lanu/Pengakuan/ pernyataan (QS. Ali Imron (3): 64
Seseorang saat memasuki pintu gerbang Islam mengiklankan, menyatakan bahwa tidak ada ilah selain allah dan Muhammad adalah rasul allah. Kata-kata ini bukan saja syarat makna, namun juga demikian berat dan tinggi konsekuensi yang ada di belakangnya, antara neraka dan syurga, antara azab yang pedih atau kenikmatan yang abadi.
Secara subtansial kalimat syahadat adalah pernyataan iman kepada Allah dan rasulnya, sekaligus pengukuhan Allah sebagai satu-satunya ilah dan Muhammad saw sebagai satu-satunya uswah (teladan). Kata-kata perjanjian ini diikrarkan agara secara sosial segera terbedakan antara pengikut Allah dan pengikut thagut (syaitan), siapa yang meyakini dan siapa yang tidak percaya akan kerasulan Muhammad saw, siapa yang beriman dan siapa yang kafir.
b. Al-Wa’du (janji) (QS (7): 172)
Syahadah merupakan sebuah perjanjian. Jika seseorang berjanji, selama janji itu belum terealisasikan maka seharusnya ia merasa berhutang, sebab janji adalah hutang dan hutang harus dibayar. Jika seseorang tidak dikejar merasa bersalah ketika ia tidak memenuhi janjinya, maka ia memilki cirri orang munafik. Sebagai konsekuensi dari janjinya maka ia haruslah beramal.
c. Qasamu (sumpah) (QS (6): 162-163)
Makna syahadah yang lain adalah al-qasamu (sumpah). Ini berarti dengan melafazkan syahadatain, kita bersumpah untuk menjadikan Allah saja sebagai ilah dan rasulullah saw sebagai qudwah (contoh).Sumpah lebih berat dari sekedar pernyataan dan janji. Maka seorang muslim terikat dengan sumpah yang diikrarkannya secara sadar, dengan segenap konsekuensi yang ada di belakangnya. Di antara konsekuensi itu adalah pengamalan kalimat yang secara berulang kita ucapkan dalam shalat: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku (hanyalah) untuk Allah, rabb semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya”. (QS (6): 162-163).
Jalan menegakan sumpah ini bukanlah jalan yang mudah dan mulus, melainkan merupakan jalan takwa yang sukar dan mendaki. Surga tidak diperoleh secara mudah dengan hanya menjalankan ibadah mahdhah (khusus) lalu mengabaikan totalitas ibadah. Surga diberikan hanya untuk orang-orang yang diridhai-Nya, orang-orang yang teruji keimanannya, teruji cintanya kepada Allah dan rasul-nya, orang-orang yang berjuang di jalan-Nya (QS. Al-baqarah (2): 214).
Menurut Yunahar Ilyas, bahwa antara ketiga pengertian di atas terdapat relevansi yang kuat, yaitu sesorang akan bersumpah bila dia memberi kesaksian, dan dia akan memberi kesaksian bila ia menyaksikan. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian etimologis di atas maka syahadat seseorang harus mencakup ketiga pengertian di atas, yaitu musyahadah (dengan hati dan pikiran), syahadah (dengan lisan), dan half (dengan menghilangkan segala keraguan).
Adapun secara istilah, syahadah merupakan suatu pernyataan, janji, sekaligus sumpah untuk beriman kepada Allah dan rasulnya dengan membenarkan di dalam hati (at-tasdiqu bil qalbi), dinyatakan dengan lisan ( al-qaulu bil lisan) dan dibuktikan dengan perbuatan (al-amalu bil arkan).
2. Kandungan Kalimat Syahadat
Kalimat syahadat mempunyai dua kandungan pengertian yaitu syahadah uluhiyah dan syahadah risalah. Kedua syahadah tersebut tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain, karena merupakan satu kesatuan.
a. La Ilaha Illallah (Syahadah uluhiyah)
Untuk menerjemahkan iqrar la ilah illallah ke dalam bahasa Indonesia kita harus terlebih dahulu memahami susunan kalimatnya, yaitu:
لَا إِلَهَ إِلَّا َ اللَّهُ
La (
لا
) yang terdapat pada awal iqrar tersebut adalah la nafiya liljinsi, yaitu huruf nafi yang menafikan segala macam jenis ilah (
اله
, tuhan). Illa(
الاّ
) adalah huruf istisna (pengecualian) yang mengecualikan Allah dari segala macam jenis ilah (tuhan) yang dinafikan. Bentuk kalimat seperti ini dinamakan kalimat manfi (negatif) lawan dari kalimat mutsbat (positif). Kata illa berfungsi mengitsbatkan kalimat yang manfi. Dalam kaidah bahasa Arab, itsbat (kalimat positif) sesudah nafi (kalimat negatif) itu mempunyai maksud al-hashru (membatasi) dan taukid (menguatkan). Dengan demikian kalimat tauhid ini mengandung pengertian “sesungguhnya tiada Tuhan yang benar-benar berhak disebut Tuhan selain Allah swt”.
Dengan memahami pengertian kalimat tauhid di atas, KHR. Hadjid merumuskan bahwa pernyataan ‘La ilaha illallah’ pada hakekatnya mengandung empat sikap sebagai konsekuensinya, yaitu:
Tidak ada ilah, sesuatu yang dipertuhankan, yang berhak dicintai kecuali hanya cinta kepada Allah semata (la hubban illallah).
Tidak ada ilah, sesuatu yang dipertuhankan, yang berhak ditakuti kecuali hanya takut kepada allah semata (la khasyatan illallah).
Tidak ada ilah, sesuatu yang dipertuhankan, yang berhak ditaati kecuali hanya taat kepada Allah semata (la tha’atan illallah).
Tidak ada ilah, sesuatu yang dipertuhankan, yang berhak diagungkan dan disembah kecuali hanya menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah semata (la ‘ibadatan illallah).
1) La Hubban Illallah
Secara fitrah dihiaskan pada diri manusia mencintai berbagai macam kecintaan, seperti mencitai suami/istri, anak pinak, mencintai kedua orang tua, saudara dan sanak kerabat, mencintai harta benda, binatang ternak, sawah ladang, rumah, harta perniagaan, serta barang-barang lainnya seperti yang digambarkan dalam QS Ali Imran (3): 14, at-taubah (9): 24, al-Baqarah (2): 165 dan sebagainya.
Kecintaan terhadap berbagai hal seperti yang tergambar di atas dalam konsep Islam termasuk dalam kategori mata-ul-hayati-d-dunya, berbagai hiasan hidup keduniaan, dan oleh al-Qur’an dikategorikan sebagai mataul ghurur, kesenangan yang menipu, suatu kesenangan yang tidak akan dapat mendatangkan kepuasan hakiki dan lestari. Dalam QS al-hadid (57): 20, Allah menyatakan dengan tegas: “Ketahuilah, bahwasanya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan”.
Kesenangan yang bersifat duniawi, apapun wujudnya pada suatu ketika pasti akan berpisah dan meninggalkan siapa pun yang mencintai atau yang dicintainya. Dalam hal ini perlu disimak hadis rasulullah saw sebagai berikut:
Datanglah malaikat Jibril kepada nabi saw seraya berkata : Wahai Muhammad, hiduplah sesuka hatimu, tetap (ingatlah) engaku pasti akan mati. Berbuatlah sekehenadakmu, tetapi (ingatlah) engkau pasti akan dibalas sesuai sesuai dengan amal perbuatanmu. Cintailah apa dan siapa pun yang engkau cintai, tetapi (ingatlah) engkau pasti akan berpisah dengannya”. (Hadis dari sahal bin said ra).
Perpisahan antara yang mencintai dengan yang dicintai merupakan suatu keniscayaan selama yang dicintainya adalah makhluk. Karena semua makhluk bagaimanapun wujudnya pasti mengalami kehancuran dan kepunahan (QS al-Qasas (20): 88.
Ajaran Islam membenarkan seseorang untuk mencintai berbagai hal yang bersifat keduniaan, yang dalam terminolgi al-qur’an disebut dengan istilah al-malu wal banun. Namun sebagaimana yang diisyaratkan dalam QS al-Qasas (28): 88, kecintaan seorang muslim terhadap hal-hal seperti di atas haruslah diletakan jauh dibawah kecintaanya terhadap Allah (dan rasul-Nya). Sebaliknya Allah akan mengancam kepada setiap muslim yang menempatkan sesuatu melebihi kecintaanya terhadap Allah (dan rasul-Nya) dengan ancaman yang sangat menakutkan (QS at-taubah (9): 24.
Konsisten dengan hasil penghayatan kritisnya bahwa Allah-lah satu-satunya zat yang mencipta seluruh alam semesta, mengasuh, memelihara, menjaga, dan mendidiknya dengan penuh kasih sayang, yang menganugerahkan seluruh alam semesta untuk kepentingan dan kemanfaatan manusia semata-mata (QS al-Baqarah (2): 29), maka tiadak ada sikap lain bagi setiap muslim kecuali mencurahkan seluruh hidupnya untuk mencintai Allah di atas segala-galanya. “Adapun orang-orang yang beriman teramat cintanya kepada Allah” (QS al-baqarah (2): 31)
2)La Khasyatan Illallah
Konsekuensi yang kedua terhadap ikrar la ilah illallah adalah menetapkan bahwa tidak ada Tuhan yang pantas dan wajib ditakuti kecuali hanya takut kepada Allah semata-mata (QS at-Taubah (9): 13). Makna takut kepada Allah sebagaimana yang dimaksud dalam al-Qur’an maupun hadis bukanlah dalam arti takut kepada Allah yang dihayatinya sebagai sosok pribadi yang angker, mengerikan, menyeramkan, dan menakutkan, sehingga bagi siapa pun akan merasa ngeri dan kehilangan daya dan akalnya bila berada di dekat-Nya. Kalau penghayatan dan perasaan seperti ini yang muncul sudah barang tentu siapa pun akan berusaha untuk menghindar, lari dan menjauhkan diri daripada-Nya.
Konsep takut (al-khasyah atau khauf) dalam Islam harus dipahami secara bersama-sama dengan pemahaman terhadap konsep cinta , khubb dan pengharapan (thama’an) (QS as-Sajadah (32): 16). Kalimat khaufan wa thama’an, takut dan harap menggambarkan sikap di satu sisi ia takut dan gentar karena berhadapan dengan Allah, Zat Yang Maha perkasa, Maha Kuasa lagi maha Wibawa, Zat yang memancarkan kewibawaan-Nya yang tak terhingga sehingga ketertundukan dan kepatuhan semata yang ia perlihatkan. Sedangkan pada sisi lain ia penuh rasa cinta dan berpengharapan agar dirinya diperkenankan untuk mendekat, dipandang, dan diperhatikan serta diajak berbicara dengan penuh rasa kasih sayang dan kelembutan, disucikan dari berbagai noda dan dosa yang menempel pada dirinya. Sebaliknya ia takut dan mencemaskan dirinya kalau-kalau Allah sampai tidak berkenan pada dirinya karena prilakunya yang melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, mensikapi dirinya sebagaimana Dia mensikapi terhadap orang-orang yang mengingkari-Nya (QS Ali Imron (3): 77.
Dengan memahami makna takut seperti ini, maka yang dimaksud dengan takut (khasyah) kepada Allah adalah takut terhadap murka-Nya, takut terhadap azab-Nya yang meluluh-lantakan seluruh dirinya, takut terhadap api neraka-Nya yang sangat dahsyat dan mengerikan (QS al-Furqan (25): 65, 66, An-nahl (16): 106, an-Nur (24): 37, az-Zumar (39): 13, dan Ibrahim (14): 27-28).
Seorang muslim sudah seharusnya senantiasa berpedoman takut pada pengertian khaufan wa thama’an atau takut dan harap dalam setiap langkah dan perbuatanya dalam arti apakah pekerjaan yang akan dilakuaknnya akan mengakibatkan terkena murka dan laknat Allah atau justru akan mendapatkan ridha dan rahmat-Nya. Apakah sesuatu yang akan dilangkahkan dirinya akan berakibat diseret dan digelandang ke dalam neraka-Nya yang teramat dahsyat, pedih dan mengerikan atau justru akan mendapatkan surga-Nya yang teramat nikmat mempesona. Sikap seorang muslim yang selalu mengacu pada dua pertimbangan seperti di atas akan membuat dirinya menjadi manusia yang bijaksana di hadapan Allah. Dalam sebuah ungkapan hikmah dinyatakan “manggalanya kebijaksanaan (hakikatnya) adalah takut kepada Allah”. Dalam ungkapan lain dikatakan “ The fear of Lord is the beginning of wisdom”, takut kepada Allah adalah awal dari sikap bijaksana.
3) La Tha’atan Illallah
Pengertian ketiga dari kandungan pernyataan la ilaha illallah adalah menafikan atau meniadakan ketaatan yang hakiki kepada siapa pun dan apapun. Taat dan tunduk yang hakiki bagi setiap muslim hanyalah ditujukan kepada Allah (dan rasul-Nya) semata. Sesungguhnya sikap yang ketiga ini merupakan konsekuensi logis akibat dari pernyataan yang kedua la khasyata illallah. Dengan sikap selalu mempertanyakan terlebih dahulu, apakah seuatu yang akan dilangkahkan akan mengakibatkan dirinya terkena laknat atau justru memperoleh rahmat dan nikmat-Nya. Apakah yang akan dilakukan termasuk seuatu yang diharamkan dan dilarang Allah atau sebaliknya yang akan dikerjakannya adalah termasuk yang diperintahkan, disenangi dan diinginkan oleh Allah. Pertimbangan yang demikian cermat, teliti, penuh kehati-hatian dalam bertindak merupakan cermin dari seorang mukmin yang menyadari akan tanggung jawabnya menyatakan la ilaha illallah. Dengan mengikrarkan la ilaha illallah seorang mukmin akan berusaha bersikap loyal serta mentaati seluruh kemauan Allah (QS An-Nur (24): 51, An-Nisa (4): 59, 65).
4) La ‘Ibadatan Illallah
Puncak dari sebuah pernyataan la ilaha illallah adalah menafikan segala sesuatu apa pun wujudnya untuk diagung-agungkan, dipuja dan disanjung, disembah dan dihormati (sujud). Penyembahan dan pengagungan hanyalah diperuntukan kepada allah semata, sebagai satu-satunya zat yang berhak untuk disembah secara total bagi seorang mukmin.
Sesungguhnya sikap yang keempat ini adalah merupakan perwujudan dari berpadunya antara sikap cinta, takut, gentar, serta sikap ketaatan dan kepatuhan yang tak terhingga kepada Allah hingga tidak ada sikap lain kecuali akan menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjadi ‘abid (hamba) yang setia, sebagaimana yang diperintahkan Allah “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS Thaha(20): 14).
Allah sebagai satu-satunya sesembahan adalah konsekuensi tertinggi dari syahadat tauhid uluhiyah. Seseorang yang telah bersyahadat tauhid berarti telah memproklamirkan dan berjanji untuk mengabdikan dirinya kepada Allah semata, artinya tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Ia telah menyatakan dirinya muslim (orang yang tunduk patuh kepada Allah sehingga selamat dunia dan akhirat). Konsekuensinya seluruh hidupnya untuk taat kepada Allah dan keridhaa-Nya.
Dengan demikian jika seseorang telah memulai dengan menegakan la ilaha illallah pada dirinya maka akan tumbuh sikap al-bara’. Al-bara’ berarti melepaskan diri dari setiap bentuk ilah selain Allah (QS (60): 4). Al-bara’ juga berarti pengingkaran, mengambil garis pemisah, dan tegas terhadapal-bathil. Ia merupakan perwujudan syahadah, berupa penolakan terhadap semua ilah, lalu menyerahkan loyalitasnya hanya kepada Allah. Dalam kondisi ini, seorang muslim menjadi manusia merdeka, bebas dari tuhan-tuhan palsu, jerat hawa nafsu syahwat, belengu harta atau tahta/jabatan.
Al-bara’ merupakan proses yang harus dilalui seorang muslim dalam upaya menyiapkan lahan subur bagi tumbuhnya keimanan. Ibarat petani membersihkan lahan, agar pohon ketakwaan dapat berkembang sebagaimana seharusnya. Dengan membatalkan semua bentuk ilah di luar Allah swt dan mengecualikannya hanya Allah, maka akan tumbuh sikap wala’. Al-wala’ berarti loyalitas, siap mentaati perintah Allah dengan kecintaan dan ketaatan, mengabdi semata-mata kepada Allah dan tidak bersedia menjalankan perintah siapa pun, kapan pun, dan dimana pun juga, kecuali jika sesuai (tidak bertentangan) dengan perintah Allah (QS. (5): 54-55).
b.Kalimat Muhammad Rasulullah (Syahadah Risalah)
Syahadah risalah adalah pengakuan ‘persona grata’ (orang yang dipercaya) terhadap rasulullah sebagai duta Allah bagi alam semesta dan kesiapan menjadikan sebagai ‘examplia gratia’ (contoh/uswah) dalam setiap aspek kehidupan (QS (21): 107, (33): 21, (68): 4).
Jika seseorang muslim mengakui nabi saw sebagai persona grata dan siap menjadikanya sebagai examplia gratia, maka barulah dikatakan ia berwala’ (loyal) kepada rasulullah saw. berwala’ kepada nabi berarti harus senantiasa ittiba’ (mengikuti) beliau dalam setiap aspek kehidupan. Karenaittiba’ur-rasul merupakan bukti kecintaan dan ketaatan kepada Allah swt dan rasul-Nya (QS Ali Imron (3): 31-32).
Risalah mengandung pengertian sesuatu yang diwahyukan Allah swt berupa prinsip hidup, moral, ibadah, aqidah, untuk mengatur kehidupan manusia agar terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat. Urgensi (kepentingan) manusia terhadap risalah sangat jelas. Tanpa risalah manusia tidak mungkin mengenal Allah, sifat-sifat-Nya serta tata cara beribadah kepada-nya; manusia tidak akan mengetahui alam ghaib seperti alam barzakh, alam mahsyar, surga dan neraka. Tanpa risalah manusia tidak mengetahui tujuan penciptaan-Nya dan tidak bisa menentukan undang-undang system hidup yang menjamin teralisasinya keadilan dan persamaan hak.
Jalan satu-satunya untuk mengetahui petunjuk Allah ini adalah lewat risalah-Nya yang diintepretasikan oleh rasul-nya. Dengan demikian syahadat risalah juga mengandung pengertian (1) membenarkan setiap apa yang beliau khabarkan (QS (53): 3-4), mentaati perintah yang diperintahkanya (QS (4): 59), menjauhi apa yang dilarang (QS (59):7) dan (4) beribadah menurut syari’at-Nya.
3. Urgensi Syahadat Bagi Seorang Muslim
1)Pintu masuk ke dalam Islam
Syahadat atau kredo merupakan pintu pembuka bagi keislaman seseorang. Dan syahadat ini juga merupakan janji yang telah diikat oleh Allah semenjak manusia itu di alam ruh sebelum di lahirkan ke dunia ini. Oleh karena itu, penegasan syahadat ketika di dunia merupakan perwujudan bukti kesetian janji manusi dengan Allah.
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS Al-A’raf: 172)
2)Intisari Ajaran Islam
Syahadat merupakan inti ajaran Islam, karena di dalam kredo tersebut diungkap tentang kesaksian tentang Allah yang konsekuensinya adalah segala apa yang diwahyukan Allah swt harus ditaati. Dan juga kesaksian kepada Nabi Muhammad saw, yang konsekuensinya adalah harus mengikuti segala ajaran dan sunnahnya tanpa ada pilihan lainya. Dengan demikian maka syahadat merupakan inti dari ajaran Islam yang begitu komplek dan luas.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.(QS Al-Anbiya’:25)
3) Konsep dasar reformasi Total
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا كَذَلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”.(QS Al-An’am: 122)
4)Hakekat Dakwah Para Rasul
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللَّهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).(QS An-Nahl: 36)
D. HIKMAH KEYAKINAN TAUHID
1. Secara Individual
Keyakinan tauhid dalam Islam manakala diimani secara benar akan membentuk pribadi-pribadi muslim yang mempunyai komitmen yang kuat terhadap nilai-nilai kebenaran dan integritas kepribadian yang utuh. Oleh karena itu, impliklasi lebih lanjut dari keyakinan tauhid ini bagi seorang muslim berupa:
1) Kemerdekaan
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am(6): 82)
2)Ketenangan
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ(28)
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Ra’du (13): 28)
3)berkah
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.(QS. Al-A’raf (7): 96)
4)Kehidupan Yang baik
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.(QS. An-Nahl (16): 97)
5)ridha Allah
إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ(7)جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.(QS. Al-Bayyinah (98): 6-7)
6)Surga
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى دَارِ السَّلَامِ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ(25)لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya.(QS. Yunus (10): 25-26)
2. Secara Sosial
1)Kesatuan Niat.
Tauhid mempunyai makna kesatuan niat. Segala motifasi, orientasi dan tujuan hidup kita hanya satu, yaitu Allah SWT. Manakala Allah SWT sudah kita letakan menjadi tujuan hidup kita, motifasi-motifasi lain akan kita tanggalkan. Kita bekerja, berkarya, memberikan pelayanan kepada yang lain didorong oleh keinginan luhur yaitu Allah, Tuhan kita. Manakala kesatuan niat ini dicapai dalam kehidupan umat, maka penindasan terhadap sesama, keinginan menjatuhkan saudara sendiri, ataupun menguasai hak orang lain tanpa hak, niscaya terkikis dalam kehidupan kita.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.(Al-Bayinah: 5)
2)Kesatuan Aqidah
Tauhid mempunyai makna kesatuan aqidah. Allah, Tuhan kita telah mengajarkan dan membimbing kita bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Ini sebenarnya harus menjadi pedoman dan fondasi spiritual kita. Tentunya ini juga harus menjadi jalan hidup kita. Tuhan kita adalah satu mengapa kita harus hidup tercerai berai. Tuhan kita satu, tapi kita masih menuhankan tuhan-tuhan selain Allah.
وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Al-Baqarah: 163)
3)Kesatuan Fikrah/ Pola Fikir
Tauhid juga bermakna kesatuan fikrah/ pola fikir. Pengakuan kepada La ilaha illallah mengajarkan kepada kita tentang pola fikir, cara berfikir tauhid. Cara berfikir ini mempunyai paradigma dasar bahwa pemikiran orang-orang beriman itu holistic, integral, menyeluruh, tidak terpecah-pecah parsial, setengah-tengah. Pola fikir tauhid menekankan aspek fundamental, nilai-nilai dasar yang harus dijunjung tinggi. Hal ini berbeda dengan cara berfikir matrialisme yang lebih menekankan aspek matrial berorientasi tujuan, mengabaikan aspek moral.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (Al-An’am: 153)
4)Kesatuan Kalimat/Bahasa
Tauhid juga bermakna kesatuan kalimat atau bahasa. Orang-orang tauhid mempunyai satu kalimat atau bahasa dalam setiap persoalan atau permasalahan yang mereka hadapi. Ketika saudara-saudaranya tertimpa musibah, mereka mempunyai satu bahasa “menolong”. Ketika orang jahat mengajak pertikaian, mereka mempunyai satu bahasa “kedamaian”.
سَيَقُولُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus. (al-Baqarah: 142)
5)Kesatuan Umat
Tauhid juga bermakna kesatuan umat. Artinya semangat, spirit tauhid, akan mendorong lahirnya kesatuan umat diantara manusia. Jiwa tauhid akan mejadi motor, penggerak bagi bangkitnya kesatuan umat, yang semula tercerai beraikan oleh berbagai mazhab, aliran pemikiran, paham, dan sukuisme.
Hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat - Makalah - Makalah Tentang Hubungan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat
A. HAKIKAT ILMU KALAM
Pengertian Ilmu Kalam
Nama lain dari Ilmu Kalam : Ilmu Aqaid (ilmu akidah-akidah), Ilmu Tawhid (Ilmu tentang Kemaha Esa-an Tuhan), Ilmu Ushuluddin (Ilmu pokok-pokok agama). Disebut juga 'Teologi Islam'. 'Theos'= Tuhan; 'Logos'= ilmu. Berarti ilmu tentang keTuhanan yang didasarkan atas prinsip-prinsip dan ajaran Islam; termasuk di dalamnya persoalan-persoalan ghaib. Menurut Ibnu Kholdun dalam kitab moqodimah mengatakan ilmu kalam adalah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan kepercayaan-keprcayaan iman dengan menggunakan dalil fikiran dan juga berisi tentang bantahan-bantahan terhadap orang-orang yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan menyimpang. Ilmu= pengetahuan; Kalam= pembicaraan'; pengetahuan tentang pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan Persoalan terpenting yang di bicarakan pada awal Islam adalah tentang Kalam Allah (Al-Qur'an); apakah azali atau non azali (Dialog Ishak bin Ibrahim dengan Imam Ahmad bin Hanbal. Dasar Ajarannya; Dasar Ilmu Kalam adalah dalil-dalil fikiran (dalil aqli) Dalil Naqli (Al-Qur'an dan Hadis) baru dipakai sesudah ditetapkan kebenaran persolan menurut akal fikiran. (Persoalan kafir-bukan kafir)…… Jalan kebenaran; Pembuktian kepercayaan dan kebenaran didasarkan atas logika (Dialog Al-Jubbai dan Al-Asy'ari).
B. HAKIKAT TASAWUF
Pengertian Tasawuf
Istilah "tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian atau bersih. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shuffah yang berarti serambi masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh para sahabat-sahabat nabi yang miskin dari golongan Muhajirin. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang memperdulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah yang terbuat dari bulu domba yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
Harun Nasution mendefinisikan tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana orang Islam dapat sedekat mungkin dengan Alloh agar memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan bahwa seseorang betul-betul berada di hadirat Tuhan.
Ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.
Imam Junaid dari Baghdad (910 M.) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (1258 M.) syekh sufi besar dari Afrika Utara mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (1494 M.) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut: Ilmu yang dengannya dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan tentang jalan Islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata. Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'." Menurut Syekh Ibn Ajiba (1809 M): Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnya adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.
Tujuan Tasawuf
Tasawwuf sebagai mana disebutkan dalam artinya di atas, bertujuan untuk memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan dan intisari dari itu adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan. Dalam ajaran Tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat dekat dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh maqamat . mengenai jumlah maqomat yang harus di tempuh sufi bebrbeda-beda, Abu Nasr Al- Sarraj menyebutkan tujuh maqomat yaitu tobat, wara, zuhud, kefakiran, kesabaran, tawakkal, dan kerelaan hati. Dalam perjalananya seorang shufi harus mengalami istilah hal (state). Hal atau ahwal yaitu sikap rohaniah yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia tanpa diusahakan olehnya, seperti rasa takut( al- khauf) , ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur. Jalan selanjutnya adalah fana' atau lebur dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan.
Menurut Taftazani seseorang yang bertasawuf mempunyai beberapa ciri yaitu:
Peningkatan moral, seorang sufi memiliki nilai-nilai moral dengan tujuan membersihkan jiwa. Yaitu dengan akhlak dan budi pekerti yang baik berdasarkan kasih dan cinta kepada allah, oleh karena itu, maka tasawuf sangat mengutamakan adab/ nilai baik dalam berhubungan dengan sesama manusia dan terutama dengan Tuhan (zuhud, qonaah, thaat, istiqomah, mahabbah, ikhlas, ubudiyah, dll). Sirna (fana) dalam realitas mutlak (Allah). Manusia merasa kekal abadi dalam realitas yang Tertinggi, bahkan meleburkan kepadaNya. Maksudnya, menghancurkan atau mensinarkan diri agar dapat bersatu dengan Tuhan. Dan Ketenteraman dan kebahagiaan. Sumber Ajaran Tasawuf : Sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur'an dan Hadits yang didalamnya terdapat ajaran yang dapat memebawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia, yang merupakan ajaran dasarnya dapat dijelaskan dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqoroh ayat 186
C. HAKIKAT FILSAFAT
Pengertian Filsafat
Menurut analisa Al-Farabi filasafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosiphia. Philo berarti cinta dan shopia berarti hikmah atau kebenaran. Menurut Plato, filsuf Yunani yang termashur, murid Scorates dan guru Aristoteles mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang ada.
Marcus Tullius Cicero politikus dan ahli pidato romawi merumuskan filsafat adalah pengatahuan tentang segala sesuatu yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya. Al Farabi filosuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan brtujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya. Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Immanuel Kant yang sering disebut raksasa pikir barat, mengatakan bahwa Filsafat itu merupakan ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup metafisika, etika, agama, dan antripologi. Obyek Filsafat; Dalam filasafat terdapat dua obyek yaitu obyek materia dan obyek formanya. Obyek materianya adalah sarwa yang ada pada garis besarnya dibagi atas tiga persoalan, yaitu: Tuhan, alam, dan manusia. Sedangkan Obyek formannya adalah usaha mencari keterangan secara radikal ( sedalam-dalamnya) tentang obyek materi filsafat ( sarwa yang ada)
D. HUBUNGAN ILMU KALAM, TASAWUF DAN FILSAFAT
Persamaan dan pebedaan
Dari uraian di atas, terdapat titik persamaan dan perbedaan antara Ilmu Kalam Filsafat, dan Tasawuf.
Persamaan pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai 'kebenaran terjauh' dimana tidak semua orang dapat melakukannya dan dari ketiganya berusaha menemukan apa yang disebut Kebenaran (al-haq). Sedangkan perbedaannya terletak pada cara menemukan kebenarannya.
Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya (kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati. Tasawuf menemukan kebenaran dengan melewati beberapa jalan yaitu: maqomat, hal (state) kemudian fana'.
Sedangkan kebenaran dalam Ilmu Kalam berupa diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur'an & Hadis). Kebenaran dalam Filsafat berupa kebenaran spekulatif tentang segala yang ada (wujud) yakni tidak dapat dibuktikan dengan riset, empiris, dan eksperiment. Filsafat menemukan kebenaran dengan menuangkan akal budi secara radikal, integral, dan universal. Hubungannya; Dilihat dari titik persamaan dan perbedaan antara ilmu kalam, tasawuf dan filsafat, maka penulis dapat merumuskan hubungan dari ketiganya adalah saling menguatkan dan membantu dalam mencari kebenaran yang menjadi tujuan utama ketiganya. Walaupun dengan cara yang berbeda. Yaitu pencarian segala yang bersifat rahasia (ghaib) yang dianggap sebagai 'kebenaran terjauh' dimana tidak semua orang dapat melakukannya dan mencari apa yang disebut kebenaran (al-haq).
DAFTAR PUTAKA
Saefuddin, Endang Anshori. 1987. Ilmu Filsafat dan Agama. Surabaya: PT bina Ilmu Offst Nata, abuddin. 2001. Ilmu Kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. www.jadilah.com
PENGERTIAN SYAHADATAIN
Syahadat berasal dari bahasa arab, secara etimologi (bahasa) mengandung makna Persaksian; perjanjian. Adapun pengertian secara terminology (istilah): “Persaksian atau perjanjian seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya”. Perjanjian manusia dengan Allah dimulai semenjak manusia ada di alam arwah Sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi”. agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini “, Q.S. al-A’raf [7]: 172.
Dalam pendekatan Ilmu Akidah Islam, dikenal dengan Syahadatain (dua syahadat). Artinya bahwa syahadat itu, hanya disandarkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Syahadat yang pertama perjanjian yang bersifat Uluhiyyah, karena menggunakan lafadz Ilaha, dari manusia kepada Allah; dan syahadat yang kedua bersifat Kerasulan; karena menggunakan lafadz Rasulullah dari umat kepada utusan Allah.
Dari pengertian syahadat yang kedua yang bersifat kerasulan, umat bersaksi tentang fungsi rasul atau utusan bagi dirinya. Maka akan terjalin ikatan yang kuat antara umat dengan Rasulullah Saw yang melahirkan bimbingan dan kepemimpinan. Demikian penting syahadat yang kedua ini sehingga disejajarkan dengan syahadat yang pertama. (Hubungan Syahadat dengan Bai’at
Kandungan Syahadat atau Madlul Asy-Syahadah mengandung tiga pengertian, yaitu :
1. Al-Iqraar (Pernyataan)
Iqraar yaitu suatu pernyataan seorang muslim mengenai apa yang diyakininya. Pernyataan ini sangat kuat karena didukung oleh Allah SWT, malaikat dan orang-orang yang berilmu, para nabi dan orang yang beriman. Hasil dari ikrar ini adalah kewajiban kita untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang diikrarkan Allah berfirman : "Allah SWT menyatakan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan demikian. Tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa Maha. Juga merupakan ikrar para Nabi yang mengakui kerasulan Muhammad SAW meskipun mereka hidup sebelum kedatangan Rasulullah SAW. Allah berfirman Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman: "Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian Ku terhadap yang demikian itu?" Mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman: " Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu". (QS 3:81).
2. Al-Qasam (Sumpah)
Sumpah yaitu pernyataan kesediaan menerima akibat dan resiko apapun dalam mengamalkan syahadat. Muslim yang menyebut asyhadu berarti siap dan bertanggungjawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran Islam. Pelanggaran terhadap sumpah ini adalah kemunafikan. Syahadat berarti sumpah. Orang-orang munafik berlebihan dalam pernyataan syahadat-nya padahal mereka tidak lebih sebagai pendusta. Sebagaimana firman Allah : "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: "Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar Rasul Allah". Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan." (QS 63:1-2).
3. Al-Miitsaaq (Perjanjian yang Teguh)
Mitsaaq yaitu janji setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap semua perintah Allah SWT yang terkandung di dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasul. Syahadat adalah mitsaq yang harus diterima dengan sikap sam'an wa tho'atan (dengar dan taat) didasari oleh iman yang sebenarnya terhadap Allah SWT, malaikat, kitab-kitab, Rasul-rasul, hari akhir, dan Qadar baik maupun buruk. Pelanggaran terhadap miitsaaq ini berakibat laknat Allah SWT seperti yang pernah terjadi pada orang-orang Yahudi. Allah berfirman : "Dan ingatlah karunia Allah kepadamu dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu mengatakan "Kami dengar dan kami taati". Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati(mu)". (QS 5:7.)
Dari ketiga kandungan inilah akan melahir nilai keimanan yang benar. Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan menyeluruh tanpa rasa keberatan, kepercayaan tanpa pilihan lain terhadap semua keputusan Allah SWT. Iman adalah sikap hidup yang merupakan cermin identitas Islam. Iman sebagai dasar bagi seluruh kegiatan dan tingkah laku manusia agar mendapat ridha dari Allah SWT. Iman bukanlah hanya angan-angan, tetapi sesuatu yang tertanamkan di dalam hati dan harus diamalkan dalam bentuk amal produktif. Amal yang dikerjakan harus merupakan amal shalih yang dilakukan dengan ihsan dan penyerahan yang sempurna kepada kehendak Allah SWT. Dalam melakukan amal tersebut, seorang mukmin merasa dilindungi Allah SWT. Allah berfirman: "Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik ia laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya. (QS 4:125.)
Di antara kekeliruan umat Islam adalah mencontoh sikap Yahudi. Misalnya merasa bahwa neraka merupakan siksaan yang sebentar sehingga tidak risau masuk neraka. Atau mereka akan masuk surga semata-mata karena imannya sehingga tidak perlu beramal shaleh lagi. Allah berfirman : "Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja". Katakanlah: "Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janjiNya, ataukah kamu hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?". (QS 2:80.)
Syahadat yang dinyatakan seorang muslim dengan penuh kesadaran sebagai sumpah dan janji setia ini merupakan ruh iman, yaitu ucapan (al-qoul), membenarkan (at-tashdiq) dan perbuatan (al-'amal).
hubungan ilmu kalam, filsafat dan ilmu tasawuf
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Ilmu kalam biasa disebut ilmu aqoid (ilmu akidah-akidah), ilmu tauhid (ilmu tentang kemaha esaan tuhan), ilmu ushuluddin (ilmu pokok-pokok agama).
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam tuhan. Persoalan-persoalan ini biasanya mengarah sampai pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah)maupun irasional (naqliyah).
Ilmu kalam memiliki hubungan sengan disipin ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ilmu kalam berhubungan terutama dengan filsafat dan tasawuf dan yang lainnya misalnya fiqih dan ushul fiqih jika ditinjau melalui objek kajian, dari hasil kajian (kebenaran) itulah yang memunculkan titik persamaan diantara ketiganya. Sedangkan dari segi metode, perkembangan keilmuan, dasar argumentasi, dan dari aspek aksiologi muncul pula titik perbedaan diantara ketiganya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa masalah dalam pembahasan makalah ini, antara lain :
a. Persamaan antara Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
b. Perbedaan antara Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
c. Keterkaitan antara Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
3. Batasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas ke arah yang tidak menentu maka pembahasan pada makalah ini kami batasi pada persamaan dan perbedaan antara ilmu kalam, filsafat dan tasawuf serta korelasi antara ketigannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Persamaan Ilmu Kalam, Filsafat Dan Tasawuf
Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf memiliki objek kajian yang hampir sama. Objek kajian ilmu kalam adalah tentang ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah manusia, alam dan segala sesuatu yang ada. Sedangkan tasawuf mengkaji tentang tuhan, yakni upaya-upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi, jika dilihat dari aspek objektif ketiga disiplin ilmu ini membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan. Mungkin lebih jelasnya kita lihat pada tabel dibawah ini.
[1]
Persamaan
Ilmu kalam
filsafat
Ilmu tasawuf
Objek kajian
Ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya
Ketuhan, alam, manusia dan segala sesuatu yang ada(khaliq dan makhluk)
Upaya-upaya mendekatkan diri pada tuhan
Hasil kajian
diketahuinya kebenaran ajaran agama melalui penalaran rasio lalu dirujukkan kepada nash (al-Qur’an & Hadis).
Kebenaran dalam Filsafat berupa kebenaran spekulatif tentang segala yang ada(wujud).
Kebenaran dalam Tasawuf berupa tersingkapnya(kasyaf) Kebenaran Sejati (Allah) melalui mata hati.
Sesuai dengan tabel diatas yang menjelaskan secara ringkas bagaimana ilmu kalam, filsafat dan tasawuf di lihat dari aspek objek kajian serta hasil kajian menunjukkan bahwa ketiganya berurusan dengan hal yang hampir sama yaitu kebenaran, ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang ketuhanan dan segala hal yang berkaitan dengan-Nya. Ilmu tasawuf, juga dengan metodenya yang tipikal berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan seperti upaya-upaya pendekatan diri kepada Tuhan. Begitu juga Filsafat dengan argumentasinya yang didasarkan pada logika berusaha menghampiri kebenarab baik tentang alam maupun manusia dan tuhan .Sehingga hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya). Kerelatifan logika menyebabkan beragamnya kebenaran yang dihasilkan.
[2]
Berkaitan dengan keberagaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam filsafat dikenal beberapa istilah kebenaran diantaranya :
a. kebenaran korespondensi : persesuaian antara apa yang ada di dalam rasio dengan kenyataan sebenarnya di alam nyata.
b. Kebenaran koherensi : kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, tidak dianggap suatu kebenaran apabila tidak sesuai dengan kebenaran yang sudah diakui oleh ulama secara umum.
c. Kebenaran pragmatisme : sesuatu yang bermanfaat dan mungkin dapat dikerjakan dengan dampak memuaskan. Jadi, tidak di anggap kebenaran apabila tidak memberi manfaat yang nyata dan sulit untuk dikerjakan.
B. Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat Dan Tasawuf.
Perbedaan diantara ketiga disiplin ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam pada dasarnya menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal dengan istilah dialog keagamaan. Sebagai sebuah dialog keagamaan, ilmu kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional.
Sementara filsafat merupakan ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakan adalah metode rasional. Berusaha menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan apapun kecuali oleh tangannya sendiri yaitu logika.
Adapun ilmu tasawuf lebih menekankan rasa daripada rasio. Oleh sebab itu, sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif.
[3]
Untuk lebih jelasnya kami mencoba menyajikannya secara singkat melalui tabel dibawah ini :
Perbedaan
Ilmu Kalam
Filsafat
Ilmu Tasawuf
Metodologi
Dialektika (jadaliah) atau dikenal dengan istilah dialog keagamaan
Rasional
(Logika dan matematika)
Intuisi atau Ilham
Inspirasi yang datang dari Tuhan
Pertumbuhan Ilmu
Rasional dan tradisional
Sains
(kealaman, sosial, humaniora)
filsafat
(klasik, pertengahan, dan modern)
Praktis dan teoritis
Aksiologi (Manfaatnya)
Mengajak orang mengenal rasio sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional
Mengajak orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara bebas
Memberi kepuasan pada orang yang melepas rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang dicarinya
Sebagian orang memandang bahwa ketiga ilmu itu memiliki jenjang tertentu. Jenjang pertama adalah ilmu kalam, jenjang kedua adalah filsafat kemudian yang terakhir adalah ilmu tasawuf. Oleh karena itu merupakan sebuah kekeliruan apabila dialektika kefilsafatan atau tasawuf di perkenalkam pada masyarakat awam karena akan berdampak terjadinya rational jumping (lompatan pemikiran)
[4]
C. Keterkaitan antara Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf.
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional adalah landasan berpikir yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah bertendensi pada argumentasi yang berupa dalil-dalil al-quran dan al-hadits.
Ø Ilmu Kalam dengan Filsafat.
Ilmu kalam merupakan bagian atau ruang lingkup dari filsafat (Ibn Khadun, A-Iji, Musthafa Abd Al-Razik) terutama filsafat islam karena persoalan – persoalan ketuhanan meluas, yang dalam kenyataannya penggunaan dalil aqli melebihi dalil naqli.
Filsafat dijadikan alat untuk membenarkan nash agama. Filsafat mengawali pembuktiannya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya dengan wahyu, sedangkann ilmu kalam mencari wahyu yang berbicara tentang keberadaan tuhan baru kemudian didukung oleh argumentasi akal.
Ø Ilmu Kalam dengan Ilmu Tasawuf.
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifetasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Adapun pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta upaya menyelamatkan diri dari kemunafikan.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi sebagai :
1. Pemberi wawasan spiritual dalam pemahaman kalam.
2. Penghayatan yang mendalam melalui hati (dzauq) terhadap ilmu tauhid dan ilmu kalam agar lebih terhayati atau teraplikasikan dalam perilaku.
3. Penyempurnaan ilmu tauhid (ilmu tasawuf merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid).
4. Pemberi kesadaran rohaniah dalam perdebatan-perdebatab kalam agar ilmu kalam tidak terkesan sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliyah (hati).
[5]
Sedang dalam kaitannya dengan ilmu tasawuf, ilmu kalam berfungsi sebagai :
1. Pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu jika lahir suatu aliran yang bertentangan dengan akidah atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan al-quran dan as-sunnah atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus ditolak.
Dapat dilihat bahwa ilmu tauhid merupakan jenjang pertama dalam pendakian menuju Allah. Begitu juga Dengan ilmu tasawuf , semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid terasa lebih bermakna, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikatif.
[6]
BAB III
KESIMPULAN
Ø Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf memiliki objek kajian yang hampir sama. Objek kajian ilmu kalam adalah tentang ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah manusia, alam dan segala sesuatu yang ada. Sedangkan tasawuf mengkaji tentang tuhan, yakni upaya-upaya mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi, jika dilihat dari aspek objektif ketiga disiplin ilmu ini membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan
Ø Perbedaan diantara ketiga disiplin ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam pada dasarnya menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal dengan istilah dialog keagamaan. Sebagai sebuah dialog keagamaan, ilmu kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional.
Ø Pada intinya ketiga disiplin ilmu ini mendalami pencarian segala yang bersifat rahasia (gaib) yang dianggap sebagai ‘kebenaran terjauh’ dimana tidak semua orang dapat melakukannya.
[1]
Abdul rozak dan rosihon anwar, ilmu kalam, pustaka setia, bandung, hal. 39-40.
[2]
Ibid, hlm. 40.
[3]
Ibid, hlm. 41
[4]
ibid, hlm. 43
[5]
stit ataqwa, diakses dari
http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/06/hubungan-ilmu-kalam-dengan-filsafat-dan.html
Pada tgl 08 oktober 2011 pukul 09:45
[6]
abdul rozaq dan rosihon anwar, ilmu tasawuf, pustaka setia, bandung, hlm.
MAKNA LA ILAHA ILLA LLOHU
1. Tiada tuhan yg hak di sembah dgn sebenarnya hanya Alloh
2. Tiada yg kaya dan di perlukan selainnya hanya Alloh
3. Tiada yg wajib ada hanya Alloh
4. Tiada yg berhak menerima ibadah hanya Alloh
5. Tiada yg mencipta hanya Alloh
6. Tiada yg memberikan rizki hanya Alloh
7. Tiada yg menghidupkan hanya Alloh
8. Tiada yg mematikan hanya Alloh
9. Tiada yg menggerakkan hanya Alloh
10. Tiada yg mendiamkan hanya Alloh
11. Tiada yg memberikan manfaat hanya Alloh
12. Tiada yg memberikan madorot hanya Alloh
13. Tiada yg memelihara hanya Alloh
LA mengandung sipat kamal
ILAHA mengandung sipat jamal
ILLA mengandung sipat jalal
ALLOHU mengandung sipat qohhar
Dalam lafad ALLOHU
ALIF mengandung sipat kamal
LAM AWAL mengandung sipat jamal
LAM TSANI mengandung sipat jalal
HA mengandung sipat qohhar=
*sipat kamal ada lima
1. Wujud
2. Qidam
3. Baqo
4. Mukholafatu lilhawaditsi
5. Qiyamuhu binafsihi
*sipat jamal ada enam
1. Sama
2. Bashor
3. Kalam
4. Sami'un
5. Bashirun
6. Mutakallimun
*sipat jalal ada empat
1. Qudrot
2. Irodat
3. Ilmu
4. Hayat
*sipat qohhar ada lima
1. Qodirun
2. Muridun
3. 'Alimun
4. Hayyun
5. Wahdaniyat
Makna Ma’rifatullah
• Ma’rifatullah berasal dari kala ma’rifah dan Allah. Ma’rifah berarti mengetahui, mengenal. Mengenal Allah bukan melalui zat Allah tetapi mengenal-Nya lewat tanda-tanda kebesaranNya (ayat-ayatNya).
Pentingnya Mengenal Allah
• Seseorang yang mengenal Allah pasti akan tahu tujuan hidupnya (QS 51:56) dan tidak tertipu oleh dunia .
• Ma’rifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS 6:122). Hakikat ilmu adalah memberikan keyakinan kepada yang mendalaminya. Ma’rifatullah adalah ilmu yang tertinggi sebab jika difahami memberikan keyakinan mendalam. Memahami Ma’rifatullah juga akan mengeluarkan manusia dari kegelapan kebodohan kepada cahaya hidayah yang terang [6:122] .
• Berilmu dengan ma’rifatullah sangat penting karena:
a) Berhubungan dengan obyeknya, yaitu Allah Sang Pencipta.
b) Berhubungan dengan manfaat yang diperoleh, yaitu meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, yang dengannya akan diperoleh keberuntungan dan kemenangan.
Jalan untuk mengenal Allah
1. Lewat akal:
• Ayat Kauniyah / ayat Allah di alam ini:
- fenomena terjadinya alam (52:35)
- fenomena kehendak yang tinggi(67:3)
- fenomena kehidupan (24:45)
- fenomena petunjuk dan ilham (20:50)
- fenomena pengabulan doa (6:63)
• Ayat Qur’aniyah/ayat Allah di dalam Al-Qur’an:
- keindahan Al-Qur’ an (2:23)
- pemberitahuan tentang umat yang lampau [9:70]
- pemberitahuan tentang kejadian yang akan datang (30:1-3, 8:7, 24:55)
2. Lewat memahami Asma’ul Husna:
- Allah sebagai Al-Khaliq (40:62)
- Allah sebagai pemberi rizqi (35:3, 11:6)
- Allah sebagai pemilik (2:284)
- dll. (59:22-24)
Hal-hal yang menghalangi ma’rifatullah
• Kesombongan (QS 7:146; 25:21).
• Dzalim (QS 4:153) .
• Bersandar pada panca indera (QS 2:55) .
• Dusta (QS 7:176) .
• Membatalkan janji dengan Allah (QS 2:2&-27) .
• Berbuat kerusakan/Fasad .
• Lalai (QS 21:1-3) .
• Banyak berbuat ma’siyat .
• Ragu-ragu (QS 6:109-110)
Semua sifat diatas merupakan bibit-bibit kekafiran kepada Allah yang harus dibersihkan dari hati. Sebab kekafiranlah yang menyebabkan Allah mengunci mati, menutup mata dan telinga manusia serta menyiksa mereka di neraka. (QS 2:6-7)
Referensi
Said Hawwa, Allah Jalla Jalaluhu
Aqidah Seorang Muslim 1, Al-Ummah
Makna Muraqabah
Dari segi bahasa muraqabah berarti pengawasan dan pantauan. Karena sikap muraqabah ini mencerminkan adanya pengawasan dan pemantauan Allah terhadap dirinya.
Adapun dari segi istilah, muraqabah adalah, suatu keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa Allah SWT senantiasa mengawasinya, melihatnya, mendengarnya, dan mengetahui segala apapun yang dilakukannya dalam setiap waktu, setiap saat, setiap nafas atau setiap kedipan mata sekalipun.
Syekh Ibrahim bin Khawas mengatakan, bahwa muraqabah “adalah bersihnya segala amalan, baik yang sembunyi-sembunyi atau yang terang-terangan hanya kepada Allah.” Beliau mengemukakan hal seperti ini karena konsekwensi sifat muraqabah adalah berperilaku baik dan bersih hanya karena Allah, dimanapun dan kapanpun.
Salah seorang ulama juga mengungkapkan bahwa muraqabah ini merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah dengan pemahaman sifat “Arraqib, Al-Alim, Assami’ dan Al-Bashir” pada Allah SWT. Maka barang siapa yang memahami Sifat Allah ini dan beribadah atas dasar konsekwensi Sifat-sifat-Nya ini; akan terwujud dalam dirinya sifat muraqabah.
Macam-macam Sifat Muraqabah
Syeikh Dr. Abdullah Nasih Ulwan mengemukakan dalam ‘Tarbiyah Ruhiyah; Petunjuk Praktis Mencapai Derajat Taqwa’ ; ada empat macam bentuk muraqabah, yaitu:
Muraqabah dalam ketaatan kepada Allah SWT, dengan penuh keikhlasan dalam menjalankan segala perintah-Nya Seperti benar-benar menfokuskan tujuan amal ibadahnya hanya kepada Allah dan karena Allah, dan bukan karena faktor-faktor lainnya. Karena ia menyadari bahwa Allah Maha mengetahui segala niatan amalnya yang tersembunyi di balik relung-relung hatinya yang paling dalam sekalipun. Sehingga ia mampu beribadah secara maksimal, baik ketika sendirian ataupun di tengah-tengah keramaian.
Muraqabah dalam kemaksiatan, dengan menjauhi perbuatan maksiat, bertaubat, menyesali perbuatan-perbuatan dosa yang pernah dilakukannya dan lain sebagainya. Sikap seperti berangkat dari keyakinannya bahwa Allah mengetahuinya, dan Allah tidak menyukai hamba-Nya yang melakukan perbuatan maksiat. Sekiranya pun ia telah melakukan maksiat, ia akan bertaubat dengan sepenuh hati kepada Allah dengan penyesalan yang mendalam, karena Allah akan murka pada dirinya dengan kemaksiatannya itu.
Muraqabah dalam hal-hal yang bersifat mubah, seprti menjaga adab-adab terhadap Allah, bersyukur atas segala kenikmatan yang telah diberikan-Nya pada kita, bermuamalah yang baik kepada setiap insan, jujur, amanah, tanggung jawab, lemah lembut, perhatian, sederhana, ulet, berani dan lain sebagainya. Sehingga seorang muslim akan tampil dengan kepribadian yang menyenangkan terhadap setiap orang yang dijumpainya. Dan jadilah ia sebagai seorang dai yang disukai umatnya.
Muraqabah dalam musibah yang menimpanya, yaitu dengan ridha pada ketentuan Allah SWT serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran. Ia yakin bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang datang dari Allah dan menjadi hal yang terbaik bagi dirinya, dan oleh karenanya ia akan bersabar terhadap sesuatu yang menimpanya.
SEJARAH LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERSOALAN KALAM/TEOLOGI DALAM ISLAM
SEJARAH LATAR BELAKANG MUNCULNYA PERSOALAN KALAM/TEOLOGI DALAM ISLAM
Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan politik yang mengangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan yang berujung pada penolakan Mu’awiyah terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan ini mengakibatkan timbulnya perang siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim(arbitrase).
Kemudian hal ini mengakibatkan perpecahan di pasukan Ali sehingga pasukan Ali terbagi menjadi dua. Yang tetap mendukung keputusan Ali disebut golongan Syi’ah sedangkan yang tidak setuju dan keluar dari pasukan Ali disebut golongan Khawarij.
Harun lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang tidak kafir. Persoalan ini telah menimbulkan tiga aliran teologi dalam islam, yaitu:
· Aliran Khawarij, menegaskan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari islam(murtad)dan wajib di bunuh.
· Aliran Murji’ah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa besar yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
· Aliran Mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat diatas. Bagi mereka, orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tapi bukan pula mukmin. Mereka mengambil posisi antara mukmin dan kafir yang dalam bahasa arabnya dikenal dengan istilah al-manzilah manzilatain.
Dalam islam kemudian muncul lagi dua aliran yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Sedangkan Jabariyah berpendapat sebaliknya yaitu manusia tidak punya kemerdekaan berkehendak dan berbuat.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan dari golongan hambal yang mengambil bentuk aliran tradisional yang dipelopori oleh Abu Hasan Al-Asy’ari(935 M).dan juga dari teologi Maturidiyah yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi.
Aliran-aliran Khawarij, Murji’ah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi saat ini, kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai saat ini adalah aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dikenal dengan ahlusunnah wal jama’ah.
a. Khawarij
Subsekte khawarij yang sangat ekstrim yaitu Azariqah, menggunakan istilah yang lebih mengerikan daripada kafir yaitu musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung dalam barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar dalam pandangan mereka disebut kafir millah(agama), dan itu artinya dia sudah keluar dari islam. Si kafir semacam ini kekal di neraka bersama orang kafir lainnya.
Subsekte Najdah tak jauh berbeda dari Azariqah. Jika Azariqah memberi predikat kepada umat islam yang tidak masuk dalam kelompok mereka, Najdah pun memberi predikat yang sama terhadap orang yang melakukan dosa kecil secara berkesinambungan. Akan halnya dengan dosa besar yang dilakukan tidak terus menerus, pelakunya dipandang kafir dan jika dilakukan secara kontinu dipandang musyrik.
Iman dalam pandangan khawarij tidak hanya percaya kepada Allah, mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tetaapi tidak melaksanakan kewajiban agama malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.
Subsekte Khawarij yang sangat moderat (Ibadiyah) memilikki pandangan yang berbeda bahwa setiap pelku dosa besar tetap sebagai muwahhid (yang mengesakan Tuhan), tetapi bukan mukmin atau disebut kafir nikmat dan bukan nikmat millah(agama). Siksaannya di neraka selamanya bersama orang kafir lainnya.
b. Murji’ah
Subsekte Murji’ah ekstrim(Murji’ah Bid’ah) berpendapat bahwa keimanan terletak dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah “Perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran .“ Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar akan disiksa di neraka.
Sementara Murji’ah moderat berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendati pun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksa neraka.
Pendapat Abu Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok Murji’ah moderat lainnya. Ia berpendapat bahwa seorang pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi bukan berarti bahwa dosa yang diperbuatnya tidak berimplikasi. Andaikata masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal didalamnya. Disamping itu, iman menurut Abu Hanifahadalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak berkurang dan tidak bertambah. Agaknya ini merupakan sikap umum yang ditunjukkan oleh Murji’ah baik ekstrim maupun moderat.
c. Paham Qadariyah dan Jabariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinterverensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuasaan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai Qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Jabariayah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Didalam Al-munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Dengan kata lain, manusia mengerjakn perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Asy-Syahratsani, Jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara doktrin Jabariyah ekstrim adala pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauan sendiri, tapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia punya bagian dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab(acquisitin). Menurut faham kasab, manusia tidaklah majbur(dipaksa Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
d. Mu’tazilah
Secara harfiyah kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazila yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam al-ushul al-khamsah adalah :
· At-tauhid
At-tauhid(pengesaan Tuhan)merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Bagi mu’tazilah tauhid memiliki arti yang sfesifik. Tuhan harus di sucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi kemahaesaan-Nya. Oleh karena itu, hanya Dialah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’addud al-qudama.
Untuk memurnikan keesan Tuhan (tanzih), mu’tazilah menolak konsef Tuhan memiliki sifat-sifat
penggambaran fisik Tuhan (antromorfisme tajassum), dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Dia maha melihat, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat-Nya.
· Al-Adl
Al-Adl berarti Tuhan maha adi. Adil ini merupakan sifat yang gambling untuk menunjukkan kesempurnaan. Tuhan dipendang adil apabila bertindak hanya yang baik(ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah0, dan bukan yang tidak baik.
· Al-wa’d wa al-wa’id
Al-wa’d wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang maha adil dan maha bijaksana, tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu member pahala surge bagi yang berbuat baik(al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi).
· Al-Manzilah bain al-manzilatain
Ajaran ini terkenal dengan status orang mukmin yang melakukan dosa besar. Pokok ajaran ini adalah bahwa mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat buakan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasik.
· Al-Amr bi al-ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran dasar kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran (Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan. Perbedaan mazhab mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut mu'tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
e. Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah adalah aliran sinkretis yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub akal dan naql, antara kaum Salaf dan kaum Mu’tazilah. Kaum Asy’ariyah puas dengan menyelaraskan antara kedua belah pihak, mencapai pandangan tengah-tengah yang akhirnya dijadikan prinsip yang dipegangi secara teguh oleh generasi kemudian dan menjadi mantap khususnya di abad-abad terakhir.
Gerakan Asy’ariyah mulai abad ke-4 H. terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok lai, khususnya Mu’tazilah.hingga hari ini, pendapat Asy’ariyah tetap menjadiakidah ahl as-sunnah. Pendapatnya dekat sekali dengan pendapat Maturidi yang satu saat pernah ia disebabkan persaingan dalam masalah fiqh, karena ia mewakili orang-orang Syafi’iah dan Malikiah mendominasi pendapat Asy’ari.
Para pengikut imam Syafi’i dan Maliki mendukung kaum Asy’ariyah, dan berjuang keras untung menyebarkannya hingga ke Andalusia dan Afrika Utara.
f. Maturidiyah
Al-Maturidi merupakan salah satu sekte ahl as-sunnah wal jama’ah, yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminitaskaum rasional dimana yang berada di barisan depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstriminitas kaum tekstualis dimana yang berada pada barisan paling depan adalah kaum Hanabilah (imam Hambal).
Diposkan oleh la fire di
13:31
SEJARAH DAN POKOK AJARAN KHAWARIJ
Definisi
Ada banyak arti dari kata Khawarij yang dimunculkan, diantaranya :
Bentuk jamak dari kharij (orang yang keluar) : Orang-orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib.
Nama Khawarij terambil dari al-Quran, 4:100 :
ayat itu memberikan pengertian bahwa “keluar dari rumah untuk berjuang di jalan Allah.” Kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai orang-orang yang keluar dari rumah semata-mata untuk berjuang di jalan Allah swt.
Al-Muhakkimah. Nama ini berasal dari semboyan mereka yang terkenal “la hukma illa li Allah” (tiada hukum kecuali hukum Allah) atau “la hakama illa Allah” (tidak ada perbuatan hukum kecuali Allah). Berdasakan alasan inilah mereka menolak keputusan Ali untuk ikut melakukan arbitrasi (tahkim), dan yang baerhak memutuskan adalah Allah.
Syurah, yang berasal dari bahasa Arab yasyri (menjual). Penamaan ini didasarkan al-Quran, 2:207 :
Golongan ini memang menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang berkorban demi mencapai keridlaan Allah swt.
Haruriyah, berasal dari kata Harura, tempat mereka berkumpul setelah meninggalkan barisan Ali. Tempat ini kemudian dijadikan pusat kegiatan mereka.
Al-Mariqah, berasal dari kalimat maraqa yang artinya “anak panah keluar dari busurnya.” Nama yang dialamatkan kepada mereka, karena mereka dianggap telah keluar dari agama itu diberikan oleh lawan-lawan mereka.
Sejarah
Kelompok Khawarij merupakan aliran teologi pertama yang muncul dalam dunia Islam, yakni abad I H/8 M pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib. Kemunculannya dilatabelakangi oleh pertikaian politik antara Ali dengan Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu itu maenjabat sebagai gubernur Syam (sekarang : Suriah). Muawiyah menolak memberikan baiat kepada Ali yang terpilih sebagai khalifah sehingga Ali mengerahkan bala tentara untuk menggempur Muawiyah. Muawiyah juga mengumpulkan pasukan untuk menghadapi Ali. Kedua pasukan itu lalu bertemu di suatu tempat bernama Siffin. Pertempuran yang dinilai dahsyat dan tergolong besar terjadi antara kedua belah pihak, buktinya dengan banyak korban. Di pihak Ali, 25.000 orang gugur, sementara di pihak Muawiyah 45.000 personel tewas.
Dalam pertarungan ini ini pihak Ali memperlihatkan akan memperoleh kemenangan dan berhasil mendesak pasukan Muawiyah. Amr ibn As yang ikut berperang di pihak Muawiyah mengusulkan kepada Muawiyah agar memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf (kumpulan lembaran) al-Quran dengan ujung tombak sebagai isyarat minta damai. Pada mulanya, Ali tidak mau menerima tawaran damai Muawiyah tersebut. Tetapi, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama para qurra’ (pembaca) dan huffadz(penghafal), diputuskan untuk mengadakan arbitrasi (tahkim). Sebagai hakam atau penengah, diangkat dua orang, yaitu Abu Musa al-Asy’ari yang dikenal lurus mewakili kelompok Ali dan Amr ibn As yang licik menjadi delegasi golongan Muawiyah. Keputusan Ali menerima arbitrasi sebagai jalan penyelesaian sengketa tentang khilafah dengan Muawiyah ternyata tidak didukung oleh semua pengikutnya. Mereka yang tidak setuju dengan sikap Ali keluar dari barisan, lalu mengangkat Abdullah ibn Wahab al-Rasibi sebagai pemimpin mereka yang baru. Kelompok ini kemudian memisahkan diri ke Harura, suatu desa dekat Kufah. Mereka inilah yang dikenal dengan sebutan golongan Khawarij.
Seiring perjalanan waktu, kaum Khawarij di Harura berhasil menyusun kekuatan dan memperoleh banyak pengikut, sehingga mereka berani menyatakan pembangkangan terhadap Ali. Menurut keyakinan mereka, Ali dan Muawiyah serta semua yang menyetujui arbitrasi dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Oleh karenanya, mereka harus ditentang dan dijatuhkan. Untuk menumpas kaum Khawarij tersebut, Ali menyiapkan sepasukan tentara dan kemudian kedua pasukan itu bertempur di sebuah tempat yang bernama Nahrawan. Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan tentara Ali dan hampir seluruh kekuatan Khawarij dapat dimusnahkan. Menurut Abdul Karim Syahristani, tidak sampai sepuluh orang kaum Khawarij yang selamat dari peperangan ini. Lainnya tumbang dalam medan perang, termasuk pemimpin mereka Abdullah ibn Wahab al-Rasibi. Akan tetapi, kekalahan total di Nahrawan tidak membuat kaum Khawarij patah semangat, malah justru membangkitkan semangat jihad mereka untuk menjatuhkan Ali. Akhirnya salah seorang di antara mereka yang bernama Abdurrahman ibn Muljam berhasil membunuh Ali saat beliau keluar rumah hendak melaksanakan shalat Subuh pada 17 Ramadlan 40 H/24 Januari 661 M. Sirajuddin Abbas menambahkan bahwa rencana pembunuhan yang dirancang oleh kaum Khawarij tidak saja Ali, tetapi juga terhadap Muawiyah yang akan dilakukan oleh al-Barak dan Amr ibn As yang akan dilaksanakan oleh Umar ibn Bakir. Amr ibn As akan dibunuh karena dinilai sebagai delegasi Muawiyah dalam arbitrasi yang menipu. Tetapi pembunuhan terencana terhadap keduanya tidak berhasil.
Sekte-sekte dalam Khawarij
Mengenai jumlah sekte Khawarij, para ulama berbeda pendapat. Yakni :
Abu Musa al-Asy’ari menyebutkan lebih dari dua puluh sekte.
al-Baghdadi (ahli ushul fiqh) berpendapat ada dua puluh sekte.
Syahristani mengatakan delapan belas sekte.
Ada ulama yang hanya menghitung sekte-sekte yang utama, seperti Mustafa al-Syak’ah (seorang ahli ilmu kalam) menyebut delapan sekte, yaitu :
i) Al-Muhakkimah
ii) Al-Azariqah
iii) Al-Najdat
iv) Al-Baihasiyah
v) Al-Ajaridah
vi) Al-Sa’alibah
vii) Al-Ibadiyah
viii) Al-Sufriyah
Abu Zahrah (ahli fiqh, ushul fiqh dan kalam) menerangkan empet sekte saja, yaitu :
i. Al-Najdat
ii. Al-Sufriyah
iii. Al-Ajaridah
iv. Al-Ibadiyah
Harun Nasution (ahli filsafat Islam dan mantan rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) dalam bukunya Filsafat Islam mengatakan ada enam sekte penting, yaitu :
i. Al-Muhakkimah
ii. Al-Azariqah
iii. Al-Najdat
iv. Al-Ajaridah
v. Al-Ibadiyah
vi. Al-Sufriyah
Pokok Ajaran Khawarij
Paham dan ajaran pokok dari setiap sekte Khawarij yang penting adalah sebagai berikut :
al-Muhakkimah di pandang sebagai golongan Khawarij asli karena terdiri dari pengikut-pengikut yang kemudian membangkang. Nama tersebut berasal dari semboyan mereka yang terkenal “la hukma illa li Allah” (tiada hukum kecuali hukum Allah) yang merujuk kepada al-Quran, al-Quran, 6:57 :
Mereka menolak arbitrasi karena dianggap bertentangan dengan perintah Allah swt. dalam al-Quran, 49:9 :
yang menyuruh memerangi kelompok pembangkang sampai mereka kembali ke jalan Allah swt. Selanjutnya, dalam paham sekte ini Ali, Muawiyah dan semua orang yang menyetujui arbitrasi dituduh telah kafir mereka telah menyimpang dari ajaran Islam, seperti tercantum dalam al-Quran, 5:44
Kemudian mereka juga menganggap kafir orang-orang yang berbuat dosa besar, seperti membunuh tanpa alasan yang sah dan berzina.
al-Azariqah. Sekte ini lahir sekitar tahun 60 H (akhir abad ke 7 M) di daerah perbatasan Irak dan Iran. Nama al-Azariqah dinisbatkan kepada pemimpin sekte ini, Nafi’ ibn Azrak al-Hanafi al-Hanzali. Sebagai khalifah, Nafi’ digelari Amir al-Mukminin. Menurut al-Baghdadi, pendukungnya berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Berbeda dengan al-Muhakkimah, al-Azariqah membawa paham yang lebih ekstrim. Paham mereka antara lain ialah bahwa setiap orang Islam yang menolak ajaran al-Azariqah dianggap musyrik. Pengikut al-Azariqah, yang tidak sudi berhijrah ke dalam wilayah mereka, juga dianggap musyrik. Menurut mereka, semua orang yang musyrik boleh ditawan atau dibunuh, termasuk anak dan istri mereka. Berdasarkan prinsip ini, pengikut al-Azariqah banyak melakukan pembunuhan terhadap sesama umat Islam yang berada di luar daerah mereka. Mereka memandang daerah mereka sebagai wilayah Islam (dar al-Islam), di luar daerah itu dinilai sebagai kawasan kafir (dar al-kufr).
al-Najdat. Sekte ini adalah kelompok yang dipimpin oleh Najdah ibn Amir al-Hanafi, penguasa daerah Yamamah dan Bahrein. Lahirnya kelompok ini sebagai reaksi terhadap pendapat Nafi’, pemimpin al-Azariqah, yang mereka pandang terlalu ekstrim. Pendapat itu ialah tentang pemusyrikan terhadap pengikut al-Azariqah yang tidak hijrah ke wilayah kelompok itu dan tentang kewenangan membunuh anak-istri yang musyrik. Pengikut al-Najdat memandang Nafi’ dan pengikutnya telah kafir.
Paham al-Najdat yang terpenting adalah bahwa orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka dianggap kafir, dan kekal dalam neraka. Sementara pengikut al-Najdat tidak akan kekal dalam neraka walaupun melakukan dosa besar. Selanjutnya, menurut mereka, dosa kecil jika dilakukan secara kontinyu akan meningkat menjadi dosa besar. Paham lain yang di bawa adalah menyembunyikan identitas keimanan demi keselamatan (taqiyah); dalam hal ini seseorang diperbolehkan mengucapkan kata-kata atau tindakan yang bertentangan dengan keyakinan. Dalam perkembangannya, sekte ini mengalami perpecahan. Beberapa tokoh penting dari sekte ini, seperti Abu Fudaik dan Rasyid al-Tawil, membentuk kelompok oposisi terhadap al-Najdat yang berakhir dengan terbunuhnya Najdat pada tahun 69 H/688 M.
Al-Ajaridah. Pemimpin sekte ini adalah Abdul Karim ibn Ajarrad. Dibandingkan dengan al-Azariqah, pandangan-pandangan kaum al-Ajaridah jauh lebih moderet. Mereka berpendapat bahwa tidak wajib berhijrah ke wilayah mereka seperti yang diajarkan Nafi’, tidak boleh merampas harta dalam peperangan kecuali harta orang yang mati terbuuh dan tidak dianggap musyrik anak-anak yang masih kecil. Bagi mereka, al-Quran sebagai kitab suci tidak layak memuat cerita-cerita percintaan, seperti yang terkandung dalam surah Yusuf. Oleh karena itu, surah Yusuf dipandang bukan bagian dari al-Quran.
Al-Sufriyah. Sekte ini membawa paham yang mirip dengan paham al-Azariqah, hanya lebih lunak. Nama al—Sufriyah baerasal dari nama pemimpin mereka, Ziad ibn Asfar. Pendapatnya yang penting adalah istilah kufr atau kafir (mengandung dua arti, yaitu kufr al-ni’mah‘mengingkari nikmat Tuhan’ dan kufr bi Allah ‘mengingkari Tuhan’). Untuk arti petama, kafir tidak berarti keluar dari Islam. Tentangtaqiyah, mereka hanya membolehkan dalam bentuk perkataan, tidak boleh berupa tindakan, kecuali bagi wanita Islam yang diperbolehkan menikah dengan lelaki kafir bila terancam keamanan dirinya.
Al-Ibadiyah. Sekte ini dimunculkan oleh Abdullah ibn Ibad al-Murri al-Tamimi pada tahun 686. Doktrin mereka yang terpenting antara lain bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin, melainkan muwahid (orang yang dimaksud adalah kafir nikmat, yaitu tidak membuat pelakunya keluar dari agama Islam). Selanjutnya, yang dipandang sebagai daerah dar al-kufr hanyalah markas pemerintahan dan itulah yang harus diperangi. Selain daerah itu, disebut dar al-tauhid (wilayah orang-orang Islam), tidak bolah diperangi. Tentang harta yang boleh dirampas dalam perang, mereka hanya menetapkan kuda dan alat perang. Kelompok ini dianggap sebagai golongan yang paling moderat dalam Khawarij.
MURJI’AH (Pemikiran, Doktrin, dan Sekte-Sektenya)
MURJI’AH
(Pemikiran, Doktrin, dan Sekte-Sektenya)
PENDAHULUAN
Perpecahan kaum muslimin menjadi kelompok-kelompok pemikiran yang banyak tidak dapat dipungkiri lagi. Semua itu tidak lepas dari jauhnya mereka dari ajaran Rasulullah dan para sahabatnya dalam beragama.
Munculnya kelompok murji’ah ini diawal masa tabi’in tepatnya setelah selesai pemberontakan atau fitnah Ibnu Al-Asy’ats, sebagaimana dinyatakan Qataadah bin Da’aamah As-Sadusi, “Irja’ (pemikiran murji’ah) munculnya setelah kekalahan Ibnu al-Asy’ats”.
Dalam kesempatan ini, kami akan memaparkan aliran Teologi Murji’ah, meliputi: asal usul kemunculan, pemikiran, dan perbandingan sekte-sekte Murji’ah.
PEMBAHASAN
A. Asal-Usul kemunculan Murji’ah
Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a bermakna juga memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan Rahmat Allah. Selain itu, arja’a juga berarti meletakkan di belakang atau mengkudiankan, yaitu orang yang mengutamakan iman daripada amal. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa (yakni Ali dan Muawiyah serta pengikut masing-masing) kelak di hari kiamat.
Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah sebagai kelompok politik maupun Teologis diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Yang mana kelompok Murji’ah merupakan musuh berat Khawarij.
Teori kedua mengatakan bahwa gagasan irja muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Tholib yaitu Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 M. Dengan gerakan politik tersebut Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui Kekhalifahan Muawiyah.
Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan Arbitrase (Tahkim) atas usulan Amr bin Ash (kaki tangan Muawiyah). Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali disebut Khawarij. Khawarij berpendapat bahwa Tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an atau dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah dikatakan dosa besar dan pelakunya dihukumi dengan kafir sama dengan perbuatan dosa besar lainnya, seperti: berzina, riba, membunuh tanpa alasan, durhaka kepada orang tua, dan menfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah. Murji’ah mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan diampuni atau tidak kelak di hari kiamat.
Ciri-ciri faham Murji'ah, diantaranya adalah :
1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
B. Doktrin-Doktrin Murji’ah
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun Teologis.
Dalam bidang politik doktrin irja diimplementasikan dengan sikap netral atau non blok, yang mana hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Oleh karena itulah kelompok Murji’ah dikenal dengan sebutan
The Queietists (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya berimplikasi begitu jauh sehingga membuat Murji’ah selalu diam dalam persoalan politik.
Sedangkan dalam bidang Teologis, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi masalah-masalah Teologis yang muncul pada saat itu. Seperti masalah iman, dosa besar, dan kufur.
Berkaitan dengan doktrin Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu:
1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah kelak di hari kiamat.
2. Menyerahkan keputusan Kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakkan/ mementingkan iman daripada amal.
4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
Masih berkaitan dengan doktrin Murji’ah, W. Montgomery Wattt merincinya sebagai berikut:
1. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk menduduki rangking keempat dalam peringkat Khulafaur Rasyidin.
3. Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan Rahmat Allah.
Doktrin Murji’ah tidak akan menetap terus di neraka, jika di dalam hatinya masih ada setitik iman. Hal ini di landaskan Jawaban Nabi, suatu ketika ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi. “Ya Rasulullah di mana letak iman itu?”. Nabi menjawab:
ا لا ما ن ها هو نا
(Iman di dalam Hati) sambil Nabi Menunjuk dada Beliau.
Inilah yang melatarbelakangi pemikiran aliran Murji’ah, yang berbeda dengan apa yang kita yakini saat ini. Karena Murji’ah memahami/ menafsirkan al-Quran dan al-Hadits apa adanya sesuai dengan kemampuan mereka. Hal itu menyebabkan orang menjadi permisif (tidak takut dengan dosa), karena dosa sebesar apapun kelak di akhirat masih berkesempatan masuk surga.
C. Sekte-Sekte Murji’ah
Kemunculan sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah itu sendiri tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri.
Muhammad Imarah menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:
1. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan
2. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalihi
3. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus as-Samary
4. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus
5. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban
6. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan ad-Dimsaqy
7. An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr
8. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah an-Nu’man
9. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib
10. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi
11. Al-Murisiyah, pengikut Basr al-Murisy
12. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam as-Sijistany
Adapun Ash-Syarastani menyebutkan Sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:
1. Murji’ah Khawarij
Mereka adalah Syabibiyyah dan sebagian kelompok Shafariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar.
2. Murji’ah Qadariyah
Mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad Damsyiki sebutan mereka Al Ghilaniah
3. Murji’ah Jabariyah
Mereka adalah Jahmiyyah (para pengikut Jahm bin Shafwan), Mereka hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam hati saja .Dan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman dan bahwasanya ikrar dengan lisan dan amal bukan dari iman.
4. Murji’ah Murni
Mereka adalah kelompok yang oleh para ulama diperselisihkan jumlahnya.
5. Murji’ah Sunni
Mereka adalah para pengikut Hanafi, termasuk di dalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad bin Abi Sulaiman juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah orang-orang yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
Sedangkan Harun Nasution, secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah hanya menjadi dua Sekte, yaitu:
1. Murji’ah Moderat, adalah iman cukup dengan membenarkan dalam hati (Tashdiqun bil Qalbi) dan diucapkan dengan lisan (Ikrarun bil Lisan), tidak perlu mengaplikasikannya ke dalam perbuatan (‘Amalun bil Jawarir). Murji’ah Moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, dan tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya dan apabila diampuni oleh Allah tidak akan masuk neraka lagi sama sekali. Mengenai Iman Murji’ah Moderat berpendapat bahwa Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya serta apa saja yang dating dari Allah secara keseluruhan namun dalam garis besar. Iman seseorang tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Penggagas Murji’ah Moderat adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa Ahli Hadist lainnya.
2. Murji’ah Ekstrim, adalah Iman cukup hanya dengan membenarkan dalam hati saja. Tidak perlu pengucapan dengan lisan dan pengaplikasian ke dalam perbuatan. Murji’ah Ekstrim terdiri dari: Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Yang mana pandangan tiap-tiap kelompok itu dijelaskan sebagai berikut:
a. Al-Jahmiyah
Kelompok Jahm bin Shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan Kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
b. Ash-Shalihiyah
Kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa Iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan Kufur adalah tidak tahu Tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, karena yang disebut ibadah adalah iman kepada Allah dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu juga dengan zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan saja.
c. Al-Yunusiyah dan Al-Ubaidiyah
Kelompok ini berpandangan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
d. Al-Hasaniyah
Kelompok ini menmyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”. Maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik Haji ke Ka’bah bagi yang mampu, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah itu di India atau tempat lain”.
KESIMPULAN
Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa (yakni Ali dan Muawiyah serta pengikut masing-masing) kelak di hari kiamat.
Ajaran pokok Murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun Teologis. Diantaranya, Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah: Pertama, Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Murji’ah sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan. Kedua, Selama meyakini dua Kalimah Syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.
Sekte-sekte dalam kelompok Murji’ah terdapat banyak sekali perbedaan antar peneliti yang satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, pada dasarnya terbagi menjadi dua sekte, yaitu: Murji’ah Moderat dan Murji’ah Ekstrim.
SEJARAH KEMUNCULAN MU’TAZILAH
Aliran ini muncul di Bashrah pada abad ke 8 (2 H), berawal dari sikap Washil bin Atha’ (700-750 M / 80-131 H) memisahkan diri dari majlis ta’lim gurunya, Hasan al Bashri di sebuah masjid Raya Bashrah. Hal ini disebabkan karena Washil bin Atha’ mempunyai pendapat berbeda dengan gurunya, yang berkaitan dengan masalah orang mukmin yang melakukan dosa besar. Menurut Washil bin Atha’, mukmin yang melakukan dosa besar jika tidak bertaubat, statusnya tidak mukmin lagi, (sedang menurut gurunya : statusnya mukmin), tetapi jatuh kepada fasik, namun tidak jatuh kepada status kafir (yang menurut Khawarij : statusnya kafir). Fasik menurut Washil bin Atha’, adalah : al Manzilah bain al manzilatain (suatu posisi / status diantara dua posisi). Fasik berada dibawah mukmin tapi diatas kafir. Setelah memisahkan diri, Washil bin Atha’ membentuk halaqoh sendiri di masjid yang sama. Jama’ah yang dipimpin oleh Washil bin Atha’ itulah yang mendapat nama Mu’tazilah.
Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada sebelum masa Hasan al Bashri, kurang lebih 100 tahun. Penyebutan Mu’tazilah untuk Washil bin Atha’, ‘Amr bin Ubaid dan kawan-kawannya hanya menghidupkan kembali sebutan lama.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Secara etimologis, kata Mu’tazilah berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
ASAL-USUL SEBUTAN MU‘TAZILAH
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin Atha’ serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Bashri di Bashrah. Ketika Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Bashri di masjid Bashrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Bashri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Bashri masih berpikir, Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian Washil menjauhkan diri dari Hasan Al Bashri dan pergi ke tempat lain di lingkungan masjid. Di sana Washil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Bashri berkata: “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Washil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Bashri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Bashrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majelis Hasan Al Bashri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Bashri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al Bashri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain). Dalam artian mereka memberi status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
Untuk mengetahui asal-usul nama Mu’tazilah itu dengan sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat diajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat di antara mereka. Yang jelas ialah, bahwa nama Mu’tazilah sebagai designatie bagi aliran teologi rasional dan liberal dalam Islam timbul sesudah peristiwa Washil dengan Hasan al Bashri dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa di Masjid Bashrah itu telah pula terdapat kata-kata I’tazala, al Mu’tazilah. Tetapi apa hubungan yang terdapat antara Mu’tazilah I dan II, fakta-fakta yang ada belum dapat memberikan kepastian. Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan nama Mu’tazilah kepada Washil bin Atha‘ dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas.
Golongan ini juga dinamakan golongan qadariyah, karena mereka menganut faham free will and free act, yakni bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat. Jadi segala gerak gerik manusia tidak dicampuri oleh iradat dan qudrat Allah. Adapun sebutan Mu’tazilah yang lain adalah:
Ahlul ‘Adl Wa at-Tauhid (golongan yang mempertahankan keadilan dan keesaan Allah).
Ahlul Haq (golongan yang benar).
Ats‑Tsanawiyah dan Al‑Majusiyah (kaum Dualis dan Majusi). Sebutan ini ditolak oleh Mu’tazilah.
Al‑Khawarij, karena sejalan dengan pendapat Khawarij tentang dosa besar, apabila tidak bertaubat akan kekal di neraka, walaupun mereka mengatakan bahwa orang itu tidak kafir.
Al‑Wa’idiyah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman Allah pasti akan menimpa manusia yang tidak taat hukum. Nama ini berasal dari golongan Murjiah.
Al‑Mu’aththilah, yaitu bahwa kaum Mu’tazilah menolak adanya sifat‑sifat Allah yang azali, juga menolak untuk mengambil pengertian makna lahiriah dari ayat‑ayat Al-Quran dan as-Sunnah jika tidak sesuai dengan pendirian mereka.
TOKOH-TOKOH ALIRAN MU’TAZILAH
Dari segi geografis Mu’tazilah dibagi menjadi 2 yaitu aliran mu’tazilah Bashrah dan aliran mu’tazila Baghdad .Aliran Bashrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama- tama mendirikan aliran mu’tazilah. perbedaan antara kedua aliran mu’tazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kulturil.
Tokoh- tokoh aliran Bashrah antara lain:
Washil bin ‘Atha’ ( 80-131 H/ 699-748 M)
Terkenal sebagai pendiri aliran mu’tazilah dan kepalanya yang pertama. Ia pula yang terkenal sebagai orang yang meletakkan lima prinsip dasar.
Al-‘Allaf ( 135-226 H/ 752-840 M)
Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad bin Al-Huzail Al-‘allaf. puncak kebesarannya dicapainya pada masa khalifah Al-Ma’mun, karena khalifah ini pernah menjadi muridnya dalam perdebatan mengenai soal agama. Menurut riwayat pada tiga ribu orang yang masuk islam di tangannya. Ia banyak berhubungan dengan filosof- filosof dan buku- buku filsafat.
An-Nazham ( wafat 231 H/ 845 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.
Al-Jubbai (wafat 303 H/ 915 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah dan murid as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.
Tokoh- tokoh aliran Baghdad antara lain:
Bisjr bin Al-Mu’tamir (wafat 226 H/ 840 M)
Ia memiliki pandangan mengenai kesusastraan. Ia adalah orang yang pertama kali mengemukakan soal “tawallud” (reproduction) yang boleh jadi dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya.
Al-Chayyat (wafat 300 H/ 912 M)
Nama lengkapnya adalah Abu al-Husein Al-Khayyat. ia adalah pengarang buku “al-Intisar” yang dimaksudkan untuk membela aliran mu’tazilah.
Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat 1024 M)
Ia mengulas tentang pokok-pokok ajaran aliran mu’tazilah, terdiri dari beberapa jilid dan banyak dikutip oleh as-Syarif al Murtadha.
Az-Zamaihsyari (467-538 H/ 1075-1144M)
Nama lengkapnya adalah Jar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Makkah untuk bertempat di sana beberapa tahun dan akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Jurjan (Persi-Iran). Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu, dan paramasastera (lexicology).
2.4. AJARAN-AJARAN POKOK ALIRAN MU’TAZILAH
Aliran mu’tazilah berdiri atas lima prinsip utama:
Keesaan (at-Tauhid)
At-Tauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran mu’tazilah. Tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang menyamai-Nya. Untuk memurnikan keesaan Tuhan, mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun yang menyerupai-Nya.
Keadilan Tuhan (Al-Adlu)
Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptrakan untuk kepentingan manusia.
Janji dan ancaman (al-Wa’du wal Wa’idu)
Ajaran ini tidak memberi peluang kepada Tuhan selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia untuk berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
Tempat di antara dua tempat (Al manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hasan Basri, seperti yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya, seorang muslim yang mengerjakan dosa besar selain syirik, bukan lagi menjadi orang mu’min, tetapi tidak menjadi kafir, melainkan menjadi orang fasik. Jadi, kefasikan merupakan tempat tersendiri antara “kufur” dan “iman”.
Menyuruh kebaikan dan melarang keburukan (‘amar ma’ruf nahi munkar)
Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
2.5. TINJAUAN TENTANG ALIRAN MU’TAZILAH
Sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya, dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naqal sebelum lahir aliran mu’tazilah. Mereka telah melepaskan akal sebebas-bebasnya dalam membahas semua persoalan tanpa mengenal batas, baik yang bertalian dengan langit atau bumi, dengan Tuhan atau manusia, baik yang besar maupun yang kecil.
Karena keberanian dan ketidak ragu-raguan mereka dalam memegangi hasil pemikirannya, maka mereka hanya menerima dalil-dalil naqal, yang sesuai dengan dalil-dalil akal pikiran dan mena’wilkan yang menyalahinya. Akal pikiran lah yang menjadi hakim terhadap ayat-ayat mutasyabihat dan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan ketentuan akal pikiran.
Setelah beberapa tahun lamanya aliran mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, terutama pada masa khalifah al ma’mun, al mu’tasim, dan al watsiq, akhirnya mereka mengalami kemunduran. Kemunduran ini adalah karena perbuatan mereka sendiri.mereka hendak mempertahankan kebebasan berfikir, tetapi mereka sendiri memusuhi orang-orang yang tidak mengikuti paham mereka.
Kegiatan orang-orang mu’tazilah baru hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongolia atas dunia islam. Meskipun demikian, paham dan ajaran aliran mu’tazilah yang penting masih hidup sampai sekarang dikalangan Syiah Zaidiah.
Makalah Agama, Sejarah dan Pokok-pokok Ajaran Maturidiyah
A. Sejarah Aliran Maturidiyah
Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturudi lahir di Samarkand pada pertengahan ke dua dari abad ke sembilan Masehi dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya.Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiah.
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal).
Memang aliran Asy’ariyah lebih dulu menentang paham-paham dari aliran Mu’tazilah.Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia.Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri.Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah.Kerana itu juga, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.
B. Pokok-pokok Ajaran Aliran Maturidiyah
1. Mengenai sifat-sifat Allah Swt.
Baginya Tuhan memiliki sifat-sifat.Tuhan Mengetahui bukan dengan zat-Nya tapi dengan pengetahuan-Nya, dan berkusa pun bukan dengan zat-Nya.
Al-Maturidi juga menerima segala sesuatu yang disifatkan Allah Swt. kepada diri-Nya sendiri, baik berupa sifat maupun keadaan. Sekalipun demikian, ia menetapkan bahwa Allah Maha Suci dariantropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Hampir sependapat dengan aliran Mu’tazilah, yang mengatakan bahwa antara Dzat dan sifat-sifat Allah itu tidak terpisah.Sehingga dalam hal ini, jelas al-Maturidi lebih dekat dengan aliran Mu’tazilah.
Melihat Allah Swt.
Pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah Swt. (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah Swt., hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat.
Pelaku dosa besar
Al-Maturidi mengatakan bahwa orang mu’min yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah Swt. Jika Allah Swt. menghendaki maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikkan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah Swt. menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka. Dengan demikian, orang mu’min berada di antara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar
C. Maturudiyah Bukhara (al Bazdawi)
Ø Riwayat hidupnya
Nama lengkapnya ialah Abu Yusr Muhammad bin Muhammad bin al Husain bin Abd. Karim al Bazdawi, dilahirkan pad tahun 421 H. Kakek al Bazdawi yaitu Abd. Karim, hidupnya semasa dengan al Maturidi dan salah satu murid al Maturidi, maka wajarlah jika cucunya juga menjadi pengikut aliran Maturidiyah. Sebagai tangga pertama, al Bazdawi memahami ajaran-ajaran al Maturidi lewat ayahnya.Al Bazdawi mulai memahami ajaran-ajaran al Maturidiyah lewat lingkungan keluarganya kemudian dikembangkan pada kegiatannya mencari ilmu pada ulama-ulama secara tidak terikat.
Al Bazdawi berada di Bukhara pada tahun 478 H / 1085 M. Kemudian ia menjabat sebagai qadhi Samarkand pada tahun 481 H / 1088 M, lalu kembali di Bukhara dan meninggal di kota tersebut tahun 493 H / 1099 M.
Ø
Pemikiran-pemikiran al Bazdawi
1. Akal dan Wahyu
Al Bazdawi berpendapat bahwa akal tidak dapat mengetahui tentang kewajiban mengetahui Tuhan sekalipun akal dapat mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk. Kewajiban mengetahui Tuhan haruslah melalui wahyu
Dalam paham golongan Bukhara dikatakan bahwa akal tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang membuat kewajiban-kewajiban menjadi suatu kewajiban. Di sini dapat dipahami bahwa mengetahui Tuhan dalam arti berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu tidaklah wajib bagi manusia.
2. Sifat-sifat Tuhan
Al Bazdawi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Tuhan pun qadim. Akan tetapi untuk menghindari banyaknya yang menyertai qadimnya zat Tuhan, maka al Bazdawi mengatakan bahwa ke qadiman sifat-sifat Tuhan itu melalui ke qadiman yang melekat pada diri zat Tuhan, bukan melalui ke qadiman sifat-sifat itu sendiri.
3. Perbuatan manusia
Al Bazdawi berpendapat bahwa perbuatan manusia itu di ciptakan Tuhan, sekalipun perbuatan tersebut di sebabkan oleh qudrah hadisah yang berasal dari manusia itu sendiri.Karena timbulnya perbuatan itu terdapat dua daya yaitu daya untuk mewujudkan dan daya untuk melakukan.
D. Persamaan dan Perbedaan Maturidiyah Samarkand an Maturidiyah Bukhara
Setelah Maturidiyah terpecah menjadi dua bagian, yakni aliran Samarkand dan Bukhara, ajaran aliran maturidiyah mengalami perbedaan dan ada juga yang sama di antara ke dua aliran ini, yakni sebagai-berikut:
1. Mengenai pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimana dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan memasukkannya keneraka, tetapi tidak kekal didalamnya.
2. Mengenai Iman dan Kufur
Dalam masalah iman, aliran MaturidiyahSamarkand berpendapat bahwa iman adalahtashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan, dimana suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu.Apa yang di ucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda.Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tidak bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan.Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan berfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esnsi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran baying-bayang (ibadah) itu, iman justru menjadi bertambah.
3. Mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia
a. Mengenai perbuatan Tuhan
Mengenai perbuatan Allah SWT.ini, terdapat perbedaan pandangan antaraMaturidiyah Samarkad dan Maturidiyah Bukhara.Aliran Maturidiyah Samarkad,pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.Maturidiyah Bukhara memiliki pandangantentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
b. Mengenai perbuatan Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukharah mengenai perbuatan manusia. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangkan Maturidiyah Bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya.Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.
4. Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani.Ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi ta’wil.
Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan.Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini.Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
5. Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan.Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.
E. Beberapa aspek kesamaan pemahaman antara Asy’ariyah dan Maturidiyah.
Sebagai aliran yang se zaman dengan mazhab Asya`irah, jika di tela’ah terdapat banyak kesamaan antara dua mazhab ini.Keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas.Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had(batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya. Berbeda dengan Hasyawiyah dan Ahlul hadits yang berpendapat bahwa Allah, seperti selain-Nya, bisa dilihat dengan kaif dan had.
Dalam hal kalam Allah (Al-Quran), kedua mazhab ini juga memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kalam-Nya memiliki dua tingkatan. Pertama adalah kalamnafsi yang bersifat qadim (dahulu), dan kedua adalah kalamlafdhi (lafal) yang bersifathadits (baru).Ini adalah pendapat moderat dari kedua mazhab ini, yang berada di antara pendapat Mu`tazilah bahwa kalam Allah hadits secara mutlak, dan pendapat Ahlul hadits bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak.Ringkas kata, Asya`irah dan Maturidiyah memiliki banyak kesamaan pandangan dalam masalah akidah. Namun, di saat yang sama, ada pula beberapa perbedaan dalam prinsip-prinsip teologis dua mazhab ini, yang membedakan mereka satu sama lain, antara lain:
- Asya`irah membagi sifat-sifat Allah kepadadzati dan fi`li. Namun Maturidiyah menolak pembagian ini dan menyatakan bahwa semua sifatfi`li-Nya qadim seperti sifat dzati.
- Asya`irah mengatakan bahwa Allah mustahil membebankan taklif yang tak mampu dilakukan manusia, sementara Maturidiyah berpendapat sebaliknya.
- Asya`irah meyakini bahwa semua yang dilakukan Allah adalah baik, sedangkan Maturidiyah, berdasarkan hukum akal, berpandangan bahwa Dia mustahil berbuat zalim.
Meskipun dua tokoh aliran Maturidi dan juga Asy’ari berbeda dalam beberapa hal tetapi punya prinsip yang sama. Jika terdapat pertentangan antara akal dan usaha, maka akal harus tunduk kepada wahyu.Itulah satu contoh sehingga mereka terpadu dengan satu aliran besar (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah).Di samping itu mereka tampil menentang Mu’tazilah, hanya saja Asy’ari berhadapan langsung dengan pikiran yang sangat bertentangan dengan Mu’tazilah.
PAHAM ASY’ARIYAH
A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun dikota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.
Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.
‹
›
Beranda
Lihat versi web